Wednesday 11 December 2013

SOSIOLOGI PENDIDIKAN: UN dan Etika Guru


UJIAN NASIONAL DAN ETIKA GURU
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. Sabarudin, M.Si


Disusun Oleh:
Ummu Mawaddah      11410189

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013


BAB I
PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang Masalah
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau cara lain yang dikenal atau diakui masyarakat. Pendidikan juga merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap Negara. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.
Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan pemerintah yang  merupakan bentuk lain daripada EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) yang sebelumnya dihapus. Benarkah UN merupakan alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan? Berbagai pertanyaan timbul seiring dengan pelaksanaan UN bagi siswa-siswa disekolah. Di satu pihak ada yang mendukung pelaksanaan UN tetap dipertahankan, akan tetapi disisi lain ada juga yang menginginkan agar UN di sekolah dihapuskan.
Problematika UN masih menyisakan banyak kisah setelah pelaksanaannya, semua itu merupakan agenda besar kita sebagai calon pendidik untuk bisa memberikan kontribusi terbaik kita bagi bangsa dan negara ini. Terlepas dari tetap akan diadakannya UN atau tidak yang terpenting bagi kita adalah selalu siap sedia dengan segala kemampuan yang dimiliki, sehingga UN bukan lagi menjadi suatu beban yang berat dengan kesiapsiagaan kita.
b.      Rumusan Masalah:
1.      Apa pengertian dan tujuan Ujian Nasional?
2.      Apa yang dimaksud dengan etika dan kode etik guru?
3.      Bagaimana dampak Ujian Nasional terhadap etika guru?
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Ujian Nasional
a.      Pengertian Ujian Nasional
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab I ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 20 dijelaskan bahwa “Ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapain kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.”[1]
Sedangkan pengertian ujian nasional berdasarkan PP No 19 tahun 2005 Pasal 63 ayat 1 butir c yaitu penilaian hasil belajar yang dilakukan pemerintah. Yang kemudian diperjelas dalam pasal 66 ayat 1 bahwa penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat 1 butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Pemerintah yang dimaksud di atas adalah pemerintah pusat.
Ujian nasional biasa disingkat UN yaitu sistem evaluasi dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh pusat penilaian pendidikan.  Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.[2]
Menurut E. Mulyasa, Ujian Nasional merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan untuk menentukan standar mutu pendidikan. Kebijakan ini berkaitan dengan berbagai aspek yang dinamis, seperti budaya, kondisi ekonomi, bahkan politik dan keamanan, sehingga akan selalu rentan terhadap perbedaan dan kontroversi sejalan dengan perkembangan masyarakat. Kebijakan tersebut merupakan keputusan politik atau politik pendidikan yang menyangkut kepentingan berbagai pihak, bahkan dalam batas-batas tertentu dapat dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan.[3]
Evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematis untuk menilai pencapain standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan. Proses pemantauan evaluasi dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan pada akhirnya dapat membenahi mutu pendidikan. Pembenahan mutu pendidikan dimulai dengan penentuan standar pendidikan.
Penentuan standar pendidikan yaitu penentuan nilai batas. Seseorang dikatakan sudah lulus atau kompeten bila telah melewati nilai batas berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi. Bila itu terjadi pada ujian nasional atau sekolah maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan tidak lulus disebut batas kelulusan, kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standar setting. Penentuan standar yang terus meningkat diharapkan akan mendorog peningkatan mutu pendidikan.

b.      Tujuan dan Fungsi Ujian Nasional
Tujuan pokok penyelenggaraan ujian nasional yaitu, untuk mengukur hasil pencapaian hasil belajar peserta didik; untuk mengukur tingkat pendidikan pada timgkat nasional, provinsi, kabupaten dan sekolah; untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan.
Dalam SK tersebut pasal 3 juga dikemukakan fungsi UN sebagai berikut:
1)      Alat pengendali mutu pendidikan secaa nasional. Melalui penyelenggaraan UN diharapkan mutu pendidikan nasional dapat dikendalikan. UN tidak dapat digunakan sebagai pengelompokkan sekolah bermutu dan sekolah yang kurang bermutu, karena akan semakin memperlebar jurang pemisah mutu sekolah yang secara nasional memang rentang variasi mutu sekolah ini sudah sangat panjang.
2)      Mendorong peningkatan mutu pendidikan. Penyelenggaraan UN diharapkan dapat memotivasi kolah untu menigkatkan mutu pembelajaran dan usaha untuk mencapai hasil UN secara optimal.
3)      Bahan pertimbangan untuk menentukan tamat belajar dan predikat prestasi peserta didik. UN dijadikan bahan pertimbangan penentuan kelulusan dan penentuan predikat prestasi peserta didik. UN menjadi kriteria yang akurat dan berlaku nasional untuk menentukan predikat dan prestasi peserta didik.
4)      Pertimbangan dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang pendidikan tinggi. Butir-butir soal UN sudah disusun untuk mampu membedakan antar peserta didik yang telah memenuhi standar kompetensi dengan peserta didik yang belum memenuhi standar kompetensi. Dengan demikian akan sangat tepat bila digunakan juga untuk mengetahui potensi calon peserta didik untuk mengikuti pembelajaran di sekolah yang dipilihnya.[4]

B.       Etika Guru
a.      Pengertian Etika dan Kode Etik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika (ethic) bermakna sebagai sekumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, tata cara (adat, sopan santun) nilai mengenai benar dan salah tentang hak dan kewajiban yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.[5]
Etika, pada hakikatnya merupakan dasar pertimbangan dalam pembuatan keputusan tentang moral manusia dalam interaksi dengan lingkungannya. Secara umum, etika dapat diartikan sebagai suatu disiplin filosofis yang sangat diperlukan dalam interaksi sesama manusia dalam memilih dan memutuskan pola-pola perilaku yang sebaik-baiknya berdasarkan timbangan  moral-moral yang berlaku. Dengan adanya etika, manusia dapat memilih dan memutuskan perilaku yang paling baik sesuai dengan norma-norma moral yang berlaku.[6]
Dalam dunia pekerjaan, etika sangat diperlukan sebagai landasan perilaku kerja para guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dengan etika kerja itu, maka suasana dan kualitas kerja dapat diwujudkan sehingga menghasilkan kualitas pribadi dan kinerja yang efektif, efisien, dan produktif. Etika kerja lazimnya dirumuskan atas kesepakatan para pendukung pekerjaan itu dengan mengacu pada sumber-sumber dasar nilai dan moral tersebut di atas. Rumusan etik kerja yang disepakati bersama disebut kode etik. Kode etik akan menjadi rujukan untuk mewujudkan perilaku etika dalam melakukan tugas-tugas pekerjaan.
Maksud dari kode etik guru di sini adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationship) antar guru dengan lembaga pendidikan (sekolah); guru dengan peserta didik; dan guru dengan lingkungannya. Sebagai sebuah jabatan pekerjaan, profesi guru memerlukan kode etik khusus untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut.[7]
Secara umum, kode etik ini diperlukan dengan beberapa alasan, antara lain seperti berikut ini.[8]
1)      Untuk melindungi pekerjaan sesuai dengan ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan berdasarkan perundang-uandangan yang berlaku.
2)      Untuk mengontrol terjadinya ketidakpuasan dalam persengketaan dari para pelaksana, sehingga dapat menjaga dan meningkatkan stabilitas internal dan eksternal pekerjaan.
3)      Melindungi para praktisi di masyarakat, terutama dalam hal adanya kasus-kasus penyimpangan tindakan,
4)      Melindungi anggota masyarakat dari praktek-praktek yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.

Menyadari pentingnya kode etik tersebut, berarti guru harus mampu melaksanakan tugasnya secara jujur, komitmen, dn penuh dedikasi. Hubungan-hubungan sebagaimana maksud di atas, juga harus dipatuhi demi menjaga kemajuan dan solidaritas yang tinggi.[9]

b.      Kode etik guru Indonesia
Guru Indonesia menyadari, bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD 1945 turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan mempedomani dasar-dasar sebagai berikut.[10]
1)      Guru berbakti dan membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2)      Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3)      Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4)      Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
5)      Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6)      Guru secara pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7)      Guru memelihara hubungan profesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial.
8)      Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9)      Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Dengan memenuhi sejumlah kode etik dan syarat-syarat yang dikemukakan diatas, akan tercipta sosok guru sebagai pendidik yang profesional dan beretika yang dapat mengantarkan peserta didik  pada perwujudan tujuan pendidikan nasional yang dicita-citakan.

C.      Dampak Ujian Nasional terhadap Etika Guru
Merujuk UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 (terutama pasal 57, 58, 59) dan Peraturan  Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (terutama pasal 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72), tujuan umum dilaksanakannya UN di sekolah/madrasah barangkali dapat dikatakan sebagai bahan evaluasi terhadap kualitas pendidikan nasional; dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan pendidikan nasional.[11]
Akan tetapi, tujuan ideal-filosofis dilaksanakannya UN yang ideal itu tidak terlepas dari adanya pro kontra sehingga menimbulkan beberapa dampak, yang sebagian besar di antaranya adalah dampak negatif. Selain berdampak terhadap peserta didik, UN juga memiliki dampak terhadap etika guru atau pendidik. Dampak tersebut di antaranya adalah:
a)        Guru berusaha membantu siswa untuk berhasil dalam ujian nasional nantinya. Dengan adanya ujian nasional guru dapat bertukar informasi kepada guru lainnya mengenai apa-apa yang akan diujikan, seperti kode etik guru poin 7.
b)        Banyak guru yang terpaksa membantu siswa menjawab item pertanyaan pada soal Ujian Nasional.[12]
c)        Tuntutan untuk menjadi guru profesional dengan menguasai 4 kompetensi yang terurai dalam 14 sub kompetensi dan dijabarkan dalam 86 indikator menjadi sia-sia. Kompetensi pedagogik dan kepribadian sebagai guru menjadi absurd. Kode etik guru menjadi runyam.
d)       Banyak guru yang mengajar tidak jauh dari SKL saja, misalnya dengan menggunakan model drilling, sehingga  pembelajaran yang sejatinya dilakukan agar anak didik siap menghadapi  jenjang  pendidikan yang lebih tinggi melalui penguasaan konsep dasar yang kuat, tidak terlaksana dengan baik, karena pembelajaran guru hanya fokus pada SKL.
e)        Guru kehilangan energi kreatif dalam mengajar. Guru-guru merasa bahwa tidak ada gunanya merancang pengajaran kreatif dan inovatif kerena materi itu tidak akan diujikan.
f)         Penghormatan siswa dan keseriusan siswa mendengar petuah guru bahkan pembelajaran guru, menjadi berkurang. Akibatnya guru akan bekerja lebih keras dan ‘makan hati’ dalam mengarahkan siswa dalam pembelajaran di kelas
g)        Guru merasa tidak lagi tertantang untuk memperbaiki kompetensi profesionalnya. Karena tingkat kelulusan, daya serap, dan ketuntasan nilai UN siswa sangat tinggi, artinya mereka ‘sukses dan terbukti’ sebagai  guru profesional. Sehingga pemberian nilai tidak lagi menjadi hal yang sakral.
h)        Ujian Nasional yang menjadi momok bagi siswa justru dimanfaatkan oleh sebagian guru untuk mengeruk keuntungan antara lain dengan membuka lembaga bimbingan belajar yang menawarkan jasanya untuk meluluskan siswa dengan berbagai trik dan tips dalam menentukan jawaban yang paling benar.
i)          Adanya ketimpangan sosial antara guru yang mengampu pelajaran UN dengan guru yang tidak mengampu UN. Selain mendapatkan jam tambahan mengajar, guru pengampu UN juga memiliki kesempatan membuka les. Sehingga bisa dikatakan bahwa guru pengampu UN lebih makmur dari pada guru bukan pengampu UN.
j)          Pendidik seringkali disalahkan oleh pemerintah, orang tua, bahkan peserta didik. Hal ini dikarenakan mereka dianggap tidak mampu membimbing peserta didik secara maksimal. Ketidakmampuan ini ditunjukan oleh hasil UN. Ketika hasil UN jelek, pendidik dituding sebagai penyebab utama. Namun, hal ini berbeda ketika hasil UN menunjukkan hasil  yang maksimal dan lembaga bimbingan belajar pun seringkali mendapat acungan jempol dari berbagai pihak. Pendidik yang selama ini berjuang sekuat tenaga dan berupaya dengan gaji rendah tidak mendapatkan ruang sedikitpun untuk bicara. Ia lebih banyak nrimo dengan keadaan yang semakin tidak berpihak.[13]
Ujian Nasional yang digunakan sebagai alat evaluasi pendidikan di Indonesia untuk saat ini masih mengalami kecurangan. Kecurangan tersebut bersumber dari semua komponen yang meliputi peserta didik itu sendiri, guru, kepala sekolah, pemerintah daerah, pemerintah pusat dan juga masyarakat. Alasan mengapa ujian nasional terjadi kecurangan, pertama, penekanan yang berlebihan pada hasil dan bukan pada proses belajar. Akibatnya hasil menjadi tujuan utama. Kedua, hasil ujian nasional berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah, termasuk kepala sekolah dan para guru di mata masyarakat umum.
BAB III
PENUTUP

Ujian nasional biasa disingkat UN yaitu sistem evaluasi dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh pusat penilaian pendidikan.  Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Etika, pada hakikatnya merupakan dasar pertimbangan dalam pembuatan keputusan tentang moral manusia dalam interaksi dengan lingkungannya. Secara umum, etika dapat diartikan sebagai suatu disiplin filosofis yang sangat diperlukan dalam interaksi sesama manusia dalam memilih dan memutuskan pola-pola perilaku yang sebaik-baiknya berdasarkan timbangan  moral-moral yang berlaku. Rumusan etik kerja yang disepakati bersama disebut kode etik.
Secara umum, dampak Ujian Nasional terhadap guru yaitu guru kehilangan energi kreatif dalam mengajar. Guru-guru merasa bahwa tidak ada gunanya merancang pengajaran kreatif dan inovatif karena cara pengajaran yang dilakukan oleh guru itu tidak akan diujikan. Hasil studi ini persis dengan hasil penelitian Smith dan Rottenberg (1999). Guru mengajarkan materi sesuai indikator yang diujikan kepada siswa. Selain itu guru berusaha dalam membantu siswanya untuk berhasil dalam ujian nasional nantinya. Dengan adanya ujian nasional guru dapat bertukar informasi kepada guru lainnya mengenai apa-apa yang akan diujikan, seperti kode etik guru poin 7.








DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal., Evaluasi pembelajaran: prinsip teknik  prosedur, Bandung: PT.       Remaja Rosda Karya,  2009.
Benni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008.
Idi, Abdullah, Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan, Jakarta:            Rajawali Citra, 2011.
Ismaruddin, Ujian Nasional (UN) Berbuah Generasi Bermartabat atau       Membangun    Sistem Berkarakter Korup?.
Lie, Anita, Menggugat Ujian Nasional, Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2007.
Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru, Malang: UIN-Maliki Press, 2011.
Mulyasa, E., Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK,Bandung:          PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
Penyusun, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Bandung: Citra Umbara,    2012.
Surya, Mohammad, Landasan Pendidikan: Menjadi Guru yang Baik, Bogor: Ghalia           Indonesia, 2010.






[1] Penyusun, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003,  (Bandung : Citra Umbara, 2012), hal. 60.
[2] Ibid., hal. 29.
[3] E. Mulyasa Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005) hal. 180
[4] Zainal Arifin,  Evaluasi pembelajaran:prinsip teknik  prosedur, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009), hal. 61- 62.
[5] Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 399.
[6] Mohammad Surya, dkk., Landasan Pendidikan: Menjadi Guru yang Baik, (Bogor: Galia Indonesia, 2010), hal. 86.
[7] Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru,  (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hal.  42.
[8] Mohammad Surya, dkk., Landasan Pendidikan: Menjadi Guru yang Baik..., hal. 87.
[9]  Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru..., hal.  42.
[10] Mohammad Surya, dkk., Landasan Pendidikan: Menjadi Guru yang Baik..., hal. 90.
[11] Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Citra, 2011), hal. 245.
[12] Ibid., hal. 250.
[13] Benni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 140-142.

0 comments:

Post a Comment

 

lautan inspirasi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang