Sunday 12 March 2017

Makalah Hakikat Manusia dalam Pandangan Filosuf dan Islam



(MAKALAH EDISI REVISI)
HAKIKAT  MANUSIA DAN MASYARAKAT DALAM PANDANGAN FILOSUF DAN ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.


 






Oleh:

Ummu Mawaddah
1620410004
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk unik yang menjadi kajian filsafat sejak awal. Sebagai makhluk yang unik dan sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain di dunia, manusia juga makhluk alami yang hidup berdasarkan insting dan rasio, sehingga kehidupan manusia terus berkembang. Manusia dibekali potensi akal yang harus dikembangkan melalui pendidikan berkarakter, yaitu pendidikan yang mengikuti perkembangan dan kebutuhan manusia sebagai makhluk kreatif dan dinamis.
Pada pihak lain, manusia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing di mana ia harus menyesuaikan diri agar sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia memiliki ketergantungan dengan makhluk yang lain. Oleh karena itu, manusia hidup dalam suatu lingkungan masyarakat di mana di dalamnya terdapat tata aturan atau hukum yang mengatur kehidupannya. Makalah ini membahas antara lain tentang hakikat manusia serta pentingnya pendidikan dalam suatu masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini meliputi apa hakikat manusia, masyarakat dan alam; apa saja aliran-aliran filsafat tentang manusia; bagaimana pandangan Islam terhadap pendidikan serta apa saja fungsi pendidikan dalam masyarakat madani.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Manusia dan Masyarakat dalam Pandangan Filosofis dan Islam
Di dalam Mu’jam al-Falsafi yang dikutip oleh M. Yasir Nasution, hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dari yang lainnya.[1] Berikut dijelaskan hakikat manusia dan masyarakat menurut pandangan filosuf dan Islam.
1.      Hakikat manusia
Filsuf barat mendefinisikan hakikat manusia sebagai berikut:
a)      Menurut Socrates, manusia adalah jiwa atau batinnya. Jiwa atau batin adalah faktor pembeda dasariyah antara manusia dan makhluk lainnya.[2]
b)      Menurut Plato, jiwa manusia adalah entitas non material yang dapat terpisah dari tubuh. Jiwa ada sejak sebelum kelahiran dan tidak dapat hancur alias abadi. Lebih jauh Plato mengatakan bahwa hakikat manusia ada dua yaitu rasio dan kesenangan (nafsu).
c)      Descrates mengatakan bahwa manusia memiliki emosi yang muncul dalam berbagai kombinasi yaitu cinta (love), gembira (joy), keinginan (desire), benci (rage), sedih (sorrow), dan kagum (wonder). Menurut Descrates, akal menduduki posisi sentra sebagai esensi (hakikat) manusia.
d)     John Locke yang terkenal dengan teori tabula rasa mengemukakan bahwa jiwa manusia saat dilahirkan laksana kerta putih (istilahnya meja lilin), kemudian diisi dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam hidupnya. Pengalaman lah yang menentukan keadaan seseorang. Menurut paham ini, pendidikan sangat berpengaruh pada seseorang.
e)      Immanuel Kant mengatakan bahwa manusia tidak akan mampu mengenali dirinya sendiri. Manusia mengenali dirinya berdasarkan apa yang tampak (baik secara empiris maupun secara batin). Kaitannya dengan pendidikan, Kant mengatakan bahwa manusia bertindak berdasarkan alasan moral, manusia bertindak bukan hanya untuk kepentingan sendiri. Jadi, manusia memiliki alasan ketika ia melakukan tindakan.[3]
Manusia adalah makhluk Allah. Ia dan alam semesta bukan terjadi sendirinya, tetapi dijadikan oleh Allah. Allah menciptakan manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Untuk ini Dia memerintahan supaya manusia beribadat kepadaNya.[4] Perintah ibadah ini sudah ada sejak terciptanya nabi Adam sebagai manusia pertama.
Nabi Adam sebagai manusia pertama diciptakan dari persenyawaan beberapa komponen yang terdiri dari tin (tanah liat yang berasal dari lumpur yang bersih), turab (saripati tanah, dan shalshal seperti fakhkhar berasal dari hama’ masnun (dari lumpur hitam yang dicetak dan diberi bentuk). Adapun manusia pasca Adam pada hakikatnya tercipta dari saripati tanah. Penciptaan tersebut melalui beberapa tahapan. Dari sperma dan darah yang berasal dari makanan bertemu dengan sel telur (ovum) kemudian membentuk nutfah dan masuk ke dalam rahim. Selanjutnya berubah menjadi `alaqah (segumpal darah), mudghah (segumpal daging), dan tulang belulang.[5] Selanjutnya, tulang tersebut dibungkus oleh daging yang kemudian dijadikan manusia oleh Allah SWT sebagai makhluk yang paling sempurna.
Manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer.[6] Meskipun demikian, antara ruh dan jasad memiliki kaitan yang sangat erat. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jasad yang tidak memiliki ruh akan mati sedangkan ruh tanpa jasad tidak dapat dikenali tanda-tanda kehidupannya.
Al-Qur’an menggunakan beberapa istilah yang menunjukkan kepada manusia seperti basyar dan insan, sedangkan yang menunjukkan kepada kompleksitas jati diri manusia adalah al-jism, ‘aql, qalb, nafs, dan fitrah. Berikut penjelasan mengenai basyar dan insan.
a)      Kata insan
Manusia jika merujuk kepada kata insan, nasiya, dan al-uns/anisa berarti mengacu kepada manusia dari aspek mental-spiritualnya. Kata insan yang bentuk jamaknya al-nas dari segi semantik dapat dilihat dari kata anasa yang berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Insan dari kata nasiya berarti lupa atau salah. Manusia memiliki sifat salah dan lupa. Dengan sifat ini, manusia hendaknya selalu memperbaiki diri dengan tidak berbuat salah terus-menerus sehingga bertambah kualitas hidupnya. Adapun Insan dari kata al-uns/anisa berarti jinak. Maksudnya, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang jinak (kemampuan beradaptasi), yang berbudaya, dapat mendidik dan dididik.[7]
b)      Basyar
Manusia jika merujuk kepada kata basyar berarti mengacu pada manusia dari aspek lahiriahnya. Kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk, baik laki-laki maupun perempuan, baik individu maupun kolektif.[8] Di dalam al-Qur’an, kata basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab.[9] Insan dan basyar merupakan unsur yang saling melengkapi sehingga masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Manusia terdiri dari kedua unsur tersebut sehingga dapat menjalani aktivitas kekhalifahannya di muka bumi.
