Sunday 12 March 2017

Makalah Filsafat Ilmu Jenis Penalaran Barat



JENIS-JENIS PENALARAN DI DUNIA BARAT:
DEDUKTIF, INDUKTIF, DAN ABDUKTIF

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Dr. Usman, S.S., M. Ag.



 






Oleh:
Ummu Mawaddah

Oleh:
Ummu Mawaddah

s
Oleh:
Ummu Mawaddah
1620410004


PROGRAM MAGISTER (S2)
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penalaran merupakan proses berpikir yang biasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia dituntut untuk mempergunakan akal sebagaimana mestinya, yaitu berpikir, memahami dan menganalisis suatu kondisi. Dalam berpikir, manusia tentu memiliki batasan atau aturan agar tidak mengalami sesat pikir. Oleh karena itu, logika diperlukan demi tepatnya suatu pemikiran. Logika berperan penting dalam menentukan aturan-aturan pemikiran yang tepat terhadap persoalan-persoalan konkret yang kita hadapi setiap hari serta pembentukan sikap ilmiah, kritis, dan objektif.
Sebagaimana yang kita ketahui, pemikiran memiliki jalan atau pola dasar yang akan mengantarkan pada kesimpulan. Kesimpulan merupakan buah pemikiran baru yang didapatkan dari pernyataan-pernyataan yang sudah ada. Kesimpulan memiliki kepentingan yang bersifat inti karena digunakan sebagai acuan dalam bertindak atau memahami sesuatu.
Pola pemikiran atau yang kita istilahkan sebagai jenis penalaran memiliki variasi yang beraneka ragam dan perlu kita ketahui. Dalam perkembangannya, ilmuwan Barat lah yang terlebih dahulu berkecimpung dalam dunia ‘penalaran’ tersebut. Oleh karena itu, makalah ini menjelaskan secara singkat jenis-jenis pemikiran Barat, seperti deduktif, induktif, dan abduktif.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang, diperoleh beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.      Apa yang dimaksud dengan penalaran?
2.      Apa saja jenis-jenis penalaran di dunia Barat?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Penalaran
Penalaran adalah rangkaian kegiatan budi manusia sampai pada suatu kesimpulan dari satu atau lebih keputusan yang telah diketahui.[1] Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang menghasilkan pengetahuan. Agar buah pengetahuan yang berdasarkan penalaran itu mempunyai bobot kebenaran, maka proses berpikir perlu dan harus dilakukan dengan suatu cara atau metode tertentu.[2]
Penalaran berkaitan erat dengan logika. Logika digagas pertama kali oleh Aristoteles, seorang ahli pikir dari Yunani. Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana objek materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan objek formalnya adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketetapannya. Lapangan dalam logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Agar dapat berpikir lurus, tepat dan teratur, logika menyelidiki, merumuskan serta menetapkan hukum-hukum yang harus ditepati.[3] Secara singkat, logika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari segenap asas, aturan, dan tata cara penalaran yang benar (correct reasoning).[4]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa logika dipakai untuk menarik kesimpulan dari suatu penalaran dengan menggunakan cara tertentu. Dengan logika, kita dapat menyelidiki apakah pemikiran kita lurus, tepat, teratur atau sebaliknya. Sebagai sarana penalaran, logika berorientasi kepada kebenaran.
Suatu penalaran disebut benar jika penalaran tersebut menunjukkan korespondensi antara pernyataan dan faktanya. Penalaran disebut valid apabila kesimpulannya diturunkans dari premis yang tersedia.[5] Karena logika berhubungan dengan validitas atau lurusnya penalaran, maka suatu argumen atau penalaran disebut logis jika memenuhi syarat benar dan valid.

B.     Jenis-Jenis Penalaran Barat
Penalaran Barat  dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu deduktif, induktif, dan abduktif. Berikut penjelasan masing-masing.
1)      Deduktif
Deduktif yaitu suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuknya saja.[6] Penalaran ini bergerak dari pernyataan dasar yang bersifat umum ke kesimpulan yang bersifat khusus. Penalaran deduktif menarik pernyataan yang didasarkan pada hasil-hasil pengamatan, hukum, dan teori.[7] Penalaran deduktif merupakan penalaran yang sifatnya menguji (verifikasi) keputusan umum.[8] Berikut merupakan bentuk yang diwujudkan dari penalaran deduktif.
a.       Silogisme
Silogisme merupakan penalaran formal yang terdiri atas tiga proposisi. Proposisi pertama dan kedua merupakan proposisi dasar penarikan kesimpulan yang disebut premis sedangkan proposisi ketiga adalah kesimpulan (konsekuen) yang ditarik dari kedua premisnya.[9] Premis yang dimaksud di sini adalah premis mayor dan premis minor.[10] Premis mayor adalah proposisi yang bersifat umum (general), berupa teori, hukum, ataupun dalil dari suatu ilmu sedangkan premis minor adalah proposisi yang disusun dari fenomena khusus yang ditangkap indera, yaitu yang ingin diketahui. Adapun kesimpulan adalah jawaban logis bagi premis minor itu.
Sesuai dengan proposisi yang membangunnya, silogisme dapat dibedakan menjadi dua yaitu silogisme kategoris dan hipotesis.
Silogisme kategoris adalah struktur deduksi berupa suatu proses logis yang terdiri dari tiga bagian yang masing-masing bagiannya berupa pernyataan kategoris (pernyataan tanpa syarat).[11]
Contoh silogisme kategoris:
Mencuri itu haram                                    (premis mayor)
Korupsi adalah mencuri                           (premis minor)
Jadi, Korupsi adalah haram                      (konklusi)
Adapun silogisme hipotesis adalah silogisme yang premis mayornya berupa keputusan kondisional. Keputusan kondisional atau keputusan bersyarat adalah keputusan yang dinyatakan dengan pernyatan “jika-maka”.[12] Benar tidaknya keputusan kondisional ditentukan oleh hubungan bersyarat yang dinyatakan di dalamnya. Bagian putusan yang mengandung syarat disebut anteseden sedangkan bagian yang mengandung apa yang dikondisikan disebut konsekuens.[13]

Contoh:
Jika sampah penduduk dibuang di sungai, maka terjadi banjir (Mayor)
Sampah penduduk dibuang di sungai                              (Minor)
Maka terjadi banjir                                                           (Konsekuens)
Dari contoh tersebut, premis mayor menyatakan suatu syarat yang menjadi sandaran benar tidaknya konsekuensi. Syarat yang dimaksud yaitu ‘jika terjadi hujan’ dan konsekuensinya yaitu ‘terjadi banjir’. Keduanya merupakan hubungan yang benar dan sah secara logis. Adapun premis minor menyatakan dipenuhinya syarat tersebut, yaitu ‘sampah penduduk dibuang di sungai’, sehingga kesimpulan ‘maka terjadi banjir’ menyatakan benarnya konsekuensi.
Selain kedua silogisme tersebut, sebenarnya masih ada bentuk silogisme yang lain yaitu silogisme disjunktif.
Silogisme disjunktif adalah silogisme yang premis mayornya berupa keputusan disjunktif sedangkan premis minornya keputusan kategoris yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor.[14]
Contoh:
Ia lulus atau tidak lulus                            Agus di rumah atau di pasar
Ternyata ia lulus                                       Ternyata tidak di rumah
Jadi, ia bukan tidak lulus                         jadi di pasar
b.      Entimem
Entimem adalah suatu bentuk silogisme yang hanya menyebutkan premis atau kesimpulan saja atau keduanya tetapi ada satu premis yang tidak dinyatakan.[15] Entimem merupakan bentuk singkat silogisme. Contoh:
Basuki adalah mahasiswa UIN
Maka Basuki harus rajin membaca
Pada contoh tersebut, premis yang tidak disebutkan adalah “Mahasiswa UIN harus rajin membaca”. Meskipun tidak disebutkan, kalimat tersebut masih bisa dipahami.

2)      Induktif
Penalaran induktif adalah proses berpikir berdasarkan seperangkat gejala atau data yang diamati dengan menerapkan logika induktif untuk menarik kesimpulan yang berlaku umum maupun khusus. Penalaran ini bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus menuju kesimpulan yang berlaku umum untuk keseluruhan atau sebagian gejala yang diamati.[16] Dari penalaran induktif terwujud hukum-hukum, dalil, atau teori dari suatu ilmu. Jika deduksi masih sepenuhnya berada dalam dunia konsep, induksi perlu memanfaatkan intuisi.[17] Dalam pelaksanaannya, ada beberapa jenis penalaran induktif yang biasa diterapkan, yaitu:
a.       Generalisasi
Generalisasi merupakan penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik.[18] Maksudnya, penarikan kesimpulan dalam penalaran induktif didasarkan pada pengamatan terhadap sampel atau keseluruhan suatu gejala. Contoh:
Manusia membutuhkan air
Hewan membutuhkan air
Tumbuhan membutuhkan air
Semua makhluk hidup membutuhkan air
Pernyataan bahwa semua makhluk hidup membutuhkan air tidak bisa digeneralisasi jika hanya didasarkan pada salah satu makhluk hidup saja, misalnya hewan. Untuk digeneralisasi, harus banyak makhluk hidup yang diamati, bahkan harus pada berbagai tempat dan situasi. Apabila ada salah satu makhluk hidup yang tidak membutuhkan air, maka generalisasi itu akan gugur.
b.      Hubungan Sebab Akibat
Hubungan sebab akibat adalah hubungan ketergantungan antara dua atau beberapa hal, kejadian, atau variabel yang menyatakan bahwa yang satu merupakan penyebab yang lain, dan yang lain merupakan akibatnya. Hal ini sesuai dengan prinsip sebab akibat yang menyatakan bahwa segala sesuatu ada penyebabnya. Penalaran sebab akibat dapat mengikuti alur pemikiran dari sebab ke akibat atau dari akibat ke sebab.[19] Pada praktiknya, hubungan ini bisa berupa rangkaian sebab akibat yang panjang, bisa juga berupa lingkaran sebab akibat yang rumit sehingga sulit dirunut penyebab awalnya. Berikut ilustrasinya.
A˃B˃C˃D˃E˃F, dan seterusnya.
A˃B˃C˃D˃A
Contoh:
Seseorang mendapatkan nilai ujian di bawah standar. Setelah ditelusuri, ternyata penyebabnya adalah tidak belajar. Penyebab tidak belajar yaitu mengantuk dan tidur. Penyebab mengantuknya yaitu terlalu banyak nonton televisi pada siang hari. Penyebab menonton televisi yaitu karena ada acara favoritnya dan seterusnya.
c.       Analogi
Analogi ialah proses penalaran dalam menarik kesimpulan berdasarkan persamaan pada aspek-aspek yang penting antara dua hal atau gejala.[20] Penalaran secara analogi berusaha mencapai kesimpulan dengan menggantikan apa yang kita coba buktikan dengan sesuatu yang serupa namun lebih dikenal.[21]
Contoh:
Misalnya, menyimpulkan kemungkinan adanya kehidupan di Mars berdasarkan persamaan dengan kerakteristik-karakteristik Bumi. Bumi merupakan satu-satunya planet yang kita kenal memiliki kehidupan di dalamnya. Akan tetapi, berdasarkan ciri-ciri yang sama dengan Bumi, Mars dianggap memiliki kemungkinan adanya kehidupan. Sebagaiman Bumi, Mars berputar pada porosnya sehingga terjadi pergantian siang dan malam. Mars juga beredar mengelilingi matahari serta memiliki satelit. Selain itu, pernah ditemukan jejak-jejak aliran sungai di Mars. Berdasarkan ciri-ciri yang sama tersebut, kemudian muncul dugaan bahwa Mars dihuni oleh berbagai jenis makhluk hidup bahkan manusia.
Dalam setiap tindakan  analogik, terdapat tiga unsur penting yang harus dipenuhi yaitu peristiwa pokok yang menjadi dasar analogi, persamaan prinsipal yang menjadi pengikat, dan fenomena yang hendak dianalogikan.[22] Ketiga-tiganya menjadi unsur yang saling melengkapi dan tidak dapat berdiri sendiri.

3)      Abduktif
Abduksi merupakan suatu bentuk silogisme yang bertolak dari fakta atau kasus. Dari fakta itu kita merumuskan suatu hipotesis untuk menjelaskan kasus tersebut. Hipotesis tersebut mengandung makna general atau universal.[23] Jadi, penalaran abduktif berangkat dari sebuah fakta yang harus dijelaskan dengan sebuah hipotesis.
Abduksi memiliki dua ciri, yang pertama menawarkan suatu hipotesis yang memberikan eksplanasi yang probable. Kedua, hipotesis itu dapat memberikan eksplanasi terhadap fakta-fakta lain yang belum dijelaskan dan bahkan tidak dapat diobservasi secara langsung. Maka, hipotesis yang ditawarkan melalui abduksi ini tidak lebih dari vague ideas yang masih harus dibuktikan melalui induksi dan deduksi.[24]
Contoh:
Kita mengenal seorang anak kecil yang biasa menangis ketika lapar. Ketika kita melihat anak itu menangis, kita akan menyimpulkan bahwa dia sedang merasa lapar. Hal ini belum tentu benar karena bisa jadi menangisnya itu karena dimarahi ibunya atau karena mainannya hilang. Untuk mengetahui kepastiannya, maka kita perlu menyelidiki atau menguji alasan mengapa perempuan itu menangis.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Penalaran adalah suatu proses berpikir yang menghasilkan pengetahuan. Agar buah pengetahuan yang berdasarkan penalaran itu mempunyai bobot kebenaran, maka proses berpikir perlu dan harus dilakukan dengan suatu cara atau metode tertentu.
Secara garis besar, penalaran Barat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu deduktif, induktif dan abduktif. Deduktif merupakan penalaran yang berangkat dari hal-hal yang bersifat umum ke kesimpulan yang bersifat khusus. Deduktif dapat dibagi menjadi dua yaitu silogisme dan entimem. Induktif merupakan kebalikan deduktif, yaitu penalaran yang yang berangkat dari pengamatan yang bersifat khusus menuju kesimpulan yang bersifat umum. Jika deduktif didasarkan pada teori, induktif didasarkan pada hasil pengamatan yang menghasilkan teori. Induktif dibagi menjadi tiga yaitu generalisasi, sebab akibat dan analogi. Adapun abduktif merupakan penalaran yang berangkat dari fakta di mana dari fakta tersebut kita temukan sebuah hipotesis. Hipotesis tersebut kemudian kita uji secara deduktif dan induktif untuk memperoleh kebenaran.

B.     Saran
Saya menyadari adanya ketidaksempurnaan di dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik saran yang membangun dari pembaca sangat saya harapkan demi terwujudnya hasil yang lebih baik. Wallahu a’lam.


DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu: ontologi, epistimologi, aksiologi, dan logika         ilmu pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Keraf A. Sony dan Michael Dua, Ilmu Pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis,       Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Mundiri, Logika, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju,            2008.
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat: Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal    Filsafat, (yogyakarta: Tiara Wacana, 1989 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat: Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat, yogyakarta:            Tiara Wacana, 1989.
Poespoprodjo, W. dan T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, Bandung: CV Pustaka      Grafika, 2006.
Rahmat, Aceng, dkk., Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011.
Rohman, Arif, Epistemologi dan Logika: filsafat untuk pengembangan        pendidikan, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014.
Soetrisno, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi, 2007.
Sumaryono, E., Dasar-Dasar Logika, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Surajiyo, Ilmu Filsafat: suatu pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Susanto, A., Filsafat Ilmu: suatu kajian dalam bentuk dimensi ontologis,     epistimologis, dan aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Syam, Nina W., Filsafat sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Bandung: Simbosa           Rekatama Media, 2010.


[1] Arif Rohman, Epistemologi dan Logika: filsafat untuk pengembangan pendidikan, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), hal. 169.
[2] A. Susanto, Filsafat Ilmu: suatu kajian dalam bentuk dimensi ontologis, epistimologis, dan aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal. 148.
[3] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: ontologi, epistimologi, aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 145.
[4] Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 32.
[5] E. Sumaryono, Dasar-Dasar Logika, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 72.
[6] Surajiyo, Ilmu Filsafat: suatu pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 24.
[7] Soetrisno, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi, 2007), hal. 125.
[8] Arif Rohman, Epistemologi dan Logika..., hal. 171.
[9] Aceng Rahmat, dkk., Filsafat Ilmu Lanjutan..., hal. 235.
[10] A. Susanto, Filsafat Ilmu..., hal. 148.
[11] W. Poespoprodjo dan T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, (Bandung: CV Pustaka Grafika, 2006), hal. 152.
[12] A. Susanto, Filsafat Ilmu..., hal. 148.
[13] W. Poespoprodjo dan T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar..., hal. 157.
[14] Mundiri, Logika..., hal. 117.
[15] Surajiyo, Ilmu Filsafat..., hal. 48.
[16] Aceng Rahmat, dkk., Filsafat Ilmu Lanjutan..., hal. 241.
[17] Nina W. Syam, Filsafat sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbosa Rekatama Media, 2010), hal. 195.
[18] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu..., hal. 168.
[19] Aceng Rahmat, dkk., Filsafat Ilmu Lanjutan..., hal. 244.
[20] Ibid., hal. 245.
[21] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat: Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat, (yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hal. 32.
[22] Mundiri, Logika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 139.
[23] A. Sony Keraf, Ilmu Pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 92.
[24] Ibid., hal. 93-94.
 

lautan inspirasi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang