UJIAN NASIONAL DAN ETIKA GURU
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi
Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. Sabarudin, M.Si
Disusun Oleh:
Ummu
Mawaddah 11410189
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
Manusia membutuhkan
pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat
mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau cara lain yang
dikenal atau diakui masyarakat. Pendidikan juga merupakan salah satu sektor penting
dalam pembangunan di setiap Negara. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan
pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.
Ujian Nasional (UN)
merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan pemerintah yang merupakan bentuk lain daripada EBTANAS (Evaluasi
Belajar Tahap Akhir Nasional) yang sebelumnya dihapus. Benarkah UN merupakan
alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan? Berbagai pertanyaan timbul seiring dengan pelaksanaan UN bagi
siswa-siswa disekolah. Di satu pihak ada yang mendukung pelaksanaan UN tetap
dipertahankan, akan tetapi disisi lain ada juga yang menginginkan agar UN di
sekolah dihapuskan.
Problematika
UN masih menyisakan banyak kisah setelah pelaksanaannya, semua itu merupakan agenda
besar kita sebagai calon pendidik untuk bisa memberikan kontribusi terbaik kita
bagi bangsa dan negara ini. Terlepas dari tetap akan diadakannya UN atau tidak
yang terpenting bagi kita adalah selalu siap sedia dengan segala kemampuan yang
dimiliki, sehingga UN bukan lagi menjadi suatu beban yang berat dengan
kesiapsiagaan kita.
b.
Rumusan
Masalah:
1.
Apa pengertian
dan tujuan Ujian Nasional?
2.
Apa yang
dimaksud dengan etika dan kode etik guru?
3.
Bagaimana
dampak Ujian Nasional terhadap etika guru?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ujian Nasional
a.
Pengertian
Ujian Nasional
Menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab I
ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 20 dijelaskan bahwa “Ujian adalah kegiatan yang
dilakukan untuk mengukur pencapain kompetensi peserta didik sebagai pengakuan
prestasi belajar atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.”[1]
Sedangkan pengertian ujian nasional
berdasarkan PP No 19 tahun 2005 Pasal 63 ayat 1 butir c yaitu penilaian hasil
belajar yang dilakukan pemerintah. Yang kemudian diperjelas dalam pasal 66 ayat
1 bahwa penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat 1
butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional
pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Pemerintah yang dimaksud
di atas adalah pemerintah pusat.
Ujian nasional biasa disingkat UN
yaitu sistem evaluasi dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang
dilakukan oleh pusat penilaian pendidikan.
Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No
20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara
nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan
pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.[2]
Menurut E. Mulyasa, Ujian Nasional
merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan untuk menentukan standar
mutu pendidikan. Kebijakan ini berkaitan dengan berbagai aspek yang dinamis,
seperti budaya, kondisi ekonomi, bahkan politik dan keamanan, sehingga akan
selalu rentan terhadap perbedaan dan kontroversi sejalan dengan perkembangan
masyarakat. Kebijakan tersebut merupakan keputusan politik atau politik
pendidikan yang menyangkut kepentingan berbagai pihak, bahkan dalam batas-batas
tertentu dapat dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan.[3]
Evaluasi dilakukan oleh lembaga yang
mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematis untuk menilai
pencapain standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi harus
dilakukan secara berkesinambungan. Proses pemantauan evaluasi dilakukan secara
terus menerus dan berkesinambungan pada akhirnya dapat membenahi mutu
pendidikan. Pembenahan mutu pendidikan dimulai dengan penentuan standar
pendidikan.
Penentuan standar pendidikan yaitu
penentuan nilai batas. Seseorang dikatakan sudah lulus atau kompeten bila telah
melewati nilai batas berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah
menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai
kompetensi. Bila itu terjadi pada ujian nasional atau sekolah maka nilai batas
berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan tidak lulus
disebut batas kelulusan, kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standar
setting. Penentuan standar yang terus meningkat diharapkan akan mendorog
peningkatan mutu pendidikan.
b.
Tujuan dan
Fungsi Ujian Nasional
Tujuan pokok penyelenggaraan ujian
nasional yaitu, untuk mengukur hasil pencapaian hasil belajar peserta didik;
untuk mengukur tingkat pendidikan pada timgkat nasional, provinsi, kabupaten
dan sekolah; untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan.
Dalam SK tersebut pasal 3 juga
dikemukakan fungsi UN sebagai berikut:
1)
Alat pengendali
mutu pendidikan secaa nasional. Melalui penyelenggaraan UN diharapkan mutu
pendidikan nasional dapat dikendalikan. UN tidak dapat digunakan sebagai
pengelompokkan sekolah bermutu dan sekolah yang kurang bermutu, karena akan
semakin memperlebar jurang pemisah mutu sekolah yang secara nasional memang
rentang variasi mutu sekolah ini sudah sangat panjang.
2)
Mendorong
peningkatan mutu pendidikan. Penyelenggaraan UN diharapkan dapat memotivasi
kolah untu menigkatkan mutu pembelajaran dan usaha untuk mencapai hasil UN
secara optimal.
3)
Bahan pertimbangan
untuk menentukan tamat belajar dan predikat prestasi peserta didik. UN
dijadikan bahan pertimbangan penentuan kelulusan dan penentuan predikat
prestasi peserta didik. UN menjadi kriteria yang akurat dan berlaku nasional
untuk menentukan predikat dan prestasi peserta didik.
4)
Pertimbangan
dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang pendidikan tinggi. Butir-butir
soal UN sudah disusun untuk mampu membedakan antar peserta didik yang telah
memenuhi standar kompetensi dengan peserta didik yang belum memenuhi standar
kompetensi. Dengan demikian akan sangat tepat bila digunakan juga untuk
mengetahui potensi calon peserta didik untuk mengikuti pembelajaran di sekolah
yang dipilihnya.[4]
B.
Etika Guru
a.
Pengertian
Etika dan Kode Etik
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, etika (ethic) bermakna sebagai
sekumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, tata cara (adat, sopan
santun) nilai mengenai benar dan salah tentang hak dan kewajiban yang dianut
oleh suatu golongan atau masyarakat.[5]
Etika, pada hakikatnya
merupakan dasar pertimbangan dalam pembuatan keputusan tentang moral manusia
dalam interaksi dengan lingkungannya. Secara
umum, etika dapat diartikan sebagai suatu disiplin filosofis yang sangat
diperlukan dalam interaksi sesama manusia dalam memilih dan memutuskan
pola-pola perilaku yang sebaik-baiknya berdasarkan timbangan moral-moral yang berlaku. Dengan adanya
etika, manusia dapat memilih dan memutuskan perilaku yang paling baik sesuai
dengan norma-norma moral yang berlaku.[6]
Dalam dunia pekerjaan, etika sangat diperlukan sebagai landasan
perilaku kerja para guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dengan etika kerja
itu, maka suasana dan kualitas kerja dapat diwujudkan sehingga menghasilkan
kualitas pribadi dan kinerja yang efektif, efisien, dan produktif. Etika kerja
lazimnya dirumuskan atas kesepakatan para pendukung pekerjaan itu dengan
mengacu pada sumber-sumber dasar nilai dan moral tersebut di atas. Rumusan etik
kerja yang disepakati bersama disebut kode etik. Kode etik akan menjadi rujukan
untuk mewujudkan perilaku etika dalam melakukan tugas-tugas pekerjaan.
Maksud dari kode etik guru di sini adalah norma-norma yang mengatur
hubungan kemanusiaan (relationship) antar guru dengan lembaga pendidikan
(sekolah); guru dengan peserta didik; dan guru dengan lingkungannya. Sebagai
sebuah jabatan pekerjaan, profesi guru memerlukan kode etik khusus untuk
mengatur hubungan-hubungan tersebut.[7]
Secara umum, kode etik ini diperlukan dengan beberapa alasan,
antara lain seperti berikut ini.[8]
1)
Untuk melindungi pekerjaan sesuai dengan ketentuan dan
kebijakan yang telah ditetapkan berdasarkan perundang-uandangan yang berlaku.
2)
Untuk mengontrol terjadinya ketidakpuasan dalam
persengketaan dari para pelaksana, sehingga dapat menjaga dan meningkatkan
stabilitas internal dan eksternal pekerjaan.
3)
Melindungi para praktisi di masyarakat, terutama dalam
hal adanya kasus-kasus penyimpangan tindakan,
4)
Melindungi anggota masyarakat dari praktek-praktek
yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
Menyadari pentingnya kode etik
tersebut, berarti guru harus mampu melaksanakan tugasnya secara jujur,
komitmen, dn penuh dedikasi. Hubungan-hubungan sebagaimana maksud di atas, juga
harus dipatuhi demi menjaga kemajuan dan solidaritas yang tinggi.[9]
b.
Kode etik guru
Indonesia
Guru Indonesia menyadari, bahwa
pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan
negara serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila
dan setia pada UUD 1945 turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, Guru Indonesia terpanggil untuk
menunaikan karyanya dengan mempedomani dasar-dasar sebagai berikut.[10]
1)
Guru berbakti
dan membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang
berjiwa Pancasila.
2)
Guru memiliki
dan melaksanakan kejujuran profesional.
3)
Guru berusaha
memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan
dan pembinaan.
4)
Guru
menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses
belajar-mengajar.
5)
Guru memelihara
hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina
peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6)
Guru secara
pribadi dan bersama-sama, mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7)
Guru memelihara
hubungan profesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial.
8)
Guru secara
bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana
perjuangan dan pengabdian.
9)
Guru
melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Dengan
memenuhi sejumlah kode etik dan syarat-syarat yang dikemukakan diatas,
akan tercipta sosok guru sebagai pendidik yang profesional dan beretika yang
dapat mengantarkan peserta didik pada perwujudan tujuan pendidikan
nasional yang dicita-citakan.
C.
Dampak Ujian
Nasional terhadap Etika Guru
Merujuk UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 (terutama pasal 57, 58,
59) dan Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (terutama pasal 63, 64, 65, 66,
67, 68, 69, 70, 71, 72), tujuan umum dilaksanakannya UN di sekolah/madrasah
barangkali dapat dikatakan sebagai bahan evaluasi terhadap kualitas pendidikan
nasional; dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
mengambil kebijakan pendidikan nasional.[11]
Akan tetapi, tujuan ideal-filosofis dilaksanakannya UN yang ideal
itu tidak terlepas dari adanya pro kontra sehingga menimbulkan beberapa dampak,
yang sebagian besar di antaranya adalah dampak negatif. Selain berdampak
terhadap peserta didik, UN juga memiliki dampak terhadap etika guru atau
pendidik. Dampak tersebut di antaranya adalah:
a)
Guru berusaha membantu siswa untuk berhasil dalam
ujian nasional nantinya. Dengan adanya ujian nasional guru dapat bertukar
informasi kepada guru lainnya mengenai apa-apa yang akan diujikan, seperti kode
etik guru poin 7.
c)
Tuntutan untuk
menjadi guru profesional dengan menguasai 4 kompetensi yang terurai dalam 14
sub kompetensi dan dijabarkan dalam 86 indikator menjadi sia-sia. Kompetensi
pedagogik dan kepribadian sebagai guru menjadi absurd. Kode etik guru menjadi
runyam.
d) Banyak guru yang mengajar tidak jauh dari SKL saja, misalnya dengan
menggunakan model drilling,
sehingga pembelajaran yang sejatinya
dilakukan agar anak didik siap menghadapi
jenjang pendidikan yang lebih
tinggi melalui penguasaan konsep dasar yang kuat, tidak terlaksana dengan baik,
karena pembelajaran guru hanya fokus pada SKL.
e)
Guru kehilangan energi kreatif dalam
mengajar. Guru-guru merasa bahwa tidak ada gunanya merancang pengajaran kreatif
dan inovatif kerena materi itu tidak akan diujikan.
f)
Penghormatan
siswa dan keseriusan siswa mendengar petuah guru bahkan pembelajaran guru,
menjadi berkurang. Akibatnya guru akan bekerja lebih keras dan ‘makan hati’ dalam mengarahkan siswa
dalam pembelajaran di kelas
g)
Guru merasa
tidak lagi tertantang untuk memperbaiki kompetensi profesionalnya. Karena tingkat
kelulusan, daya serap, dan ketuntasan nilai UN siswa sangat tinggi, artinya
mereka ‘sukses dan terbukti’ sebagai
guru profesional. Sehingga pemberian nilai tidak lagi menjadi hal yang
sakral.
h)
Ujian Nasional
yang menjadi momok bagi siswa justru dimanfaatkan oleh sebagian guru untuk
mengeruk keuntungan antara lain dengan membuka lembaga bimbingan belajar yang
menawarkan jasanya untuk meluluskan siswa dengan berbagai trik dan tips dalam
menentukan jawaban yang paling benar.
i)
Adanya
ketimpangan sosial antara guru yang mengampu pelajaran UN dengan guru yang tidak
mengampu UN. Selain mendapatkan jam tambahan mengajar, guru pengampu UN juga
memiliki kesempatan membuka les. Sehingga bisa dikatakan bahwa guru pengampu UN
lebih makmur dari pada guru bukan pengampu UN.
j)
Pendidik
seringkali disalahkan oleh pemerintah, orang tua, bahkan peserta didik. Hal ini
dikarenakan mereka dianggap tidak mampu membimbing peserta didik secara
maksimal. Ketidakmampuan ini ditunjukan oleh hasil UN. Ketika hasil UN jelek,
pendidik dituding sebagai penyebab utama. Namun, hal ini berbeda ketika hasil
UN menunjukkan hasil yang maksimal dan
lembaga bimbingan belajar pun seringkali mendapat acungan jempol dari berbagai
pihak. Pendidik yang selama ini berjuang sekuat tenaga dan berupaya dengan gaji
rendah tidak mendapatkan ruang sedikitpun untuk bicara. Ia lebih banyak nrimo
dengan keadaan yang semakin tidak berpihak.[13]
Ujian Nasional
yang digunakan sebagai alat evaluasi pendidikan di Indonesia untuk saat ini
masih mengalami kecurangan. Kecurangan tersebut bersumber dari semua komponen
yang meliputi peserta didik itu sendiri, guru, kepala sekolah, pemerintah
daerah, pemerintah pusat dan juga masyarakat. Alasan mengapa ujian nasional
terjadi kecurangan, pertama, penekanan yang berlebihan pada hasil dan bukan
pada proses belajar. Akibatnya hasil menjadi tujuan utama. Kedua, hasil ujian
nasional berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah, termasuk kepala sekolah
dan para guru di mata masyarakat umum.
BAB III
PENUTUP
Ujian nasional biasa disingkat UN
yaitu sistem evaluasi dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang
dilakukan oleh pusat penilaian pendidikan.
Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No
20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara
nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan
pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Etika, pada hakikatnya merupakan dasar pertimbangan dalam pembuatan
keputusan tentang moral manusia dalam interaksi dengan lingkungannya. Secara umum, etika dapat diartikan sebagai suatu disiplin filosofis
yang sangat diperlukan dalam interaksi sesama manusia dalam memilih dan
memutuskan pola-pola perilaku yang sebaik-baiknya berdasarkan timbangan moral-moral yang berlaku. Rumusan etik kerja
yang disepakati bersama disebut kode etik.
Secara umum,
dampak Ujian Nasional terhadap guru yaitu guru kehilangan energi kreatif dalam
mengajar. Guru-guru merasa bahwa tidak ada gunanya merancang pengajaran kreatif
dan inovatif karena cara pengajaran yang dilakukan oleh guru itu tidak akan
diujikan. Hasil studi ini persis dengan hasil penelitian Smith dan Rottenberg (1999).
Guru mengajarkan materi sesuai indikator yang diujikan kepada siswa. Selain itu
guru berusaha dalam membantu siswanya untuk berhasil dalam ujian nasional
nantinya. Dengan adanya ujian nasional guru dapat bertukar informasi kepada
guru lainnya mengenai apa-apa yang akan diujikan, seperti kode etik guru poin
7.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal., Evaluasi pembelajaran: prinsip teknik prosedur, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009.
Benni Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional, Yogyakarta :
Ar-Ruzz Media, 2008.
Idi, Abdullah, Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan,
Jakarta: Rajawali Citra,
2011.
Ismaruddin, Ujian Nasional (UN) Berbuah Generasi Bermartabat atau Membangun Sistem Berkarakter Korup?.
Lie, Anita, Menggugat Ujian Nasional, Jakarta: PT. Mizan
Pustaka, 2007.
Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru, Malang: UIN-Maliki
Press, 2011.
Mulyasa, E., Implementasi Kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran
KBK,Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2005.
Penyusun, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Bandung:
Citra Umbara, 2012.
Surya, Mohammad, Landasan Pendidikan: Menjadi Guru yang Baik, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010.
[1] Penyusun, Undang-Undang
RI Nomor 20 Tahun 2003, (Bandung :
Citra Umbara, 2012), hal. 60.
[2] Ibid., hal.
29.
[3] E. Mulyasa Implementasi
Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005) hal. 180
[4] Zainal
Arifin, Evaluasi pembelajaran:prinsip
teknik prosedur, (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2009), hal. 61- 62.
[5] Tim Redaksi, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008), hal. 399.
[6] Mohammad
Surya, dkk., Landasan Pendidikan: Menjadi Guru yang Baik, (Bogor: Galia Indonesia,
2010), hal. 86.
[7] Mujtahid, Pengembangan
Profesi Guru, (Malang: UIN Maliki
Press, 2011), hal. 42.
[9] Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru..., hal. 42.
[10] Mohammad
Surya, dkk., Landasan Pendidikan: Menjadi Guru yang Baik..., hal. 90.
[11] Abdullah Idi, Sosiologi
Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Citra,
2011), hal. 245.
[12] Ibid., hal.
250.
[13] Benni
Setiawan, Agenda Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media,
2008), hal. 140-142.
0 comments:
Post a Comment