Kata yang menunjukkan kepada kompleksitas jati diri manusia adalah al-jism (tubuh), ‘aql (akal), qalb (hati), nafs (jiwa), dan fitrah (watak). Masing-masing memiliki fungsi yang sangat penting dan berkaitan satu sama lain. Menurut al-Ghazali, konsep diri dinyatakan dalam bahasa Arab oleh empat hal, yaitu Qalb (hati), Ruh (jiwa), Nafs (keinginan alam), dan Aql (intelek). Al-Ghazali memposisikan Qalb sebagai esensi dari manusia. Qalb merupakan entitas spiritual yang tinggal di dalam tubuh fisik dan mengontrol fungsi organik dan fisiknya. Dengan Qalb, manusia dapat menangkap segala rasa, mengetahui, dan mengenal sesuatu.[10] Meskipun Qalb sering diartikan sebagai segumpal daging yang ada di dalam tubuh manusia, tetapi Qalb lebih cenderung kepada sesuatu yang bersifat abstrak. Ketika Qalb diambil, manusia masih bisa merasakan dan sebagainya.
Manusia diciptakan berbeda dari makhluk-makhluk lainnya di muka bumi ini. Perbedaan itu terdapat pada struktur tubuhnya yang menginginkannya untuk mencipta dan berkarya.[11] Di dalam jiwanya terdapat berbagai potensi terutama potensi berpikir dan merasakan yang merupakan faktor utama untuk mencipta dan berkarya. Di samping itu terdapat potensi khusus yang membedakannya secara prinsipil dengan makhluk lainnya, berupa iman yang dapat menuntunnya untuk menjadikan kehidupan ini bermakna dan bernilai mulia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. 
2.      Hakikat Masyarakat
Menurut Aristoteles, masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga sedangkan menurut Comte, masyarakat dipandang sebagai lebih dari suatu agriget (gerombolan) individu-individu.[12] Berdasarkan pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu dan keluarga yang menempati daerah tertentu dan terikat oleh hukum tertentu.
Masyarakat merupakan sekelompok individu dari kumpulan yang terikat oleh kesatuan tanah air, budaya, agama, serta hubungan-hubungan yang terkandung di dalamnya, seperti adat, tradisi, ciri-ciri, sistem kehidupan, undang-undang, institusi, dan lain-lain.[13] Selain itu, di dalam masyarakat juga terdapat pola hubungan, nilai-nilai, prinsip, interaksi, komunikasi, struktur, stratifikasi, organisasi, kepemimpinan, dan lain sebagainya.[14] Masyarakat bersifat plural. Masing-masing memiliki perbedaan dan karakter serta kondisi sosial yang beragam.
Sebagaimana adanya hukum Tuhan di alam jagat raya, maka masyarakat memiliki prinsip-prinsip yang harus ditegakkan demi terciptanya kenyamanan, kedamaian dan ketertiban. Prinsip-prinsip tersebut antara lain mengakui adanya keragaman dalam berbagai bidang; agama, pekerjaan, tingkat sosial dan lainnya sebagai sebuah realitas dan keniscayaan, saling menghargai, menghormati, toleransi, menghargai HAM, tolong menolong, memberi dan menerima, terbuka, penerima perubahan, menjunjung tinggi akhlak mulia, bersikap seimbang dan saling menghargai.[15] Jika prinsip-prinsip tersebut tidak ditegakkan, maka masyarakat tidak akan merasakan kenyamanan, ketertiban, dan ketenteraman. Oleh karena itu, prinsip bermasyarakat menjadi landasan damainya suatu masyarakat.
Kehadiran masyarakat dan individu sesungguhnya saling membutuhkan. Masyarakat tercipta karena adanya individu yang saling berinteraksi dan berkomunikasi antara satu dan lainnya. Masyarakat memiliki fungsi sebagai berikut.
1.      Membantu individu dalam memenuhi berbagai kebutuhan bagi kelangsungan hidupnya.
2.      Membantu individu dalam bersosialisasi.
3.      Sebagai tempat melakukan proses pembelajaran dalam bentuk learning by doing yakni belajar sambil bekerja, sehingga daya cipta, rasa, dan karsanya terbina dengan baik.[16]
Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, proses saling belajar yang berlaku di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat merupakan perjalanan kebudayaan manusia dalam mencerdaskan dirinya, meningkatkan kesadarannya sebagai makhluk yang berbudi luhur, serta makhluk yang belajar memahami keinginan manusia yang beragam.[17] Keragaman yang berbeda muncul berdasarkan perbedaan individu yang ada di dalamnya. Dalam hal ini, belajar memiliki pengertian yang lebih luas, yakni transfer nilai-nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat. Jadi, belajar tidak terbatas di lingkungan sekolah saja, namun termasuk di dalamnya keluarga dan masyarakat.
B.     Aliran Filsafat tentang Manusia
Aliran filsafat tentang manusia terdiri dari aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran eksistensialisme.
a.       Aliran serba zat
Aliran serba zat mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh ada hanyalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat dari sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi, dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu hakikat manusia adalah zat atau materi.
b.      Aliran serba ruh
Aliran serba ruh berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini ialah ruh, juga hakikat manusia adalah ruh. Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang, sehingga tidak dapat disentuh atau dilihat oleh panca indera. Aliran ini berlawanan dengan zat yang menempati ruang betapapun kecilnya zat itu.
c.       Aliran dualisme
Aliran dualisme mencoba untuk mengawinkan kedua aliran tersebut di atas. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan.[18] Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh.[19]
d.      Aliran eksistensialisme
Aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman dan situasi sejarah yang ia alami serta tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak dan spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya, dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.[20]
Implikasi eksistensialisme dalam kehidupan manusia pada intinya terletak pada sikap subjektivitas dan individualitas manusia. Dengan demikian, orang cenderung bebas berbuat menurut jati dirinya dengan slogan be your self.[21] Aliran ekstensialisme tidak begitu cocok diterapkan di dunia pendidikan, terutama di sekolah. Jika diterapkan, maka orang yang menganut aliran ini tidak akan mematuhi peraturan karena prinsipnya yang cenderung bebas sesuai kehendak hatinya.
C.    Hakikat Alam dalam Islam
Alam adalah segala sesuatu yang ada selain Allah yang terdiri dari makhluk-makhluk materi dan bukan materi. Alam meliputi ruh, benda, waktu, tempat, serta semua sistem dan undang-undang yang mengatur bagian-bagiannya.[22]
Menurut Ahmad Janan Asifudin, alam terbatas pada alam indrawi dalam dunia beserta dinamika dan keadaan yang mempunyai hubungan eksistensial atau dapat dihubungkan dengannya, yaitu alam yang dapat diteliti, dipelajari, kemudian dimengerti “sunnatullah” atau hukum alamnya dengan bekal panca indera beserta akal yang dikaruniakan kepada manusia oleh Sang Pencipta Yang Maha Kuasa hingga dihasilkan ilmu pengetahuan yang ilmiah (logis dan empirik) dan filosofis (logis yang tidak dapat dibuktikan dengan empirik).[23]
Konsepsi Islam tentang alam semesta merupakan konsep tauhid. Islam membawakan tauhid dalam bentuknya yang paling murni. Dari sudut pandang Islam, tidak ada yang seperti Allah dan tidak ada yang menyamainya. Dari sudut pandang tauhid dan konsepsi Islam bahwa alam semesta merupakan ciptaan dan diurus oleh kehendak dan perintah Allah.[24] Alam jagat raya dan segala isinya merupakan sarana pelaksanaan pendidikan Islam. Dengan alam, guru dapat memperkenalkan peserta didik kepada Tuhan. Dengan mengenal alam, seseorang akan dekat dan taqwa kepada Allah swt.
Alam merupakan penentu keberhasilan proses pendidikan. Adanya interaksi antara peserta didik dengan benda atau lingkungan alam sekitar tempat mereka hidup merupakan prinsip filsafat pendidikan Islam yang perlu diperhatikan.[25] Prinsip ini menekankan bahwa proses pendidikan manusia dan peningkatan mutu akhlaknya bukan sekadar terjadi dalam lingkungan sosial semata, melainkan juga dalam lingkungan alam yang bersifat material. Jadi, alam semesta merupakan tempat dan wahana yang memungkinkan proses pendidikan berhasil.
D.    Masyarakat Madani dalam Islam
 Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang demokratis, menghormati, dan menghargai publik seperti kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lainnya. Dengan demikian, masyarakat madani dapat dipahami sebagai masyarakat yang berperadaban, beradab, masyarakat sipil, dan menghargai pluralistik.[26]
Masyarakat madani sebagai masyarakat yang ideal memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1) bertuhan, 2) damai, 3) tolong-menolong, 4) toleran 5) keseimbangan antar hak dan kewajiban sosial, 6) berperadaban tinggi dan 7) berakhlak mulia.
Dalam konteks masyarakat Indonesia di mana umat Islam adalah mayoritas, peranan umat Islam untuk mewjudkan masyarakat madani sangat menentukan.[27] Kondisi masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh umat Islam. Bila umat Islam benar-benar mencerminkan hidup islami, pasti bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera. Untuk mewujudkan sikap hidup yang islami, umat Islam hendaknya dapat mendasarkan perilaku sehari-harinya pada iman dan tauhid, mengutamakan nilai-nilai agamis, serta menjunjung tinggi akhlak al-karimah.
E.     Fungsi Pendidikan dalam Masyarakat Madani
Pendidikan merupakan proses pengupayaan memanusiakan manusia. Pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.[28]
Secara umum, tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap satu ke tahap berikutnya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan dapat berjalan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan bersifat struktural dan institusional.[29]
Menurut Ramayulis yang dikutip oleh Samzul Nizar, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu:
1.    Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan nasional.
2.    Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga manusia (peserta didik) yang produktif dalam menemukan perimbangan yang demikian dinamis.[30]
Adapun menurut Maragustam, fungsi pendidikan yang sangat penting dan menjadi sumber utama dalam pembentukan karakter yaitu 1) fungsi memindahkan nilai-nilai agama; dan 2) pembentukan karakter anggota-anggota masyarakat.[31] Agama merupakan landasan penting dalam kehidupan masyarakat. Agama memiliki tatanan yang masing-masing mengarahkan penganutnya kepada kebaikan. Dengan pendidikan, nilai-nilai agama dapat tersampaikan kepada anggota masyarakat, baik melalui lembaga pendidikan maupun selain lembaga pendidikan. Pendidikan sangat menentukan karakter dan kepribadian masyarakatnya. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama yang baik oleh pihak-pihak terkait, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga komponen tersebut harus menjadi sarana pendidikan yang baik dan seimbang sehingga pembentukan karakter masyarakat mencapai titik maksimal.
Fungsi pendidikan dalam masyarakat berdasarkan pengertian pendidikan Islam yaitu:
  1. Mengembangkan, memperbaiki, memimpin, melatih, mengasuh potensial setiap anggota masyarakat untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, ilmu, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dalam menjalani hidup bermasyarakat yang kompleks.
  2. Pewarisan nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial-nilai sosial.
  3. Pendidikan berfungsi sebagai alat kontrol sosial.
  4. Pendidikan berfungsi alat pemersatu dan pengembangan pribadi dan sosial.[32]
Pendidikan Islam bertugas memberikan penganalisisan secara mendalam dan rinci tentang problema kependidikan Islam sampai kepada penyelesaiannya. Ilmu pendidikan Islam tidak hanya melandasi tugasnya pada teori-teori saja akan tetapi memperhatikan fakta-fakta empiris atau praktis yang berlangsung dalam masyarakat sebagai bahan analisis.[33] Kehadiran pendidikan Islam diharapkan mampu memecahkan serta mencari jalan keluar setiap permasalahan yang muncul di masyarakat. Dengan demikian, pendidikan Islam memiliki tingkat kepentingan yang tinggi demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang islami sesuai dengan asas-asas demokrasi.



BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam yang material.
Masyarakat merupakan sekelompok individu dari kumpulan yang terikat oleh kesatuan tanah air, budaya, agama, serta hubungan-hubungan yang terkandung di dalamnya, seperti adat, tradisi, ciri-ciri, sistem kehidupan, undang-undang, institusi, dan lain-lain.
Alam adalah segala sesuatu yang ada selain Allah yang terdiri dari makhluk-makhluk materi dan bukan materi. Konsepsi Islam tentang alam semesta merupakan konsep tauhid. Islam membawakan tauhid dalam bentuknya yang paling murni. Alam merupakan penentu keberhasilan proses pendidikan.
Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang demokratis, menghormati, dan menghargai publik seperti kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lainnya.
Fungsi pendidikan yang sangat penting dan menjadi sumber utama dalam pembentukan karakter yaitu 1) fungsi memindahkan nilai-nilai agama; 2) pembentukan karakter anggota-anggota masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abi Hamid, Ihya Ulumuddin (Jilid III), Mesir: Maktabah Asy   Syarouk Ad-Dauliyyah, 2010.
Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoretis dan Praktis berdasarkan         Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2014..
Asifudin, Ahmad Janan, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam (Tinjauan          Filosofis), Yogyakarta: Suka Press, 2010.
Assegaf, Abd. Rachman, Studi Islam Kontekstual, Yogyakarta: Gama Media, 2005.
___________________, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.
Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
Daradjat, Zakiah, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
Kamaluddin, Undang Ahmad, Filsafat Manusia, Bandung: Pustaka Setia, 2013..
Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna,       1988.
Nasution, Muhammad Yasir, Manusia Menurut AL-Ghazali, Jakarta: Rajawali,       1988.
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner,            Jakarta: Rajawali Press, 2009.
____________, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Jakarta: Rajagrafindo, 2013.
Nawawi, Hadari, Pendidikan dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Sanaky, Hujair AH., Paradigma Pendidikan Islam: membangun masyarakat          madani Indonesia, Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003.
Siregar, Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter    Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, 2014.
________________, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna,         Yogyakarta: Nuha Litera,       2010.
Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu  Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.


[1] Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut AL-Ghazali, (Jakarta: Rajawali, 1988), hal. 49.
[2] Undang Ahmad Kamaluddin, Filsafat Manusia, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hal 72.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 9-14.
[4] Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hal. 1-2.
[5] Maragustam, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna, (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010), hal. 61.
[6] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 77.
[7] Maragustam Siregar, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, (Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, 2014), hal. 67-69.
[8] Ibid., hal. 69.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami..., hal. 21.
[10] Abi Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Jilid III), (Mesir: Maktabah Asy-Syarouk Ad-Dauliyyah, 2010), hal. 3-4.
[11] Hadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hal. 52.
[12] Loren Bagus dalam Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2014), hal. 82-83.
[13] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), hal. 55.
[14] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: Rajagrafindo, 2013), hal. 162-163.
[15] Ibid., hal.160-161.
[16] Ibid., hal. 162.
[17] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hal. 48.
[18] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam..., hal. 71-74.
[19] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 130.
[20] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam..., hal. 30-31.
[21] Abd. Rachman Assegaf..., hal. 132.
[22] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam...,  hal. 49.
[23] Ahmad Janan Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofis), (Yogyakarta: Suka Press, 2010), hal. 45-46.
[24] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 122.
[25] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, ((Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 102-103.
[26] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam..., hal. 49.
[27] Abd. Rachman Assegaf, Studi Islam Kontekstual, (Yogyakarta: Gama Media, 2005), hal. 228.
[28] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoretis dan Praktis berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 22.
[29] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hal. 34.
[30] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 34.
[31] Maragustam Siregar, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, (Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, 2014), hal. 90.
[32] Ibid., hal. 91.
[33] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoretis dan Praktis..., hal. 30.

0 comments:

Post a Comment

 

lautan inspirasi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang