(MAKALAH EDISI REVISI)
HAKIKAT MANUSIA DAN MASYARAKAT DALAM PANDANGAN
FILOSUF DAN ISLAM
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.
Oleh:
Ummu Mawaddah
1620410004
PROGRAM
MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia merupakan makhluk unik yang menjadi kajian
filsafat sejak awal. Sebagai makhluk yang unik dan sempurna dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain di dunia, manusia juga makhluk alami yang hidup
berdasarkan insting dan rasio, sehingga kehidupan manusia terus berkembang.
Manusia dibekali potensi akal yang harus dikembangkan melalui pendidikan
berkarakter, yaitu pendidikan yang mengikuti perkembangan dan kebutuhan manusia
sebagai makhluk kreatif dan dinamis.
Pada pihak lain, manusia berhadapan dengan alam
sebagai sesuatu yang asing di mana ia harus menyesuaikan diri agar sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhannya. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup
sendiri. Manusia memiliki ketergantungan dengan makhluk yang lain. Oleh karena
itu, manusia hidup dalam suatu lingkungan masyarakat di mana di dalamnya
terdapat tata aturan atau hukum yang mengatur kehidupannya. Makalah ini
membahas antara lain tentang hakikat manusia serta pentingnya pendidikan dalam
suatu masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang akan
kita bahas dalam makalah ini meliputi apa hakikat manusia, masyarakat dan alam;
apa saja aliran-aliran filsafat tentang manusia; bagaimana pandangan Islam
terhadap pendidikan serta apa saja fungsi pendidikan dalam masyarakat madani.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Manusia dan Masyarakat dalam Pandangan Filosofis dan Islam
Di dalam Mu’jam al-Falsafi yang
dikutip oleh M. Yasir Nasution, hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap,
tidak berubah-ubah, yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi
dirinya sendiri dan membedakannya dari yang lainnya.[1]
Berikut dijelaskan hakikat manusia dan masyarakat menurut pandangan filosuf dan
Islam.
1. Hakikat
manusia
Filsuf barat
mendefinisikan hakikat manusia sebagai berikut:
a) Menurut
Socrates, manusia adalah jiwa atau batinnya. Jiwa atau batin adalah faktor
pembeda dasariyah antara manusia dan makhluk lainnya.[2]
b) Menurut
Plato, jiwa manusia adalah entitas non material yang dapat terpisah dari tubuh.
Jiwa ada sejak sebelum kelahiran dan tidak dapat hancur alias abadi. Lebih jauh
Plato mengatakan bahwa hakikat manusia ada dua yaitu rasio dan kesenangan
(nafsu).
c) Descrates
mengatakan bahwa manusia memiliki emosi yang muncul dalam berbagai kombinasi
yaitu cinta (love), gembira (joy), keinginan (desire),
benci (rage), sedih (sorrow), dan kagum (wonder). Menurut
Descrates, akal menduduki posisi sentra sebagai esensi (hakikat) manusia.
d) John
Locke yang terkenal dengan teori tabula rasa mengemukakan bahwa jiwa manusia
saat dilahirkan laksana kerta putih (istilahnya meja lilin), kemudian diisi
dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam hidupnya. Pengalaman lah yang
menentukan keadaan seseorang. Menurut paham ini, pendidikan sangat berpengaruh
pada seseorang.
e) Immanuel
Kant mengatakan bahwa manusia tidak akan mampu mengenali dirinya sendiri.
Manusia mengenali dirinya berdasarkan apa yang tampak (baik secara empiris
maupun secara batin). Kaitannya dengan pendidikan, Kant mengatakan bahwa
manusia bertindak berdasarkan alasan moral, manusia bertindak bukan hanya untuk
kepentingan sendiri. Jadi, manusia memiliki alasan ketika ia melakukan
tindakan.[3]
Manusia adalah makhluk Allah. Ia dan alam semesta
bukan terjadi sendirinya, tetapi dijadikan oleh Allah. Allah menciptakan
manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Untuk ini Dia memerintahan supaya manusia
beribadat kepadaNya.[4]
Perintah ibadah ini sudah ada sejak terciptanya nabi Adam sebagai manusia
pertama.
Nabi Adam sebagai manusia pertama diciptakan dari
persenyawaan beberapa komponen yang terdiri dari tin (tanah liat yang
berasal dari lumpur yang bersih), turab (saripati tanah, dan shalshal
seperti fakhkhar berasal dari hama’ masnun (dari lumpur
hitam yang dicetak dan diberi bentuk). Adapun manusia pasca Adam pada
hakikatnya tercipta dari saripati tanah. Penciptaan tersebut melalui beberapa
tahapan. Dari sperma dan darah yang berasal dari makanan bertemu dengan sel
telur (ovum) kemudian membentuk nutfah dan masuk ke dalam rahim. Selanjutnya
berubah menjadi `alaqah (segumpal darah), mudghah (segumpal
daging), dan tulang belulang.[5]
Selanjutnya, tulang tersebut dibungkus oleh daging yang kemudian dijadikan
manusia oleh Allah SWT sebagai makhluk yang paling sempurna.
Manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang
berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia
adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh
untuk menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder dan
ruh adalah yang primer.[6]
Meskipun demikian, antara ruh dan jasad memiliki kaitan yang sangat erat.
Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jasad yang tidak
memiliki ruh akan mati sedangkan ruh tanpa jasad tidak dapat dikenali
tanda-tanda kehidupannya.
Al-Qur’an menggunakan beberapa istilah yang menunjukkan kepada manusia
seperti basyar dan insan, sedangkan yang menunjukkan kepada
kompleksitas jati diri manusia adalah al-jism, ‘aql, qalb,
nafs, dan fitrah. Berikut penjelasan mengenai basyar dan insan.
a)
Kata insan
Manusia jika
merujuk kepada kata insan, nasiya, dan al-uns/anisa
berarti mengacu kepada manusia dari aspek mental-spiritualnya. Kata insan yang
bentuk jamaknya al-nas dari segi semantik dapat dilihat dari kata anasa
yang berarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Insan dari kata nasiya
berarti lupa atau salah. Manusia memiliki sifat salah dan lupa. Dengan sifat
ini, manusia hendaknya selalu memperbaiki diri dengan tidak berbuat salah
terus-menerus sehingga bertambah kualitas hidupnya. Adapun Insan dari
kata al-uns/anisa berarti jinak. Maksudnya, pada dasarnya
manusia adalah makhluk yang jinak (kemampuan beradaptasi), yang berbudaya,
dapat mendidik dan dididik.[7]
b)
Basyar
Manusia jika
merujuk kepada kata basyar berarti mengacu pada manusia dari aspek
lahiriahnya. Kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk, baik
laki-laki maupun perempuan, baik individu maupun kolektif.[8]
Di dalam al-Qur’an, kata basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam
kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab.[9]
Insan dan basyar merupakan unsur yang saling melengkapi sehingga
masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Manusia terdiri dari kedua unsur
tersebut sehingga dapat menjalani aktivitas kekhalifahannya di muka bumi.
Kata yang menunjukkan kepada kompleksitas jati diri manusia adalah al-jism
(tubuh), ‘aql (akal), qalb (hati), nafs (jiwa), dan fitrah
(watak). Masing-masing memiliki fungsi yang sangat penting dan berkaitan
satu sama lain. Menurut al-Ghazali, konsep diri dinyatakan dalam bahasa Arab
oleh empat hal, yaitu Qalb (hati), Ruh (jiwa), Nafs
(keinginan alam), dan Aql (intelek). Al-Ghazali memposisikan Qalb
sebagai esensi dari manusia. Qalb merupakan entitas spiritual yang
tinggal di dalam tubuh fisik dan mengontrol fungsi organik dan fisiknya. Dengan
Qalb, manusia dapat menangkap segala rasa, mengetahui, dan mengenal
sesuatu.[10]
Meskipun Qalb sering diartikan sebagai segumpal daging yang ada di dalam
tubuh manusia, tetapi Qalb lebih cenderung kepada sesuatu yang bersifat
abstrak. Ketika Qalb diambil, manusia masih bisa merasakan dan
sebagainya.
Manusia diciptakan berbeda dari makhluk-makhluk
lainnya di muka bumi ini. Perbedaan itu terdapat pada struktur tubuhnya yang
menginginkannya untuk mencipta dan berkarya.[11]
Di dalam jiwanya terdapat berbagai potensi terutama potensi berpikir dan
merasakan yang merupakan faktor utama untuk mencipta dan berkarya. Di samping
itu terdapat potensi khusus yang membedakannya secara prinsipil dengan makhluk
lainnya, berupa iman yang dapat menuntunnya untuk menjadikan kehidupan ini
bermakna dan bernilai mulia, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
2. Hakikat
Masyarakat
Menurut Aristoteles, masyarakat terdiri dari
keluarga-keluarga sedangkan menurut Comte, masyarakat dipandang sebagai lebih
dari suatu agriget (gerombolan) individu-individu.[12]
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat
merupakan kumpulan individu dan keluarga yang menempati daerah tertentu dan
terikat oleh hukum tertentu.
Masyarakat merupakan sekelompok individu dari
kumpulan yang terikat oleh kesatuan tanah air, budaya, agama, serta
hubungan-hubungan yang terkandung di dalamnya, seperti adat, tradisi,
ciri-ciri, sistem kehidupan, undang-undang, institusi, dan lain-lain.[13]
Selain itu, di dalam masyarakat juga terdapat pola hubungan, nilai-nilai,
prinsip, interaksi, komunikasi, struktur, stratifikasi, organisasi,
kepemimpinan, dan lain sebagainya.[14]
Masyarakat bersifat plural. Masing-masing memiliki perbedaan dan karakter serta
kondisi sosial yang beragam.
Sebagaimana adanya hukum Tuhan di alam jagat raya,
maka masyarakat memiliki prinsip-prinsip yang harus ditegakkan demi terciptanya
kenyamanan, kedamaian dan ketertiban. Prinsip-prinsip tersebut antara lain
mengakui adanya keragaman dalam berbagai bidang; agama, pekerjaan, tingkat
sosial dan lainnya sebagai sebuah realitas dan keniscayaan, saling menghargai,
menghormati, toleransi, menghargai HAM, tolong menolong, memberi dan menerima,
terbuka, penerima perubahan, menjunjung tinggi akhlak mulia, bersikap seimbang
dan saling menghargai.[15]
Jika prinsip-prinsip tersebut tidak ditegakkan, maka masyarakat tidak akan
merasakan kenyamanan, ketertiban, dan ketenteraman. Oleh karena itu, prinsip
bermasyarakat menjadi landasan damainya suatu masyarakat.
Kehadiran masyarakat dan individu sesungguhnya
saling membutuhkan. Masyarakat tercipta karena adanya individu yang saling
berinteraksi dan berkomunikasi antara satu dan lainnya. Masyarakat memiliki
fungsi sebagai berikut.
1. Membantu
individu dalam memenuhi berbagai kebutuhan bagi kelangsungan hidupnya.
2. Membantu
individu dalam bersosialisasi.
3. Sebagai
tempat melakukan proses pembelajaran dalam bentuk learning by doing yakni
belajar sambil bekerja, sehingga daya cipta, rasa, dan karsanya terbina dengan
baik.[16]
Dalam perspektif filsafat pendidikan
Islam, proses saling belajar yang berlaku di lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat merupakan perjalanan kebudayaan manusia dalam mencerdaskan dirinya,
meningkatkan kesadarannya sebagai makhluk yang berbudi luhur, serta makhluk
yang belajar memahami keinginan manusia yang beragam.[17]
Keragaman yang berbeda muncul berdasarkan perbedaan individu yang ada di
dalamnya. Dalam hal ini, belajar memiliki pengertian yang lebih luas, yakni
transfer nilai-nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat. Jadi, belajar
tidak terbatas di lingkungan sekolah saja, namun termasuk di dalamnya keluarga
dan masyarakat.
B. Aliran Filsafat tentang Manusia
Aliran
filsafat tentang manusia terdiri dari aliran serba zat, aliran serba ruh,
aliran dualisme, dan aliran eksistensialisme.
a. Aliran
serba zat
Aliran serba zat mengatakan
bahwa yang sungguh-sungguh ada hanyalah zat atau materi. Zat atau materi itulah
hakikat dari sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi, dan manusia adalah unsur
dari alam. Maka dari itu hakikat manusia adalah zat atau materi.
b.
Aliran serba ruh
Aliran serba ruh berpendapat bahwa segala hakikat
sesuatu yang ada di dunia ini ialah ruh, juga hakikat manusia adalah ruh. Ruh
adalah sesuatu yang tidak menempati ruang, sehingga tidak dapat disentuh atau
dilihat oleh panca indera. Aliran ini berlawanan dengan zat yang menempati
ruang betapapun kecilnya zat itu.
c.
Aliran dualisme
Aliran dualisme mencoba untuk mengawinkan kedua aliran
tersebut di atas. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakatnya terdiri
dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini
masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain.
Jadi badan tidak berasal dari ruh juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan.[18]
Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh.[19]
d. Aliran
eksistensialisme
Aliran
ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman dan situasi sejarah
yang ia alami serta tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak dan
spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan
yang tumbuh dari dirinya, dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai
keyakinan hidupnya.[20]
Implikasi
eksistensialisme dalam kehidupan manusia pada intinya terletak pada sikap
subjektivitas dan individualitas manusia. Dengan demikian, orang cenderung
bebas berbuat menurut jati dirinya dengan slogan be your self.[21]
Aliran ekstensialisme tidak begitu cocok diterapkan di dunia pendidikan,
terutama di sekolah. Jika diterapkan, maka orang yang menganut aliran ini tidak
akan mematuhi peraturan karena prinsipnya yang cenderung bebas sesuai kehendak
hatinya.
C.
Hakikat
Alam dalam Islam
Alam adalah segala sesuatu yang ada selain Allah
yang terdiri dari makhluk-makhluk materi dan bukan materi. Alam meliputi ruh,
benda, waktu, tempat, serta semua sistem dan undang-undang yang mengatur
bagian-bagiannya.[22]
Menurut Ahmad Janan Asifudin, alam terbatas pada
alam indrawi dalam dunia beserta dinamika dan keadaan yang mempunyai hubungan
eksistensial atau dapat dihubungkan dengannya, yaitu alam yang dapat diteliti,
dipelajari, kemudian dimengerti “sunnatullah” atau hukum alamnya dengan bekal
panca indera beserta akal yang dikaruniakan kepada manusia oleh Sang Pencipta
Yang Maha Kuasa hingga dihasilkan ilmu pengetahuan yang ilmiah (logis dan
empirik) dan filosofis (logis yang tidak dapat dibuktikan dengan empirik).[23]
Konsepsi Islam tentang alam semesta merupakan konsep
tauhid. Islam membawakan tauhid dalam bentuknya yang paling murni. Dari sudut
pandang Islam, tidak ada yang seperti Allah dan tidak ada yang menyamainya.
Dari sudut pandang tauhid dan konsepsi Islam bahwa alam semesta merupakan
ciptaan dan diurus oleh kehendak dan perintah Allah.[24]
Alam jagat raya dan segala isinya merupakan sarana pelaksanaan pendidikan
Islam. Dengan alam, guru dapat memperkenalkan peserta didik kepada Tuhan.
Dengan mengenal alam, seseorang akan dekat dan taqwa kepada Allah swt.
Alam merupakan penentu keberhasilan
proses pendidikan. Adanya interaksi antara peserta didik dengan benda atau
lingkungan alam sekitar tempat mereka hidup merupakan prinsip filsafat
pendidikan Islam yang perlu diperhatikan.[25]
Prinsip ini menekankan bahwa proses pendidikan manusia dan peningkatan mutu
akhlaknya bukan sekadar terjadi dalam lingkungan sosial semata, melainkan juga
dalam lingkungan alam yang bersifat material. Jadi, alam semesta merupakan
tempat dan wahana yang memungkinkan proses pendidikan berhasil.
D. Masyarakat Madani
dalam Islam
Konsep
masyarakat madani menurut Islam adalah bangunan politik yang demokratis,
menghormati, dan menghargai publik seperti kebebasan hak asasi, partisipasi,
keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lainnya. Dengan
demikian, masyarakat madani dapat dipahami sebagai masyarakat yang
berperadaban, beradab, masyarakat sipil, dan menghargai pluralistik.[26]
Masyarakat madani sebagai masyarakat yang ideal
memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1) bertuhan, 2) damai, 3) tolong-menolong,
4) toleran 5) keseimbangan antar hak dan kewajiban sosial, 6) berperadaban
tinggi dan 7) berakhlak mulia.
Dalam konteks masyarakat Indonesia di
mana umat Islam adalah mayoritas, peranan umat Islam untuk mewjudkan masyarakat
madani sangat menentukan.[27]
Kondisi masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan
oleh umat Islam. Bila umat Islam benar-benar mencerminkan hidup islami, pasti
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera. Untuk mewujudkan sikap
hidup yang islami, umat Islam hendaknya dapat mendasarkan perilaku
sehari-harinya pada iman dan tauhid, mengutamakan nilai-nilai agamis, serta
menjunjung tinggi akhlak al-karimah.
E. Fungsi Pendidikan dalam Masyarakat Madani
Pendidikan merupakan proses pengupayaan memanusiakan
manusia. Pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara
sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah
(kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal
pertumbuhan dan perkembangannya.[28]
Secara umum, tugas pendidikan Islam adalah
membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari
tahap satu ke tahap berikutnya sampai mencapai titik kemampuan optimal.
Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas
pendidikan dapat berjalan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan
tujuan bersifat struktural dan institusional.[29]
Menurut Ramayulis yang dikutip oleh Samzul Nizar, fungsi
pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu:
1. Alat
untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan,
nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan nasional.
2. Alat
untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada garis besarnya,
upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki,
serta melatih tenaga-tenaga manusia (peserta didik) yang produktif dalam
menemukan perimbangan yang demikian dinamis.[30]
Adapun menurut Maragustam, fungsi pendidikan yang
sangat penting dan menjadi sumber utama dalam pembentukan karakter yaitu 1)
fungsi memindahkan nilai-nilai agama; dan 2) pembentukan karakter
anggota-anggota masyarakat.[31]
Agama merupakan landasan penting dalam kehidupan masyarakat. Agama memiliki
tatanan yang masing-masing mengarahkan penganutnya kepada kebaikan. Dengan
pendidikan, nilai-nilai agama dapat tersampaikan kepada anggota masyarakat,
baik melalui lembaga pendidikan maupun selain lembaga pendidikan. Pendidikan
sangat menentukan karakter dan kepribadian masyarakatnya. Oleh karena itu, dibutuhkan
kerjasama yang baik oleh pihak-pihak terkait, yaitu keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Ketiga komponen tersebut harus menjadi sarana pendidikan yang baik
dan seimbang sehingga pembentukan karakter masyarakat mencapai titik maksimal.
Fungsi pendidikan dalam masyarakat berdasarkan
pengertian pendidikan Islam yaitu:
- Mengembangkan, memperbaiki, memimpin, melatih, mengasuh potensial setiap anggota masyarakat untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, ilmu, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dalam menjalani hidup bermasyarakat yang kompleks.
- Pewarisan nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial-nilai sosial.
- Pendidikan berfungsi sebagai alat kontrol sosial.
- Pendidikan berfungsi alat pemersatu dan pengembangan pribadi dan sosial.[32]
Pendidikan Islam bertugas memberikan
penganalisisan secara mendalam dan rinci tentang problema kependidikan Islam
sampai kepada penyelesaiannya. Ilmu pendidikan Islam tidak hanya melandasi
tugasnya pada teori-teori saja akan tetapi memperhatikan fakta-fakta empiris
atau praktis yang berlangsung dalam masyarakat sebagai bahan analisis.[33]
Kehadiran pendidikan Islam diharapkan mampu memecahkan serta mencari jalan
keluar setiap permasalahan yang muncul di masyarakat. Dengan demikian,
pendidikan Islam memiliki tingkat kepentingan yang tinggi demi mewujudkan
masyarakat Indonesia yang islami sesuai dengan asas-asas demokrasi.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang
berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia
adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh
untuk menjalani kehidupan material di alam yang material.
Masyarakat merupakan sekelompok individu dari
kumpulan yang terikat oleh kesatuan tanah air, budaya, agama, serta
hubungan-hubungan yang terkandung di dalamnya, seperti adat, tradisi,
ciri-ciri, sistem kehidupan, undang-undang, institusi, dan lain-lain.
Alam adalah segala sesuatu yang ada selain Allah
yang terdiri dari makhluk-makhluk materi dan bukan materi. Konsepsi Islam
tentang alam semesta merupakan konsep tauhid. Islam membawakan tauhid dalam
bentuknya yang paling murni. Alam merupakan penentu keberhasilan proses
pendidikan.
Konsep masyarakat madani menurut Islam adalah
bangunan politik yang demokratis, menghormati, dan menghargai publik seperti
kebebasan hak asasi, partisipasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan
moralitas, dan lainnya.
Fungsi pendidikan yang sangat penting dan menjadi
sumber utama dalam pembentukan karakter yaitu 1) fungsi memindahkan nilai-nilai
agama; 2) pembentukan karakter anggota-anggota masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali,
Abi Hamid, Ihya Ulumuddin (Jilid III), Mesir: Maktabah Asy Syarouk Ad-Dauliyyah, 2010.
Arifin,
M., Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoretis dan Praktis berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta:
Bumi Aksara, 1996.
Arifin,
Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2014..
Asifudin,
Ahmad Janan, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofis), Yogyakarta: Suka Press,
2010.
Assegaf,
Abd. Rachman, Studi Islam Kontekstual, Yogyakarta: Gama Media, 2005.
___________________,
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.
Basri,
Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009.
Daradjat,
Zakiah, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
Kamaluddin,
Undang Ahmad, Filsafat Manusia, Bandung: Pustaka Setia, 2013..
Langgulung,
Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988.
Nasution,
Muhammad Yasir, Manusia Menurut AL-Ghazali, Jakarta: Rajawali, 1988.
Nata,
Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
____________,
Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Jakarta: Rajagrafindo, 2013.
Nawawi,
Hadari, Pendidikan dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Nizar,
Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Sanaky,
Hujair AH., Paradigma Pendidikan Islam: membangun masyarakat madani Indonesia, Yogyakarta: Safira
Insania Press, 2003.
Siregar,
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta:
Kurnia Alam Semesta, 2014.
________________,
Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna, Yogyakarta:
Nuha Litera, 2010.
Suharto,
Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010.
Zuhairini,
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
[1] Muhammad Yasir Nasution, Manusia
Menurut AL-Ghazali, (Jakarta: Rajawali, 1988), hal. 49.
[2] Undang Ahmad Kamaluddin, Filsafat
Manusia, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hal 72.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 9-14.
[4] Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hal. 1-2.
[5] Maragustam, Mencetak
Pembelajar Menjadi Insan Paripurna, (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010), hal.
61.
[6] Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 77.
[7]
Maragustam Siregar, Filsafat
Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, (Yogyakarta:
Kurnia Alam Semesta, 2014), hal. 67-69.
[8] Ibid., hal. 69.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islami..., hal. 21.
[10] Abi Hamid Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin (Jilid III), (Mesir: Maktabah Asy-Syarouk Ad-Dauliyyah, 2010),
hal. 3-4.
[11] Hadari Nawawi, Pendidikan
dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hal. 52.
[12] Loren Bagus dalam Maragustam, Filsafat
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2014), hal. 82-83.
[13] Hasan Langgulung, Asas-Asas
Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), hal. 55.
[14] Abuddin Nata, Pemikiran
Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: Rajagrafindo, 2013), hal. 162-163.
[15] Ibid., hal.160-161.
[16] Ibid., hal. 162.
[17] Hasan Basri, Filsafat
Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hal. 48.
[18] Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam..., hal. 71-74.
[19] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat
Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis
Integratif-Interkonektif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 130.
[20] Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam..., hal. 30-31.
[21] Abd. Rachman Assegaf..., hal.
132.
[22] Hasan Langgulung, Asas-Asas
Pendidikan Islam..., hal. 49.
[23] Ahmad Janan Asifudin, Mengungkit
Pilar-Pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofis), (Yogyakarta: Suka Press,
2010), hal. 45-46.
[24] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan
Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: Rajawali Press, 2009),
hal. 122.
[25] Toto Suharto, Filsafat
Pendidikan Islam, ((Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 102-103.
[26] Hujair AH. Sanaky, Paradigma
Pendidikan Islam..., hal. 49.
[27] Abd. Rachman Assegaf, Studi
Islam Kontekstual, (Yogyakarta: Gama Media, 2005), hal. 228.
[28] M. Arifin, Ilmu Pendidikan
Islam Tinjauan Teoretis dan Praktis berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1996), hal. 22.
[29] Muzayyin Arifin, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hal. 34.
[30] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), hal. 34.
[31] Maragustam Siregar, Filsafat
Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, (Yogyakarta:
Kurnia Alam Semesta, 2014), hal. 90.
[32] Ibid., hal. 91.
[33] M. Arifin, Ilmu Pendidikan
Islam Tinjauan Teoretis dan Praktis..., hal. 30.
0 comments:
Post a Comment