Saturday 25 October 2014

Sejarah Pendidikan Islam Bani Abbasiyah



SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA
BANI ABBASIYAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dr. Muqowim, M. Ag

Disusun Oleh:
Ummu Mawaddah
11410189
VI-PAI-E

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2014


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Dinasti Bani Abbassiyah terbentuk melalui proses perebutan kekuasaan dari Bani Umayyah. Dengan dasar pemikiran bahwa kekuasaan harus berasal dari keturunan yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW, maka Abu al-Abbas al-Saffah yang didukung oleh seorang panglima yaitu, Abu Muslim al-Khurasani serta berbagai kelompok pemberontak, seperti kaum Syiah, oposisi pimpinan al-Mukhtar, dan lainnya, berhasil mengalahkan khalifah Bani Umayyah terakhir, yaitu Khalifah Marwan II pada tahun 750 M/132 H.
Secara umum keadaan sosial, politik, dan keagamaan pada zaman Abbasiyah telah mencapai perkembangan dan kemajuan dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Zaman Bani Abbas-lah dunia islam mencapai puncak kejayaan dan keemasannya di dunia. Namun dari semua khalifah yang Bani Abbas, tentu tidak semua khalifah memiliki karakter sebagai khalifah yang cerdas, berani, bertanggung jawab, cinta ilmu, dan berkepribadian mulia. Diantara meraka ada yang kemampuan akhlaknya yang kurang baik, bahkan dapat dikatakan lemah. Inilah yang selanjutnya menyebabkan dinasti Abbasiyah mengalami kehancuran.
B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana sejarah singkat berdirinya Daulah/Bani Abbasiyah?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan dan tujuan pendidikan Bani Abbasiyah?
3.      Bagaimana kurikulum dan metode pendidikan Bani Abbasiyah?
4.      Bagaimana rekonstruksi kurikulum pendidikan Islam?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Singkat Berdirinya Daulah/Bani Abbasiyah
Berdirinya Daulah Abbasiyah diawali dengan dua strategi, yaitu: satu dengan sistem mencari pendukung dan penyebaran ide secara rahasia, hal ini sudah berlangsung sejak akhir abad pertama hijriah yang bermarkas di Syam dan tempatnya di al-Hamimah. Sistem ini berakhir dengan bergabungnya Abu Muslim al-Khurasani pada Jam’iyah yang sepakat atas terbentuknya Daulah Abbasiyah. Sedangkan strategi kedua dilanjutkan dengan terang-terangan dan himbauan-himbauan di forum-forum resmi untuk mendirikan Daulah Abbasiyah berlanjut dengan peperangan melawan Daulah Umawiyah. Dari dua strategi yang duterapkan oleh Muhammad bin Al-‘Abasy dan kawan-kawannya sejak akhir abad pertama sampai 132 H akhirnya membuahkan hasil dengan berdirinya Daulah Abbasiyah.[1]

B.     Sejarah Perkembangan dan Tujuan Pendidikan Bani Abbasiyah
Sejak lahirnya agama Islam, lahirlah pendidikan dan pengajaran Islam. Pendidikan dan pengajaran Islam itu terus tumbuh dan berkembang pada masa Khalifah Rasyidin dan Umayyah. Pada permulaan masa Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh Negara Islam, sehingga lahir sekolah-sekolah yang tak terhitung banyaknya, tersebar dari kota-kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan para pemuda belomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat-pusat pendidikan, meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan ilmu pengetahuan.[2]
Pada masa Nabi Muhammad SAW, Khalifah Rasyidin, dan Umayyah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar karena Allah mengharapkan keridhaan-Nya. Akan tetapi pada masa Abbasiyah, tujuan pendidikan telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan pendidikan Islam pada masa Abbasiyah dapat disimpulkan sebagai berikut:[3]
a)      Tujuan keagamaan dan akhlak
Seperti pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca/menghafal al-Qur’an, ialah karena merupakan suatu kewajiban dalam agam supaya mereka mengikuti ajaran agama dan berakhlak menurut agama. Begitu juga mereka diajar ilmu tafsir, hadits, dan sebagainya adalah karena tuntutan agama.
b)      Tujuan kemasyarakatan
Pemuda belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan; dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang maju dan makmur.
c)      Cinta akan ilmu pengetahuan
Mereka belajar tidak mengharapkan keuntungan apa-apa, selain mendalami ilmu pengetahuan. Mereka mengunjungi seluruh Negara Islam untuk menuntut ilmu tanpa mempedulikan susah payah dalam perjalanan. Tujuan mereka tak lain adalah untuk memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan.
d)     Tujuan kebenaran
Mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan kehidupan yang layak dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau mungkin mendapatkan kemegahan dan kekuasaan di dunia ini seperti tujuan orang pada saat ini.
Sejak zaman bani Umayyah telah tumbuh ilmu pengetahuan baik naqliyah maupun ‘aqliyah. Selanjutnya, pada zaman bani Abbasiyah kemajuan yang dicapai di zaman Umayyah tersebut meningkat dan semakin banyak melahirkan sarjana/ulama.[4]
a.       Ilmu-ilmu Naqliyah
Ilmu naqliyah adalah ilmu yang bersumber dari wahyu, seperti: ilmu kalam, fiqih, tafsir, hadits, tasawuf, dan bahasa Arab.
b.      Ilmu-ilmu ‘Aqliyah
Yang dimaksud dengan ilmu aqliyah adalah ilmu yang tidak dikategorikan ke dalam ilmu lisaniyah dan naqliyah, seperti: filsafat, ilmu pasti, ilmu falak, ilmu bumi, sejarah, fisika, kimia, kedokteran, ilmu musik, dan arsitektur.

C.     Kurikulum dan Metode Pendidikan Bani Abbasiyah
Kurikulum merupakan landasan yang digunakan pendidikan untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia transformasi sejumlah pengetahuan keterampilan dan sikap mental yang harus tersusun dalam kurikulum pendidikan Islam.
Secara umum, seluruh lembaga pendidikan pada masa bani Abbasiyah dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat. Pertama, tingkat dasar/rendah yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, pasar, dan istana. Kedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup masjid, sanggar seni, dan ilmu pengetahuan sebagai lanjutan pelajaran di kuttab. Ketiga, tingkat perguruan tinggi yang meliputi madrasah dan perpustakaan seperti Bait al-Hikmah di Baghdad dan Dar al-Ulum di Kairo.[5]
1)      Kurikulum Tingkat Dasar
Pada tingkat pertama, yakni tingkat pendidikan dasar, kurikulum yang diajarkan meliputi:[6]
a)      Membaca al-Qur’an dan menghafalnya
b)      Pokok-pokok agama, seperti wudhu, shalat, dan puasa
c)      Menulis
d)     Kisah-kisah orang-orang besar
e)      Membaca dan menghafal syair-syair
f)       Menghitung
g)      Pokok-pokok nahwu dan sharaf alakadarnya.
Sungguhpun demikian, kurikulum seperti ini tidak dapat dijumpai di seluruh penjuru, tetapi masing-masing daerah terkadang berbeda. Seperti pendapat Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Hasan ‘Abd al-‘Al, bahwa di Maroko (Maghribi) hanya diajarkan al-Qur’an, menulis, dan syair (tulisan)-nya. Di Andalusia diajarkan al-Qur’an, menulis, syair, pokok-pokok nahwu, dan sharaf, serta tulisan indah (khath). Di Tunisia (Afriqah) diajarkan al-Qur’an, al-Hadits, dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih mementingkan hafalan al-Qur’an.
2)      Kurikulum Tingkat Menengah
Pada jenjang pendidikan menengah disediakan pelajaran sebagai berikut:[7]


a) al-Qur’an
b) Bahasa sastra Arab
c) fiqih
d) tafsir
e) hadits
f) nahwu/sharaf/balaghah
g) ilmu-ilmu eksak
h) mantiq
i) falak
j) tarikh
k) ilmu-ilmu kealaman
l) kedokteran
m) musik


Seperti halnya pendidikan rendah, kurikulum pendidikan menengah di beberapa daerah mengalami perbedaan.
Jenjang pendidikan tingkat tinggi tampaknya memiliki perbedaan di masing-masing lembaga pendidikan. Namun, secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mengkaji ilmu-ilmu berikut: [8]


a) tafsir al-Qur’an
b) Hadits
c) fiqih dan ushul fiqh
d) nahwu/sharaf
e) balaghah
f) bahasa dan sastra Arab


Kedua, Fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari ilmu-ilmu berikut:


a) mantiq
b) ilmu-ilmu alam dan kimia
c) musik
d) ilmu-ilmu eksakta
e) ilmu ukur
f) falak
g) ilmu-ilmu teologi
h) ilmu hewan
i) ilmu-ilmu nabati
j) ilmu kedokteran.


Semua pelajaran ini diajarkan di perguruan tinggi dan belum diadakan spesialisasi mata pelajaran tertentu.
            Nakosteen berkomentar tentang kurikulum ini “Bukan suatu hal yang luar biasa menemukan pelajaran-pelajaran matematika (aljabar, trigonometri, dan geometri); sains (kimia, fisika, dan astronomi); ilmu kedokteran (anatomi, pembedahan, farmasi, dan cabang-cabang ilmu kedokteran khusus); filsafat (logika, etika, dan metafisika); kesusastraan (filologi, tata Bahasa, puisi, dan ilmu persajakan); ilmu-ilmu sosial, sejarah, geografi, disiplin-disiplin yang berhubungan dengan politik, hukum sosiologi, psikologi, dan yurisprudensi (fikih), teologi (perbandingan agama, sejarah agama-agama, sejarah agama-agama, studi al-Qur’an, tradisi religious (hadits), dan topik-topik religius lainnya).[9]
Dengan demikian, kurikulum pada masa Abbasiyah menurut Mahmud Yusuf dan Nakosteen adalah perpaduan antara  ilmu-ilmu naqliyah dan aqliyah.

Metode Pengajaran Bani Abbasiyah
Metode belajar mengajar yang lazim diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan formal seperti madrasah pada saat itu ialah: menyalin, menghafal, dan berdebat (jadal).[10] Pertama, menyalin, seorang guru mendiktekan pelajarannya dan murid-murid mencatanya. Kadang-kadang pendiktean ini sampai berjari-hari dan mencapai ribuan halaman. Kedua, menghafal, orang-orang Arab sudah terkenal kuat hafalannya, karena itu lah para penyair Arab pra-Islam mampu menghafal sejumlah bait akan tetapi sedikit orang yang berminat untuk pandai menulis. Ketiga adalah debat. Metode ini akan menimbulkan daya kritik bagi pelajar, oleh karena itu metode ini sangat penting.
Pada jenjang pendidikan dasar, metode yang dipakai adalah metode pengulangan dan hafalan. Pada jenjang pendidikan menengah, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang bersangkutan. Sedangkan pada jenjang pendidikan tinggi, metode yang dipakai adalah halaqah. Lebih lanjut menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metode pada jenjang pendidikan tinggi meliputi metode ceramah (al-muhadlarah), diskusi (al-muhadzarah), korespondensi jarak jauh (al-Ta’lim bi al Murasilah), dan rihlah ilmiah.[11] Mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah. Mahasiswa tersebut telah lulus ujian dan mampu menjawab pertanyaan ketika munaqasyah. Ijazah terkdang dalam bentuk lisan dan dalam bentuk tulisan.
Penerjemahan karya-karya pemikiran Yunani membawa kemajuan terdendiri bagi pendidikan Islam baik dalam pelajaran (kurikulum) maupun lembaga pendidikan.

D.    Rekonstruksi Pendidikan Islam
Setelah kita mengetahui bagaimana sistem pendidikan di Abbasiyah, maka kita dapat mengambil sistem pendidikan yang dapat dijadikan sebagai refrensi terhadap perubahan pendidikan di Indonesia agar menjadi lebih baik.
Salah satu permasalahan pendidikan Islam khususnya yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Untuk itu, agar Pendidikan Islam dapat survive dan mampu berkembang secara optimal, haruslah mampu menciptakan keunggulan kompetitif sehingga dapat memenangkan persaingan hidup di era globalisasi.[12] Tujuan pendidikan pada saat ini cenderung untuk kehidupan duniawi sedangkan pada masa Abbasiyah, pendidikan lebih ditujukan untuk kehidupan ukhrawi. Mencarinya pun semata-mata karena cinta akan ilmu pengetahuan.
Dari segi materi, pendidikan pada masa Abbasiyah sudah terbentuk sistem pendidikan yang demokratis di mana materi pelajaran tidak hanya bersifat wajib, namun juga ada materi pendidikan yang bersifat pilihan. Hal ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia, pada masa sekarang materi pendidikan tingkat dasar dan menengah semuanya adalah materi wajib, tidak ada materi pilihan, materi pilihan baru ada pada tingkat pergururan tinggi.
Selain itu pendidikan pada masa Abbasiyah tidak terjadi peristilahan ilmu agama dan ilmu umum, yang ada hanyalah terintegrasinya sifat-sifat ilmu sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri dengan objek yang masing-masing berbeda. Namun berbeda dengan pendidikan di Indonesia, pendidikan di Indonesia antara ilmu Agama dengan Ilmu umum lebih terasa terpisahkan atau istilahnya ada pendikotomian antara ilmu Agama dengan ilmu umum. Pendidikan Abbasiyah yang tidak memisahkan antara ilmu Agama dengan ilmu umum akan menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dalam bidang ilmu umum serta ilmu agama





BAB III
PENUTUP

Tujuan pendidikan pada masa Abbasiyah ada empat, yaitu tujuan iman dan akhlak, kemasyarakatan, cinta ilmu pengetahuan, dan kebenarana. Metode pengajaran yang diberikan pada masa Abbasiyah ada tiga yaitu metode lisan, menghafal, dan metode tulisan. Sistem kurikulumnya pada masa Abbasiyah terbagi menjadi tiga yaitu sistem kurikulum dasar, sistem kurikulum menengah, dan sistem kurikulum perguruan tinggi.
Rekonstruksi terhadap pendidikan di Indonesia, kita dapat mengambil dari segi materi pendidikan pada masa Abbasiyah sudah terbentuk sistem pendidikan yang demokratis dimana materi pelajaran tidak hanya bersifat wajib, namun juga ada materi pendidikan yang bersifat pilihan. Selain itu pada masa Abbasiyah tidak ada pemisahan pendidikan antara ilmu umum dengan ilmu Agama yang ada hanyalah terintegrasinya sifat-sifat ilmu sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri dengan objek yang masing-masing berbeda.



DAFTAR PUSTAKA

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2007.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990.
Daulay, Haidar Putra dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam dalam Lintasan Sejarah,          Jakarta: Kencana, 2013.
Engku, Iskandar dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami, Bandung: PT Remaja        Rosdakarya, 2014.
Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,            Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005.



[1] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 65.
[2] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), hal. 46.
[3] Ibid., hal. 46-47.
[4] Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 84-85.
[5] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hal. 24.
[6] Ibid., hal. 24.
[7] Ibid., hal. 25.
[8] Ibid., hal. 26.
[9] Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam dalam Lintasan Sejarah…, hal. 104-105.
[10] Ibid., hal. 104-105.
[11] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami…, hal. 27-28.
[12] Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005), hal. 163.

Ragam Bahasa Baku



RAGAM BAHASA BAKU

1.      Pengertian
Ragam bahasa baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya.[1] Ragam bahasa baku berfungsi sebagai patokan yang dijadikan tolok bandingan bagi pemakaian ragam yang lain, sehingga dengan adanya tolok ini orang dapat mengetahui pemakaian bahasa yang benar dan mana yang tidak benar. Bahasa Indonesia baku disebut juga bahasa Indonesia yang formal, yaitu bahasa Indonesia yang dituturkan dalam situasi resmi.
2.      Ciri-ciri
Ragam bahasa baku atau standar memiliki ciri-ciri:
a.       Kemantapan Dinamis
Bahasa baku haruslah memiliki kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat, jadi kaidahnya harus konsisten. Kata langganan mempunyai makna ganda, yaitu orang yang berlangganan dan toko tempat berlangganan. Dalam hal ini, tokonya disebut langganan dan orang yang berlangganan disebut pelanggan.
b.      Kecendekiaan
Ragam bahas baku disebut cendekia karena dipakai pada tempat-tempat resmi. Pewujud ragam baku ini adalah orang-orang yang terpelajar. Ragam bahasa baku dapat dengan tepat memberikan gambaran apa yang ada dalam otak pembicara atau penulis. Selanjutnya, ragam bahasa baku dapat memberikan gambaran yang jelas dalam otak pendengar atau pembaca.[2]

c.       Keseragamaan
Bahasa baku mempraanggapkan adanya keseragaman kaidah. Akan tetapi, perlu diingat bahwa yang terjadi adalah penyeragaman kaidah, bukan penyeragaan ragam bahasa, atau penyeragaman ragam/ variasi bahasa.
3.      Fungsi
Selain memiliki ciri-ciri sebagaimana di atas, bahasa baku memiliki beberapa fungsi, yaitu:[3]
a.       Fungsi pemersatu
Bahasa baku memiliki kedudukan sebagai sarana yang dapat mempersatukan semua penutur dari berbagai dialek bahasa (Indonesia) menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat.
b.      Fungsi pemberi kekhasan
Bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan.
c.       Fungsi pembawa kewibawaan
Pemilikan bahasa baku membawa serta wibawa atau prestise. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri.
d.      Fungsi sebagai kerangka acuan
Bahasa baku berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa, yakni dengan adanya norma dan kaidah yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolak ukur bagi betul tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau segolongan.
4.      Penggunaan
Secara lebih rinci, ragam bahasa Indonesia baku dipakai dalam situasi berbahasa sebagai berikut:[4]
a.       Untuk komunikasi resmi seperti dalam upacara keagamaan, surat dinas, administrasi pemerintah, surat-menyurat resmi, dan sebagainya;
b.      Untuk wawancara kegian, seperti usulan proyek, laporan kegiatan, dan sebagainya;
c.       Pembicaraan di depan umum, misalnya pidato, ceramah, khotbah, pengajaran di sekolah, dan sebagainya;
d.      Berbicara dengan orang yang patut dihormati, misalnya guru, pejabat pemerintahan, atasan, atau orang yang belum atau baru saja dikenal.




[1] Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Akademia Pressindo, 2004), hal. 18.
[2] Ibid., hal. 19.
[3] Eneng Herniti, dkk., Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal. 117.
[4] Ibid., hal. 115.
 

lautan inspirasi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang