Monday 30 September 2013

CERPEN: VIRUS LORA


Sebenarnya kedatangan seekor kucing yang kemudian ia beri nama Lora itu benar-benar telah membuat hidupnya lebih berwarna. Dulu, ia terbiasa duduk-duduk sendirian di ujung tangga menuju gudang sambil bernyanyi-nyanyi kecil atau hafalan surat-surat pendek yang diwajibkan oleh bu ustadzah tanpa teman seorang pun. Ia tak kenal takut meski kebanyakan teman-temannya telah memberi dia peringatan bahwa tempat itu angker, sering ada hantunya. Tapi karena ia belum pernah melihat sesuatu yang aneh, ia tetap nyaman duduk seorang diri di tempat itu, bahkan tengah malam sekalipun.
Lulu, begitu teman-teman baru di asrama mengenalnya. Ia seorang gadis kecil yang sangat pendiam. Ayah dan Ibu Lulu sengaja mengirimnya ke pesantren supaya ia mau bersosialisasi dan akrab dengan orang lain, tidak seperti ketika di rumah dulu. Namun sudah sebulan di pesantren, ia masih tetap sama dan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda perubahan pada dirinya. Awalnya lulu tidak betah di pesantren itu karena tempatnya sempit dan kotor. Bayangkan, tiap kamar yang berukuran 4x4 meter itu dihuni sekitar sepuluh anak, bahkan lebih. Belum lagi produksi sampah dari anak-anak usia SD itu kian menumpuk meski setiap hari dipiketi.
“Lora....” Lulu yang baru saja pulang dari sekolah langsung berlari menuju tangga. Kucing betina yang tengah hamil itu kini tinggal di tempat di mana ia terbiasa bercengkerama. Awalnya Lora hanya bermain-main di sekitar pesantren, tapi karena Lulu suka, ia menjadikannya sebagai teman bercerita, dan membawanya ke sana. Kini Lulu mengeluarkan sepotong kue dari kantong bajunya. Lora mengeong ringan, menyambut Lulu dengan sukacita. Diendusnya kue itu dengan hidung mungilnya. Sebentar kemudian, kue itu habis bahkan tanpa meninggalkan sedikitpun sisa.
Begitulah, pemandangan yang hampir setiap hari aku lihat di asrama pelajar ini. Ketika teman-teman seusia Lulu memanfaatkan waktu istirahatnya untuk tidur-tiduran dan bercerita, Lulu kecil malah asyik bermain dengan kucingnya, Lora. Kucing itu terlihat cantik dan gemuk, bulu-bulunya putih bersih berpadu dengan warna coklat kehitam-hitaman. Ekornya yang panjang nampak lucu ketika bergerak-gerak.
Menjadi  ‘bunda’ bagi anak-anak di asrama pelajar memang terkadang sangat memusingkan kepala. Kondisi psikologi yang masih labil seringkali  memicu timbulnya masalah sepele yang kemudian berkembang jadi gede. Anak-anak yang suka bolos lah, suka telat ngaji lah, dan macam-macam saja kelakuan mereka membuat warna pesantren ini makin bervariasi. Setumpuk pe-er berisikan masalah-masalah dari mereka memenuhi daftar bebanku setiap hari. Apalagi, bu Nyai telah memberi seluruh kepercayaannya pada kami.
“Lulu...kalau habis main kucing, cuci tangan dong” tegurku suatu hari. Aku memang takut sama kucing, bukan karena jijik sih, tapi karena menurut buku-buku dan para ahli kesehatan, kucing mengandung parasit yang sangat berbahaya. Dan aku harus memberi tahu anak-anak  supaya mereka bisa jaga kesehatan dengan baik.
“Lu, jangan makan bareng kucing” kehawatiranku semakin menjadi-jadi. Namun Lulu tetap diam tak bergeming. Tangan mungilnya mengelus-elus kucing itu dan sesekali ia gunakan untuk mengambil kue di dalam kantong.  Merasa diacuhkan, akhirnya tempat yang jarang dijamah orang ini kutinggalkan dengan sedikit kesal. Aku bermaksud baik pada Lulu, tapi apa dia kurang percaya terhadap masalah keilmuanku. Aku bukan dokter sih, tapi aku adalah sarjana lulusan biologi dengan predikat cumlaude, sayang saja dia tak mengerti apa-apa.
◦◦◦◦◦◦
Seperti hari-hari biasanya aku berjalan mengelilingi komplek untuk mengontrol kebersihan. Hmm, Sampah tetap menjadi masalah yang paling fenomenal di asrama ini. Bukan karena aku tak peduli sehingga sampah-sampah itu menumpuk menjejali pojok ruangan, tapi anak-anak itu ternyata susah sekali diatur. Terkadang aku merasa harus maklum, namun sering-seringnya aku merasa mereka sudah sangat keterlaluan. Ketika jajan, bungkus-bungkus plastik itu dibuang sembarangan.
“Lingkungan yang sehat adalah cerminan kebersihan para penghuninya” begitu hampir setiap hari aku dan bunda-bunda yang lain mencoba memperingati mereka.
“Iya, Bu” jawab mereka santun. Tapi masalah, karena kesantunan mereka hanya terekam di mulut saja, sehingga rangsang yang diterima tidak diteruskan oleh saraf sensori menuju otak. Kalau demikian, bagaimana saraf psikomotorik dapat bekerja untuk memberi respon? Begitu yang kufikirkan setiap saat. Padahal posisiku sebagai sarjana harus merangkap sekaligus sebagai figur bunda bagi mereka.
“Meong...meong” tiba-tiba ada suara gaduh dari arah tangga gudang. Kubiarkan kedua telingaku menyimak dengan baik sumber suara yang kedengaran samar-samar itu.
‘Meong...meong” kali ini suaranya terdengar lebih jelas, bahkan seperti lebih dari satu suara karena ada suara-suara kecil ikut meramaikan suasana.
Jangan-jangan......
“Lora.....!!!” teriakku sambil berlari menuju tangga.
Dan.... Benar saja seperti yang tadi sempat kuduga, Lora telah melahirkan empat kucing kecil di sana.
“Ya allah” aku hanya bisa mendesis lirih. Tak tahu apa yang harus aku lakukan melihat Lora dan anak-anaknya masih terbalut darah.
“Mbak Ani......!!!” teriakku untuk kedua kali. Kali ini rekanku sesama bunda langsung berlari mendekatiku. Dan kami sama-sama tercengang.
 ◦◦◦◦◦◦
Lahirnya empat kucing lucu di asrama ini cukup membuat para santri senang, terutama Lulu. Mereka bergiliran mengunjungi Lora selepas sekolah maupun mengaji. Ada yang membawakan ikan, tulang, susu, gorengan, bahkan ada yang menghadiahinya bola kecil untuk anak-anak Lora bermain nanti. Ah, ada-ada saja. Apa motivasi mereka berbuat semacam itu? Lora hanya kucing, bukan manusia yang baru saja melahirkan bayi.
“Adik-adik, ayo ngaji lagi” ajakku ketika mereka lupa waktu karena asyik dengan kucing-kucing lucu nan menggemaskan itu.
Sebenarnya aku khawatir mereka terkena penyakit akibat kontak langsung dengan bulu kucing, tapi mereka malah punya alasan jitu mengapa harus akrab bersama para kucing. Hmmm rupanya pengaruh Lulu cukup besar terhadap teman-temannya. Tapi Lulu sekarang dengan Lulu yang kemarin masih tetap sama, sama-sama pendiamnya. Barangkali memang takarannya seperti itu. Ohya, mereka cukup terkesan dengan kisah rasulullah yang rela memotong sajadahnya gara-gara ditiduri oleh kucing ketika beliau hendak shalat, atau hadis yang menceritakan bahwasanya orang-orang yang berlaku dzalim terhadap kucing akan masuk ke dalam neraka. Jelas-jelas aku mati kutu mendengar argumen polos dari mereka. Apakah aku akan menjelaskan jawaban-jawabanku dengan gaya presentasi a la mahasiswa? Tak mungkin, mereka hanya anak-anak.
Lagi-lagi pe-er bagi kami, para bunda.
Dan  kucing-kucing itu ternyata tidak sampai berhenti di situ saja ulahnya. Gara-gara menyusui empat anak, induk kucing Lora harus berjalan menyusuri komplek mencari sisa-sisa makanan di tong sampah, atau di tumpukan sampah yang menggunung di pojok ruangan berlantai keramik merah. Sasarannya tentu tulang-tulang dan gorengan. Akibatnya, sampah-sampah itu semakin tak karuan dan berceceran. Aku terlampau pusing dibuatnya. Padahal piket tetap berjalan. Setiap hari sampah dibuang ke pembuangan oleh tiap-tiap kamar secara bergiliran.
Apakah Lora dan anak-anakmya harus diungsikan? Kami para bunda mencoba membuat alternatif dalam sebuah rapat.
“Tapi anak-anak kucing itu masih terlalu kecil. Ikan saja belum doyan” jawab mbak Lisa yang ternyata memang pemerhati kucing.
“kita lihat dulu besok” mbak ani menimpali.
Keesokan harinya asrama dibuat gempar oleh tahi kucing di sekitar mushalla.
“Bunda, mukena saya kena tahi kucing, hiks” Maria menangis sesenggukan. Diperlihatkannya mukena kecil yang kotor akibat tahi kucing kecil nan bau itu.
“Di sini juga ada, Bu” Aisyah menunjuk sajadah di shaf bagian depan mushalla.
Bau tahi kucing terasa menyebar ke seluruh ruangan, tak terkecuali kamar mandi yang tak jauh d sampingnya. Kami para bunda hanya beristighfar, sekaligus jijik dengan pemandangan yang ada.
“Tenang saja” jawabku akhirnya, sedikit menenangkan rengekan anak-anak.
“Besok ibu kirim ke laundry” tambahku. Mereka pun terdiam. Masing-masing meninggalkan mushalla menuju sekolah.
Ah ada-ada saja. Dasar kucing. Kejadian ini menambah tinggi saja tumpukkan pe-er di otakku. Berat, serasa mau merobohkan dinding asrama yang kian reot dimakan usia.
Kami para bunda sepakat mengepel lantai mushalla dan  mencuci karpet beserta beberapa mukena yang terkena kotoran kucing, dengan harapan Lora sekeluarga tidak melakukan kesalahannya buang hajat sembarangan. Semua ini gara-gara Lulu.
Hari-hari berikutnya, seluruh pojok ruangan asrama dihantui bau yang sangat menyengat. Anak-anak nampak menutup hidung tiap kali berada di dalam asrama, tak terkecuali para bunda. Ketika di mushalla, di tempat mengaji, bau itu terus membuntuti. Seperti malam ini, saat adzan isya dari masjid sebelah  telah berkumandang.
“Apa lagi ini?” Mbak Lisa mencoba menanyai sekelompok anak yang berkerumun di dekat tangga menuju mushalla. Aku menyusul dibelakangnya. Sudah kuduga.
“Tahi kucing lagi” mereka serempak menjawab. Lulu yang duduk di dekat kucing-kucing kecil itu hanya diam seolah tak peduli dengan semua yang terjadi. Tangannya telaten mengelus-elus binatang yang semakin keenakan itu. Matanya terpejam seolah tak ingin terbuka lagi. Kadang-kadang mereka menggaruk-garuk kepalanya yang gatal dengan kakinya. Bulu-bulu halus pun kemudian beterbangan. Lalu si induk kucing Lora menjilat-jilat mereka dengan penuh kasih sayang. Potret keluarga bahagia memang, tapi aku kesal. Sudah berapa kali aku dan para bunda mengepel lantai-lantai yang dikotori oleh tahi-tahi kucing itu? Berapa kali kuperingati Lulu untuk segera menjauh dari kucing-kucing itu? Tapi..tapi semua seolah menjadi angin lalu. Dan kini batas kesabaranku tlah memuncak.
“Buang kucing itu!!!” teriakku seolah kesetanan. Anak-anak nampak terkejut melihat ekspresi marahku yang lain dari biasanya.
“Buang!!” ulangku sekali lagi. Tanpa pikir panjang, ku ambil satu persatu anak kucing yang masih kecil-kecil itu ke dalam kardus bekas. Mbak Lisa pun ikut membantu meski setengah takut.
“Ini sumber penyakit” bentakku pada Lulu yang mulai terlihat berkaca-kaca. Tangannya mencoba merebut kardus yang kuangkat tinggi-tinggi, namun tidak bisa.
Akhirnya buliran penuh warna dari mata lentik Lulu pun berjatuhan tanpa kendali. Disekanya berkali-kali meski air mata tak jua kunjung berhenti. Ada rasa bersalah memang, tapi aku mencoba untuk tidak peduli.
“Jangan....Jangan.....” Lulu berteriak histeris akhirnya. Anak-anak hanya diam dalam kebingungan. Sementara iqamat isya mulai terdengar. Mereka berlari untuk berjamaah, kecuali Lulu.
◦◦◦◦◦◦
Satu pe-er yang menumpuk di kepala kami telah selesai dikerjakan. Alhamdulillah, para bunda merasa sedikit tenang. Tidak ada bau tahi kucing yang menyengat, atau sampah-sampah yang tercecer akibat disatroni si induk kucing. Mungkin mereka telah bahagia hidup di pasar yang jauhnya sekitar dua kilometer dari arah barat asrama, berdekatan dengan rumah sakit kota.
Namun ternyata, aku salah duga. Membuang keluarga kucing itu ke pasar rupanya menimbulkan masalah. Beberapa hari terakhir Lulu tidak nampak di lingkungan asrama. Tidak berada di dalam kamar, tidak juga berada di anak tangga menuju gudang. Ia terpaksa menjalani rawat inap di rumah sakit kota. Ia mengalami sakit yang cukup serius di tubuhnya. Barangkali anak-anak menganggap bahwa aku adalah penyebab utama dari semua, karena aku yang membuang Lora jauh-jauh. Tapi apa mereka tahu, kalau penyakit lulu sebenarnya disebabkan oleh kucing-kucing yang selama ini dia sayangi itu? Lulu terkena Taxoplasma.  Jadi, parasit berbahaya itu menyebar melalui bulu-bulu kucing yang mungkin terkena kotorannya sendiri. Aku tahu pasti, Lulu memang tak pernah mau cuci tangan setelah mengelus-elus Lora. Bukan aku tak mau meperhatikannya jika tahu.
“Bunda keterlaluan sama Lulu” bisik anak-anak selepas berjamaah di mushalla.
“Iya, tahu-tahu Lulu suka kucing, eh malah dibuang.” Teman-teman lainnya menimpali. Semakin memojokkanku memang, tapi mau bagaimana lagi, mereka tak tahu banyak apa yang telah aku ketahui tentang biologi.
Sementara di Rumah sakit kota, Lulu yang sejak kemrin lemas hanya bisa terbaring tak berdaya. Sesekali Lulu terbatuk pelan. Nafasnya terdengar berisik, tidak sewajarnya.
“...hrrrr...hrrrr...hrrrr....” suara itu terdengar samar dan begitu familiar.
◦◦◦◦◦◦
“Lora.....Lora.....” bibir mungil Lulu mulai terbuka, memanggil nama Lora.
Ibu Lulu hanya menggeleng pelan. “Jangan sebut nama itu lagi, Nak” jawabnya sambil mengelus rambut panjang Lulu. Beliau tahu benar, beliau telah mengorek keterngan dariku secara langsung perihal sakit yang dialami Lulu.
‘Di mana Lora?”
Ibu Lulu tertegun.
Baru saja beliau mengusir pergi seekor kucing yang mencoba mendekati Lora di ranjangnya. Kucing yang berwarna putih bersih dengan warna coklat kehitam-hitaman di kepalanya.
Lulu dan Lora memang tak pernah tahu bahwa mereka berdua memang berbeda.
“Lora....” panggilnya lagi
D balik jendela hijau kamar tempat ia berbaring, Lora nampak mengintip dengan hati-hati.
◦◦◦◦◦◦
Yogjakarta, 15 April 2013
Komentar ditunggu

Sunday 29 September 2013

al-Baqarah 177


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Surat Al Baqarah terdiri dari 286 ayat. Surat iniditurunkan di Madinah yang sebagian besar ayatnya diturunkan pada permulaan tahun Hijrah, kecuali ayat 281 diturunkan di Mina pada Hajji wada' (haji Nabi Muhammad s.a.w. yang terakhir) sehingga seluruh ayat dari surat Al-Baqarah termasuk golongan Madaniyyah. Surat Al-BAqarah merupakan surat yang terpanjang di antara surat-surat Al-Quran yang di dalamnya terdapat pula ayat yang terpancang (ayat 282). Surat ini dinamai Al Baqarah karena di dalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67 sampai dengan 74), dimana dijelaskan watak orang Yahudi pada umumnya. Dinamai jugaFusthaatul-Quran (puncak Al Quran) karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surat yang lain. Dinamai juga surat alif-laam-miim karena surat ini dimulai dengan Alif-laam-miim. Pokok-pokok isinya menjelaskan tentang keimanan, hukum-hukum, kisah-kisah,sifat-sifat orang yang bertakwa; sifat orang-orang munafik; sifat-sifat Allah; perumpamaan-perumpamaan; kiblat, kebangkitan sesudah mati.
DalammakalahiniakandibahastentangSurat Al-Baqarahayat 177. Pembahasannyaterkaitdenganlafadzayatdanterjemahannya, Asbabun-Nuzulayat, Tafsirrayatsertanilai-nilaipendidikanakhlak yang terdapatdalam Qs. Al-Baqarahayat 177.Untuklebihjelasnya, akandiuraikansebagaiberikut.
B.    Rumusan Masalah
1.    Sepertiapalafadz Qs. Al-Baqarahayat 177 danterjemahannya?
2.    BagaimanaAsbabun-Nuzul Qs. Al-Baqarahayat 177?
3.    SepertiapaTafsir Qs. Al-Baqarahayat 177?
4.    Apasajanilai-nilaipendidikanakhlakdalam Qs. Al-Baqarahayat 177?
   


   

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Lafadzdanterjemahan Qs. Al-Baqarahayat 177

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Terjemahan : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Merekaitulah orang-orang yang benar (imannya); danmerekaitulah orang-orang yang bertakwa”. (Qs. Al-Baqarah : 177)
B.    AsbabunNuzul Qs. Al-Baqarahayat 177
Abdurrazaqberkata ; “Muammar memberitahu kami dariQatadah, diaberkata, “orang-orang Yahudimelakukansembahyangmenghadapkebarat, sedangkan orang-orang Nasranisembahyangmenghadapkearahtimur, makaturunlahfirman Allah,
“Kebajikanitubukanlahmenghadapkanwajahmukearahtimurdankebarat….”
IbnuAbiHatimjugameriwayatkandari Abu Aliyyahsepertiriwayatdiatas.
IbnuJarirdanibnul-MundzirmeriwayatkandariQatadah, diaberkata, “Kami diberitahubahwaseoranglelakipernahbertanyakepadaNabi Saw tentangkebajikan, maka Allah menurunkanfirman-Nya :
“Kebajikanitubukanlahmenghadapkanwajahmukearahtimurdankebarat….”
Kemudianbeliaumemanggillelaki yang bertanyatadidanbeliaumembacakannya.Ketika orang itubersaksibahwatidakadaTuhanselain Allah dan Muhammad adalahhambadanutusan-Nya, kewajibanmenunaikanibadah-ibadahfardhubelumturun.Kemudian orang itumeninggaldunia.Rasulullahpunmengharapkankebaikanuntuknya, maka Allah menurunkanfirman-Nya :
“Kebajikanitubukanlahmenghadapkanwajahmukearahtimurdankebarat…”
Dan ketikaitu, orang-orang Yahudibersembahyangmenghadapkebarat, sedangkan orang-orang Nasranibersembahyangmenghadapkearahtimur”.

C.    Tafsir Qs. Al-Baqarahayat 177

Imam Syafi’Imenganjurkanuntukmenyedekahkanhartadanmakanandijalan yang benarberdasarkanfirman Allah Swt :
“Memberikanharta yang dicintainyakepadakerabatnya, anak-anakyatim, orang-orang miskin (Qs. Al-Baqarah (2) : 177)
Jugaberdasarkanfirman Allah berikut (miskiinanwayatiiman), “Kepada orang-orang miskindananak-anakyatim.” (Qs. Al-Insan (76) : 8)
Allah berfirman,
“Merekatidakmenafkahkansuatunafkah yang kecildantidak (pula) yang besardantidakmelintasisuatulembah, melainkandituliskanbagimereka (amalshaleh pula).” (Qs. At-Taubah (9) : 121)
Allah jugaberfirman, “Jika kalian menampakkansedekah (kalian), makaituadalahbaiksekali.” (Qs. AL-Baqarah (2) : 271)
Jugafirman-Nya, “ Kaliansekali-kali tidaksampaikepadakebajikan (yang sempurna), sebelumkalian menafkahkansebagianharta yang kalian cintai.” (Qs. Ali-Imran (3) : 92)
Apabilahalitudiperbolehkanbagi orang asingdankaribkerabatmakahubunganitutidaklebihdekatdaripadaanak, karenaapabilaseseorangmemberikanhartanyakepadakaribkerabatselainanaknyaataujustrukepada orang asingmakaartinyadiamenghalangianaknyadarihartaitudanmemutuskanhakanaknyauntukmemilikihartanya.Apabiladenganmelakukanhalinidiaterpuji, makaterpujilahjikadiamemberikanhartaitukepadasalahsatuanaknya.Lagipula, menghalangisebagiananaknyadariharta yang dimilikinya, lebihsedikitkeburukannyadaripadamenghalangisemuaanaknyadarihartaitu.
Imam Syafi’Imenjelaskan, “Ada yang mengatakanbahwa orang Yahudiberkata, ‘Kebajikanituadalahmenghadapkearahbarat’, sedangkan orang Nasranimengatakan, ‘Kebajikanituadalahmenghadapkearahtimurdengansegalakondisi’.Maka Allah menurunkanfirmanuntukmematahkanucapanmereka ‘Bukanlahkebajikanitu (dengan) menghadapkanwajah kalian kearahtimurdanbarat’.
Artinya, wallaahua’lam, ‘Sedangkan kalian adalah orang-orang musyrikpadahalkebajikantidakditetapkanbagiorang musyrik’.
Ketika Allah mengubahkiblatRasul-NyakearahMasjidil Haram, RasulullahmendirikansebagianbesarshalatnyadenganmenghadapkearahKa’bahdarisebelahpintuKa’bahtersebut.Beliaupuntelahmendirikanshalatdariarahbelakangdan orang-orang bersamabeliaumelakukanthawafdiKa’bahdenganmenghadapkearahKa’bahsepenuhnyadanmembelakangiMasjidil Haram”.
“Bukanlahmenghadapkanwajahmukearahtimurdanbaratitusuatukebajikan, akantetapisesungguhnyakebajikanituialahberimankepada Allah danHarikemudian….” (2 : 177) hinggarukunterakhir yang enam yang menjelaskantentanghakikatketaatandanpondasi-pondasitakwa.
Kemudiansuratinisampaipadapembentukanmasyarakatbarudanmenjelaskantentang lima rukunislamseperti yang telahdijelaskansebelumnya. Jugadibahastentangkeluargamuslimberkenaandenganhukumdalammembangundanmendirikannya. Janganlahkamulupabahwa Allah menjelaskanhaliniuntukmenunjukkankeadaanYahudipadamasadahulu, danbagaimanamerekamelenyapkanayat-ayat Allah yang banyakditurunkankepadamereka.
D.    Nilai-nilaipendidikanakhlakdalam  Qs. Al-Baqarahayat 177
Dari tafsir Al-Maraghi yang telahdijelaskandiatas, makadapatdiambilnilai-nilaiakhlakdiantaranya :
1.    Berimankepada Allah Swt, Hariakhir, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab Allah danparaNabidanRasul Allah.
2.    Takwasebagaiwujuddarikeimananterhadap Allah Swt.
3.    Membantusesamamanusia, terlebihkepada yang membutuhkansepertikerabat, fakir miskin, anakyatim, musaffir yang butuhpertolongan, memerdekakanbudakdanpeminta-minta.


لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
Menurut penafsiran al-Maraghi menghadap ke timur atau ke barat itu tidak mengandung unsur kebajikan. Karena pada hakikatnya pekerjaan tersebut tidak berarti apa-apa.

وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
Akan tetapi yang dinamakan kebajikan yang sesungguhnya ialah menurut penafsiran al-Maraghi adalah iman, yang dibuktikan dengan amal perbuatan dan tingkah lakuyang mencerminkan keimanan tersebut.
Yang dimaksud iman di sini adalah mencakup berbagai aspek, sesuai dengan penjelasan al-Maraghi dalam tafsirnya yaitu:
a.    Iman kepada Allah adalah dasar semua kebajikan. Dan kenyataan ini takkan pernah terbukti melainkan jiks imsn tersebut telah meresap ke dalam jiwa dan merayap ke seluruh pembuluh nadi yang idsertai dengan sikap khsusyu’, tenang, taat, patuh, dan hatinya tidak akan meledak-meledak lantaran mendapatkan kenikmatan, dan tidak berputus asa ketika tertimpa musibah. Hal ini seperti yang pernah Allah firmankan dalam QS, Ar-Ra’du ayat 13
b.    Iman kepada hari akhir mengingatkan manusia bahwa ternyata terdapat yang ghaib, kelak di akhirat yang akan dihuni.
c.    Beriman kepada para malaikat adalah titik tolak iman kepada wahyu, kenabian, dan hari akhir. Siapa pun yang menolak keimanan terhadap malaikat berarti mengingkari seluruhnya. Sebab, di antara malaikat itu ada yang bertugas sebagai penyampai wahyu kepada para Nabi, dan memberikan ilham mengenai persoalan agama.
d.    Iman kepada kitab-kitab samawi yang dibawa oleh para Nabi mendorong seseorang untuk mengamalkan kandungan kitab yang berupa perintah maupun larangan.
e.    Iman kepada Nabi mendorong untuk mengikutinya. Orang yang beriman pada nabi maka akan selalu mencintai dan mengamalkan ajaran-ajaran yang dibawanya ssebagai wujud keimanan dan kecintaan tersebut.

وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ
Menurut penafsiran al-Maraghi,yang dinamakan kebajikan adalah mengeluarkan harta kepada orang-orang yang membutuhkan karena belass kasihan terhadap mereka, dan tidak mengharap imbalan (kecuali) mengahrap ridho Allah swt).orang yang berhak mendapat sedekah menurut al-Maraghi adalah sebagai berikut:
a.    Sanak famili yang membutuhkan. Merekaa adalah orang yang paling berhak menerima uluran tangan. Karena, berdasarkan fitrahnya, manusia akan merasa lebih kasih sayang terhadap sanak familinya yang hidup miskin dibanding orang lain.
b.    Anak-anak yatim, yakni anak-anak kaum miskin yang tidak mempunyai ayah yang memberikan nafkah kepada mereka.
c.    Kaum fakir miskin. Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu berusaha menncukupi hidupnya. Ibnu Sabil, (orang yang sedang dalam perjalanan jauh). Di dalam syari’at diperintahkan untuk memberi pertolongan kepada mereka untuk bisa melanjutkan perjalanannya.
d.    Orsng ysng meminta-minta. Yakni orang yang terpaksa melakukan pekerjaan meminta-minta kepada orang lain karena terdesak oleh kebutuhan yang dirasakan sangat berat.
e.    Memedekakan budak atau hamba ssahaya. Dalam pembicaraan ini termasuk di dalamnya adalah menebus tawanan perang dan memberikan bantuan kepada hamba yang telah menandatangani perjanjian dengan majikannya untuk suatu kemerdekaan yang dibayar dengan cara angsuran (kitabi)
Sesuai dengan penafsiran di atas bahwasanya di dalam surat al-Baraqah ayat 177 terdapat nilai akhak terhadap sesama manusia karena dalam ayat ini menjelaskan pentingnya menolong sesama manusia khususnya bagi yang membutuhkan, seperti mengeluarkan atau menafkahkan sebagian harta yang dimiliki untuk diberikan pada yang membutuhkan.



Dan mereka orang-orang yang membuat benteng antara diri mereka dan murka tuhan dengan iman dan takwanya. Dalam penafsiran ini terkandung nilai taaqwa, yaitu berusaha menghindarkan dirinya dari perbuatan yang dibenci Allah sebagai wujud dari keimanannya.
Dari penafsiran al-Maraghi di atas, maka dapat diambil nilai-nilai akhlak, diantaranya:
a.    (Iman) pada Allah swt, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab Allah dan para Nabi dan Rasul
b.    (Takwa) sebagai wujud keimanan terhadap Allah swt.
c.    (Membantu sesama manusia) terlebih kepada yang membutuhkan seperti kerabat, fakir miskin, anak yatim, musafir yang butuh pertolongan, memerdekakan budak dan peminta-minta.
d.    (Khusyu’), yaitu melaksanakan shalat dengan memperhatikan setiap kandungan rahasia di dalam shalat tersebut.
e.    (Amanah), yaitu menunaikan shalat dan zakat sebagai suatu yanng wajib dilakukan.
f.    (Tawakkal), Tidak terkejut bila mendapat ujian karena selalu menyerahkan segala sesuatunya pada Allah SWT.
g.    (Sidiq), menepati janji apabila berjanji.
h.    (Bersabar) ketika mendapatkan musibah.


BAB III
PENUTUP

























DAFTAR PUSTAKA


As-Suyuthi, Jalaluddin.2008. SebabTurunnyaAyat Al-Qur’an.Jakarta :GemaInsani.
Al-Farran, Ahmad Musthafa. 2007. TAFSIR Imam Syafi’I (Surah Al-Fatihah – Surah Ali-Imran). Jakarta :Almahira.
Al-Ghazali, Muhammad.Tafsir Al-Ghazali. 2004. Yogyakarta :Islamika.


Cerpen: Realita Pak Dirman


REALITA
Barangkali pagi adalah waktu yang akan selalu disesali oleh pak Dirman. Betapa tidak, kehadiran matahari yang menyilaukan mata lewat jendela sempit di kamarnya itu kemudian memaksanya terbangun dari mimpi-mimpi malam untuk menyaksikan kenyataan yang tak pernah dia harapkan sebelumnya. Lagi-lagi tubuh ringkih yang hampir separuh abad tuanya itu harus mempersiapkan segalanya dengan segera. Disulutnya  kompor minyak yang sudah penuh karat untuk menanak nasi. Lalu Pak Dirman bergegas menimba air untuk mandi. Begitulah, kemudian anak semata wayangnya yang baru duduk di bangku SD kelas tiga itu dimandikan, meski sudah besar. Setelah beres, baru Pak Dirman sarapan pagi bersama istrinya sekaligus mendulang Dodi anak semata wayangnya.
Pak Dirman yang sudah sedemikian tua mengayuh becak yang mungkin sama-sama tuanya menuju pasar, tempat yang katanya penuh rejeki itu. Tak jarang Pak Dirman lupa mandi pagi dengan alasan tak ingin kehabisan rejeki, maklum harus berebut dengan belasan tukang becak yang memiliki tujuan sama mengais rejeki. Itupun masih harus bersaing dengan angkot-angkot berbau amis di sekitar pasar.
“Pak Dirman....” sapa seorang wanita paruh baya dengan sedikit berteriak. Pak Dirman mencoba mencari sumber suara yang cukup membuatnya terkaget saat matahari semakin menampakkan warna silaunya.
“Eh, Mak Ijum” Pak Dirman tersenyum senang. Hatinya teramat bersyukur karena wanita yang biasa menaiki becaknya itu belum pulang dari pasar. Seperti biasa, dua buah keranjang yang dibawanya  selalu penuh dengan sayur mayur dan lauk pauk. Maklum punya warteg.
“Berarti aku tepat waktu” pikirnya. Segera becak tua itu diturunkan supaya memudahkan penumpang saat menaikinya. Buru-buru Mak Ijum mengulurkan tangannya tanda menolak tawaran Pak Dirman. Sontak Pak Dirman terkejut, dahinya yang keriput mengernyit hingga semakin menampakkan lipatan-lipatannya.
“Kenapa, Mak?” suara Pak Dirman hampir tidak kedengaran, saking lirihnya.
“Saya mau naik angkot sajalah, Pak” Mak Ijum nyengir. Tangannya melambai ke arah angkot bobrok yang tak jauh di hadapannya. Segera Mak Ijum menaiki angkot dengan tergesa. Dunia terasa gelap dalam pandangan Pak Dirman. Harapannya musnah. Mak Ijum sudah tidak membutuhkannya lagi, padahal selama ini dialah satu-satunya penumpang setia yang mampu memberikannya sesuap nasi sekadar untuk sarapan sekeluarga, meski hanya berlauk garam. Sial, angkot itu merebut kehidupannya.
Pak Dirman menelan air liurnya yang kering. Disekanya butir-butir keringat yang mengalir deras di lehernya. Kecewa berat, namun tak bisa apa-apa. Pikirannya pun melayang kemana-mana. Pertama, keluarga. Istri yang telah dinikahinya lima belas tahun lalu itu kini tak bisa melayaninya lagi. Ia lumpuh karena stroke. Dulu Minah, istrinya itu bisa membantu penghasilan suaminya dengan berjualan sayur segar mengelilingi komplek perumahan. Lumayan, setidaknya bisa untuk makan dengan tempe goreng atau ikan asin kadang-kadang. Tapi sekarang, bisa makan dengan garam pun Pak Dirman merasa sangat bersyukur. Lebih bersyukur lagi karena Dodi masih bisa sekolah, ada bantuan dari pihak sekolah katanya. Dengan demikian, urusan sekolah tidak jadi masalah lagi baginya. Pak Dirman hanya berharap keluarga yang dicintainya baik-baik saja.
“Jangan Kau coba kami dengan cobaan yang lebih berat, Tuhan” gumam Pak Dirman dalam doa-doanya yang panjang, penuh uraian air mata, luka dan lara.
“Orang miskin sudah tidak berhak sakit, Tuhan. Negara ini kejam” adunya lagi.
Pak Dirman terus memikirkan keadaan keluarganya. Kini bayangan rumah kecil sederhana yang dibeli dengan uang hasil menjual tanah di desa nampak jelas dalam benaknya. Rumah itu sudah reot, perlu sekali dibenahi. Tapi, bagaimana mungkin memikirkan rumah ya kalau mau makan saja masih sebegitu susah? Pak Dirman menyeka keringatnya sekali lagi. Muka tuanya kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya.
Dipandanginya pasar yang mulai sepi. Hari semakin siang, terik terasa membakar kulit hitam Pak Dirman. Ternyata memang tak ada penumpang, kecuali satu. Seorang nenek tua yang nampak kesusahan membawa barang dagangannya. Nenek tua itu seperti kebingungan, sementara tak ada orang membantunya pulang. Hati kecil Pak Dirman tergugah untuk membantunya.
“Tak apalah jika belum dapat rejeki” bisik hati kecil Pak Dirman, bijak. Becak tuanya ia dorong perlahan mendekati nenek tua yang tengah duduk sambil memandangi jalan.
“Becak Uwa, “ tawar Pak Dirman tersenyum. Senyum yang ia paksa meski dalam hatinya menangis menjeritkan luka-luka yang menganga. Nenek itu hanya memandanginya lekat-lekat.
“Sampean mau nyulik saya yang sudah tua? Beraninya ya. Belum tau kalau suami saya mantan preman pasar!” nenek tua itu membentak. Suaranya terdengar parau. Gigi-giginya sudah banyak yang tanggal. Segera Pak Dirman beristighfar. Tak disangkanya niat tulus dari lubuk hatinya yang terdalam kemudian tak dimengerti oleh orang lain, malah disangkanya ia akan berbuat aniaya terhadap nenek tua itu.
“Saya ingin bantu nenek” Pak Dirman berusaha sabar, meski setengah terkejut.
“Alah, saya sudah nggak  percaya lagi sama orang lain. Semuanya Munafik! Kau tahu, kota ini penuh kemunafikan.” tandas sang nenek berapi-api. Raut wajahnya menampakkan kemarahan yang sangat.
“Sudah berkali-kali aku ditipu. Biar tua-tua begini aku punya harga diri.” tambah nenek tua yang seolah kesetanan itu.
“Eh Pak, pergi saja kau cari mangsa yang lain”
Pak Dirman hanya termangu. Kata-kata yang terlontar dari mulut nenek tua itu serasa masuk menghujam jantungnya. Terbayang, istrinya terbaring lemah di rumah. Di sebuah dipan reot dekat  jendela sempit yang ada di bagian samping rumah. Hidup sudah tak ada artinya lagi mungkin. Setiap hari hanya memandang keluar, mengamati hiruk pikuk kota. Melihat wanita-wanita seusianya asik bercengkerama di teras-teras rumah sambil sesekali tertawa. Melihat matahari menyapa seolah  memberi semangat untuk bangkit, daripada terus-terusan tidur semakin menambah penyakit. Tapi mau bagaimana jika semua seolah mustahil untuk dilakukan? Minah hanya menangis bahkan nyaris tak bisa tersenyum ketika suaminya, Pak Dirman yang begitu sabarnya mencoba menghibur ia dengan sisa-sisa kantuk dan lelah sehabis pulang bekerja. Ia tak mampu lagi mengucapkan sepatah kata pun. Stroke, stroke. Andai saja ia dapat berunjuk rasa kepada tuhan. Sayang, tak semua orang akan setuju dengan idenya. Di mana sih tuhan yang katanya bijak itu? Mana tuhan yang kata para pembesar agama itu Maha Pengasih, Maha Pemberi, Maha Pengabul atas doa hambaNya yang meminta? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin menyesakkan rongga dadanya. Doa-doa yang teruntai panjang dari hati kecil Minah dan mungkin tak cukup jika dicatat dalam beribu-ribu lembar kertas dan buku seolah kabur tersapu angin sepi. Not responding. Once again, where’s the God?
Pak Dirman baru ingat, istrinya pandai merajut. Mengapa tak ia belikan saja jarum dan benang. Dulu waktu masih di desa, Minah pernah belajar pada emaknya. Pak dirman merogoh saku celana kolornya, namun kosong. Lehernya serasa tercekik oleh tangan-tangan berkuku panjang.
“Eh, kenapa Kowe  masih di sini?” tiba-tiba suara parau itu kembali mengejutkan Pak Dirman. Rupanya ia telah terdiam begitu lama di hadapan nenek tua yang tadinya ingin ia bantu itu.
‘Iii...ia Uwa” Pak Dirman akhirnya pergi sambil menggenjot pedal becaknya. Batinnya bergejolak. “Negeri macam apa ini?”
Pertanyaan-pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaan istrinya tiba-tiba muncul memenuhi ruang kepala. Di manakah Tuhan ketika hambaNya kesusahan? Makan susah, Minum susah, tersenyum dan tertawa pun lebih susah. Yaa, sedikit membenarkan lagu yang pernah didendangkan Sherina, beberapa tahun yang lalu saat ia masih menikmati pekerjaannya sebagai tukang becak, namun sedikit berpenghasilan. Barangkali bisa untuk membeli tempe goreng di warung Mak Ijum, sambil menonton tivi 14 inchi.
Pak Dirman mengontel pedalnya dengan lebih cepat, berharap ada peluang mendapatkan rejeki hari ini. Anak istri di rumah tentu belum makan siang. Seperti dirinya yang tengah mendengarkan cacing-cacing di perutnya berteriak minta makan. Perih memang.
Otak di kepalanya ia paksa berpikir dan terus berpikir. Kini pikirannya tiba pada masalah janji. Oh, janji mana memang? Pak Dirman ingat betul, beberapa tahun lalu ketika istrinya masih sehat, ada calon bupati yang mampir ke tempatnya. Katanya mau melihat-lihat rumah di komplek tempat tinggalnya itu, lalu menyeleksi rumah-rumah terpilih untuk diberi bantuan material. Tentu jika calon bupati itu nantinya menang dalam pemilihan. Rupanya Pak Dirman termasuk satu dari sekian warga yang terpilih. Ia akan diberi bantuan, dengan cara memilih calon bupati tersebut. Ya begitulah kiranya akal-akalan dari orang yang gila akan jabatan. Gila memang, karena segala cara akan dilakukan. Tapi untuk orang-orang seperti Pak Dirman tentu saja hal yang seperti itu tak perlu dipermasalahkan. Ia bahkan manut saja, yang penting nyoblos nomor yang dimaksud saat pemilihan.
Kini Pak Dirman baru sadar, bahkan di akhir masa jabatan calon bupati yang ternyata licik itu, rumah reotnya belum sekalipun tersentuh oleh bantuan material seperti yang dijanjikan. Mendatangi kompleknya saja tidak pernah. Ah, busuk memang. Mau protes? Ah, ribet. Harus menghadapi orang-orang berbaju rapih di kabupaten. Sementara, orang yang datang sama sekali tidak wangi. Bagaimana jika nanti mereka menutup mata? Kalau menutup hidung, ia kira wajar-wajar saja.
Keringat di leher Pak Dirman mengalir semakin deras. Namun Pak Dirman tak mau mempedulikannya lagi. Biarlah keringat itu menjadi saksi akan perjuangannya.
****
Pak Dirman mengayuh kembali becaknya menuju pasar. Hidup baginya tak boleh putus asa. Ia tak boleh mempertanyakan keberadaan Tuhan. Yang jelas, Tuhan akan selalu ada dalam hatinya. Jika saja ia mendekati Tuhan sejengkal, Tuhan akan mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati Tuhan sehasta, Tuhan akan mendekatinya sedepa. Jika ia mendekati Tuhan dengan berjalan, Tuhan akan mendekatinya dengan berlari. Ia ingat betul petuah Haji Somad yang kemarin menaiki becaknya saat ia hampir putus asa. Saat ia ingin menceburkan dirinya dalam sungai di tengah kota. Karena tiba-tiba saja sosok Haji Somad muncul secara tiba-tiba dan menggenggam tangannya. Lalu Haji Somad menaiki becak dan memberikan sejumlah uang yang membuatnya kaget. Barangkali Uang Kaget memang, seperti program televisi yang pernah ia lihat di tivi 14 inchi milik Mak Ijum dulu, sambil menikmati tempe goreng dan  teh tubruk yang hangat.
Uang kaget itu membuat istrinya kaget, hingga saat ini Minah mulai menikmati hidupnya dengan penuh senyuman. Mungkin kedua kakinya tak dapat digerakkan, tapi mulutnya kini dapat melafalkan huruf-huruf dalam deretan abjad dengan lancar dan mampu membentuk kata kemudian menjadi kalimat. Ia menjadi Minah yang bisa mendendangkan shalawat ketika Dodi tertidur dalam pangkuannya. Ia dapat merajut pernak-pernik yang hasilnya cukup untuk memoles wajahnya dengan bedak, supaya terlihat agak cantik. Stroke yang semakin mengurangi usianya itu ternyata sedikit memudarkan kecantikam Minah. Kalau dibilang mukjizat mungkin terlalu berlebihan karena Pak Dirman sekeluarga bukanlah nabi atau calon nabi. Ulama pun bukan, tapi mereka yakin akan kasih sayang Tuhan. Alloh telah memberikannya kemudahan. Pak Dirman sekeluarga sadar, telah lama mereka meninggalkan shalat. Selama ini mereka hanya berdoa dan terus berdoa menanti keajaiban tiba, tanpa mereka sadari ternyata semua itu salah.
“Maafkan Kami, Tuhan” Pak Dirman meneteskan air mata.
Kini Pak dirman telah kembali siap untuk bersaing dengan angkot-angkot bobrok yang berbau amis  di sekitar pasar. Tak apalah ia kehilangan mak Ijum dari daftar penumpangnya. Bukan berarti itu kiamat kan?
Tukang becak nampak semakin sepi dari pasaran. Banyak yang tidak betah karena sepi akan penumpang. Tapi justru itu kesempatan bagi Pak Dirman, karena kini nenek-nenek tua pun lebih suka memilih becak Pak Dirman. Kok bisa? Ya bisa.
Oh iya,
Kalau saja, beberapa waktu lalu ia tak membawa wanita malang  yang ternyata istri Haji Somad itu ke rumah sakit saat kecelakaan. Mungkin bukan uang kaget yang ia dapatkan. Untung saja Haji Somad segera datang saat ia berniat mengakhiri hidupnya. “Alhamdulillah”
****
Ratusan orang nampak berunjuk rasa di depan kantor kabupaten. Ramai.
“Turunkan Joko! Turunkan Joko!”
“Pelaku Korupsi harus mati!”
“Turun! Turun! Turun!”
Jalur utama jalan diblockade oleh massa yang mengamuk karena marah.
Pak Dirman mengelus dada. “Astaghfirullah” bisiknya dalam hati.
Bupati yang dulu dipilihnya itu ternyata korupsi.
****
Kotagede, 22 April 2013
10:50

Kepemimpinan Wanita dan Wanita Karir (Masail al-Fiqhiyyah)



BAB I
PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang Masalah

Pada zaman kemajuan sekarang ini, para wanita ikut serta mengambil bagian hampir pada semua lapangan kegiatan atau pekerjaan. Di Indonesia (terutama), ada wanita yang menjadi menteri, pimpinan perusahaan, polisi, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, pegawai Negeri dan menjadi buruh serta pembantu rumah tangga.
Para wanita telah ikut secara aktif, membangun rumah tangga masyarakat dan negara. Malahan ada yang kita lihat agak berlebihan, karena wanita lebih banyak memegang peranan dalam membayai rumah tangga. Pada sebagian daerah ada wanita yang mencari nafkah, meninggalkan kampung halaman, sedangkan suaminya tinggal mengurus anak-anak, dan sawah ladang andaikan punya.
Demikianlah, hampir semua lapangan pekerjaan dimasuki juga oleh para wanita.
Timbul suatu pertanyaan, apakah semua kegiatan atau pekerjaan itu dikerjakan dengan ikhlas, dan karena ada dorongan dari dalam diri mereka sebagai bukti terhadap keluarga, masyarakat dan negara? Bisa saja karena sebab lain, karena keadaan yang  memaksa. Biaya hidup dalam rumah tangga tidak dapat tertanggulangi, karena pendapatan suami tidak memadai. Boleh jadi juga, karena di telinga mereka terngiang-ngiang suara persamaan hak antara pria dan wanita.[1]
Dalam makalah berikut ini akan dibahas mengenai hak-hak yang  berhubungan dengan kegiatan/pekerjaan para wanita, di antaranya: kedudukan wanita dalam pandangan islam, wanita sebagai ibu rumah tangga, wanita karier dan kepemimpinan wanita dalam masyarakat dan negara.

b.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kedudukan wanita di dalam Islam?
2.      Bagaimana hukum kepemimpinan wanita dan wanita karier?


c.       Klarifikasi Istilah
1.      Wanita Karier:
Menurut Kamus Besar Bahassa Indonesia, kata “wanita” berarti perempuan dewasa. Ini berarti perempuan yang masih kecilatau kanak-kanak tidak termasuk dalam istilah “wanita”. Sedangkan kata “karier” terdapat dua pengertian, pertama yaitu perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, dan sebagainya. Kedua, karier berarti pekerjaan yg memberikan harapan untuk maju.[2]
Ketika kedua kata wanita dan karir tersebut disatukan, maka artinya yaitu wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran, dan sebagainya) tertentu.[3]

2.      Kepemimpinan:
Perihal pemimpin; cara memimpin.[4] Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).[5]
Pemimpin adalah inti dari manajemen. Ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama (Panji Anogara, Page 23).[6]





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kedudukan Wanita
Dalam al-Qur’an Allah menjelaskan mengenai kedudukan wanita, di antaranya Allah berfirman:
            “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (at-Taubah: 71)
            Dari ayat di atas dapat dipahami, bahwa pria dan wanita saling tolong-menolong, teruatama dalam satu rumah tangga dan mempunyai tugas dan kewajiban yang sama dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Namun ada di antara perintah Allah yang ditujukan kepada masing-masing individu, seperti melakukan shalat. Dalam melakukan hubungan vertikal, masing-masing pria dan wanita mempunyai kewajiban tersendiri.[7]
Allah swt berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (an-Nisa:124)
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa karya wanita, dalam bentuk apa pun dilakukannya adalah menjadi miliknya dan bertanggungjawab pula atas (karyanya)itu, termasuk masalah ibadat, tidak tergantung kepada pihak pria, bergantung kepada amalnya, baik maupun buruk.
            Sebelum agama islam datang, kedudukan wanita sangatlah rendah. Mereka dianggap tidak berhak mendapatkan harta warisan, malah mereka dianggap sebagai harta, boleh dimiliki dan diperlakukan sesuka hati. Harta hanya monopoli kaum pria saja, apalagi turut mengatur penggunaan harta tersebut.
Setelah islam datang, wanita mendapatkan angin segar. Mereka diperlakukan sebagaimana layaknya manusia pada umumnya, tidak ada pilih kasih antara pria dan wanita. Agama islam memandang wanita sebagai teman (pendamping) bagi para pria, bukan budak yang diperlakukan sama dengan harta benda dan sebagai pemuas hawa nafsu.
Sebelum menyoroti kepemimpinan wanita, ada baiknya diketahui lebih dahulu beberapa perbedaan antara wanita dan pria. Dalam ilmu biologi, dijelaskan bahwa wanita berbeda dengan pria dalam bentuk, sifat, dan susunan tubuh. Bentuk dan seluruh tubuhnya sejak dalam rahim telah tersusun sedemikian rupa, yang dipersiapkan untuk melahirkan dan memelihara bayi yang lahir itu. Berdasarkan para pakar biologi dan anatomi menunjukkan bahwa wanita di waktu datang bulan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut[8]:
§  Panasnya menurun
§  Kelambatannya pada denyut nadi, berkurang tekanan darah dan jumlah sel-selnya sedikit
§  Kelenjar gondok dan kelenjar limpa serta keddua amandel mengalami perubahan
§  Pengeluaran garam fosfat dan chlorid dari tubuh menjadi berkurang
§  Pencernaan terganggu
§  Kekuatan pernapasan melemah dan lat-alat pengucapan mengalami perubahan khusus
§  Perasaan menjadi tumpul dan timbul perasaan malas
§  Kecerdasan dan daya konsentrasi berkurang

Pada tahun 1909 dr. Frasta Shafki mengadakan penelitian dengan cermat dan berkesimpulan bahwa kekuatan berrpikir dan daya konsentrasi wanita berkurang pada saat datang bulan. Kemudian setelah Prof. Kersby Shikavski mengadakan percobaan psikologinya, beliau menyimpulkan syarafnya pada saat datang bulan dan perasaannya pun menjadi tumpul. Perasaannya tertekan ketika melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan sebelumnya. Misalnya dia seorang sekretaris, dia akan keliru ketika mengetik dan lamban dalam mengerjakannya. Ia sering salah menyusun kalimat. Bila ia seorang pengacara, pemaparan argumentasinya sering kurang rasional. Bila ia menjadi seorang hakim, akan terpengaruh pula dalam mengambil suatu keputusan. Jadi, pada saat datang bulan organ syaraf dan pikiran wanita mengendor dan tidak teratur. Tabiatnya pun mendadak berubah.
Lebih tampak lagi perubahan pada wanita saat hamil. Karena pada saat itu kumpulan syaraf terganggu selama beberapa bulan dan keseimbangan pikiran juga goyah. Dr. Fisher menjelaskan bahwa sekalipun wanita itu sehat, ia tetap mengalami tekanan dalam berbagai hal di masa kehamilan. Kondisinya sering terganggu. Ia sering bingung dan kemampuan berpikirnya pun berkurang. Sesudah melahirkan, timbul lagi masalah baru yaitu sistem kerja tubuhnya terganggu dan perlu waktu untuk menormalkan kondisinya itu, di samping sibuk merawat anak dan menyusukannya. [9]
Dengan demikian apabila wanita mendapat atau mengemban tugas pada saat dia datang bulan, hamil, dan menyusui, tentu tugas yang diembannya itu tidak dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Namun, apa yang digambarkan ini adalah bersifat umum sebab dalam beberapa hal ada saja pengecualian yang terjadi, seperti wanita yang bersifat seperti pria dan sebaliknya pria bersifat seperti wanita.

B.     Kepemimpina  Wanita
a.       Kepemimpinan wanita dalam Al-Qur’an
Yang menjadi titik tolak dalam masalah ini adalah Firman Allah SWT surat an-Nisa ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
 “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

Menurut al-Qurthubi sebagaimana dikutip oleh Abdul Madjid, kata Qawwamuuna ‘ala al-Nisa (pemimpin atas kaum wanita) adalah bahwa kepemimpinan pria atas wanita dalam pengertian tersebut ialah suami mengatur, mendidik, memaksanya di rumah, mencegahnya untuk keluar dari rumah dan istri harus menerima dan mentaati perintahnya selama bukan dalam kemaksiatan. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah keutamaan, nafkah, kesempurnaan akal dan kekuatan dalam urusan jihad, warisan dan Iamar ma’ruf nahyil munkar. Hal itu diperkuat oleh al-Zamakhsyari, bahwa para suami mempunyai wewenang untuk menyuruh dan melarang para istri sebagaimana pemerintah terhadap rakyatnya, oleh sebab itulah mereka disebut qawwam.[10]

            Mengenai kelebihan yang telah diberikan Allah (faddhdhala), ayat ini menyatakan antara kedudukan pria dan wanita adalah berdasarkan apa yang telah Allah berikan. Berkaitan dengan kelebihan material seperti pembagian warisan dalam surat an-Nisa ayat 34 bukanlah sesuatu yang absolut. Hubungan ini lebih disukai karena persyaratan lain untuk qiwamah adalah jika mereka membelanjakan harta mereka (untuk mendukung kaum wanita). Jadi, terdapat hukum timbal balik antara hak istimewa yang diterima dengan tanggungjawab yang dipikul. Pria yang bisa menjadi pemimpin bagi kaum wanita adalah pria yang sanggup membuktikan kelebihannya dalam tanggungjawab menggunakan kekayaan untuk mendukung kaum wanita.
Selanjutnya timbul beberapa pertanyaan; apakah kepemimpinan itu terbatas hanya dalam keluarga sehingga pria dalam keluarga menjadi pemimpin atas wanita? Apakah hal ini jauh lebih sempit lagi pada ikatan material saja sehingga kepemimpinan terbatas pada suami atas istrinya? Menurut berbagai komentar terhadap berbagai komentar terhadap ayat di atas, maka jelaslah kepemimpinan pria atas wanita terbatas pada keluarga, jadi lebih bersifat domestik, bukan publik.
            Berdasarkan ayat ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan seorang wanita menjadi pemimpin publik, kepemimpinan publik tidak hanya didominasi kaum lelaki saja. Namun demikian kebanyakan cendekiawan memberikan peringatan terhadap dampak negatifnya kepemimpinan wanita, bahkan wanita berkarir pun bagi kehidupan keluarga. Keluarga jadi berantakan karena seorang ibu tidak lagi memerankan fungsinya.[11]

b.      Kepemimpinan Wanita Menurut Para Ulama Ahli Fiqih
Untuk jabatan sebagai kepala Negara, sudah dapat diduga bagaimana pendapat para ahli Fiqih Islam mengenai posisi perempuan untuk jabatan kepala Negara atau perdana menteri. Sampai hari ini belum diketahui ada pendapat para ahli Fiqih terkemuka yang membenarkan perempuan menjabat sebagai kepala Negara. Syah Waliyullah al-Dahlawi menyatakan bahwa syarat-syarat seorang khalifah adalah berakal, baligh, merdeka, laki-laki, pemberani, cerdas, mendengar, melihat, dan dapat berbicara. Semua ini telah disepakati oleh seluruh umat manusia si mana pun dan kapan pun.
Sementara itu, Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa laki-laki sebagai syarat seorang imam (kepala negara) adalah sudah merupakan kesepakatan (ijma’) para ulama ahli Fiqih. Pada kesempatan lain ia juga mengatakan: “ Tidak sah seorang perempuan al- imamah al- udhma (kepala negara) dan gubernur. Nabi SAW, Khulafaur Rasyidin dan penguasa-penguasa sesudahnya juga tidak pernah mengangkat perempuan menjadi hakim dan gubernur[12].
Sedang untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita massih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).[13]

Dengan mempertimbangkan pemahaman normativitas para ulama klasik dan sebagian modern, kenyataan historisitas munculnya sultanah-sulatanah Islam dalam sejarah, kemudian kondisi fisik dan psikis kaum wanita di atas, maka seorang wanita bisa menjadi pemimpin dalam berbagai sektornya. Dalam hal ia menjadi kepala Negara, maka dibolehkan dalam konteks simbolik untuk mempersatukan elemen bangsa. Kepemimpinan wanita dapat dibenarkan asalkan saja tidak melupakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri, karena tugas tersebut tidak dapat digantikan suami maupun pembantu.

C.    Wanita Karir
      Wanita karier adalah wanita yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan , atau jabatan. Adapun ciri-ciri wanita karir, yaitu [14]:
a.       Wanita yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu kemajuan.
b.      Kegiatan-kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan-kegiatan professional sesuai bidang yang ditekuninya, baik bidang polittik, ekonomi, pemerintah, maupun bidang-bidang lainnya.
c.       Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh wanita karir adalah bidang pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan dapat mendatangkan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, atau jabatan dan lain-lain.

            Mencari nafkah bagi keluarga adalah tugas kaum pria, dan wanita secara islam tidak bertanggung jawab atas pekerjaan ini. Namun wanita juga harus mempunyai pekerjaan, karena dalam islam pengangguran dianggap tidak baik dan tercela.
Pekerjaan yang paling baik untuk wanita yang sudah menikah adalah mengurus keluarga. Mengurus rumah tangga, merawat anak dan sebagainya adalah pekerjaan-pekerjaan yang paling mulia yang dapat dilakukan wanita.
Rasulullah saw. menegaskan : “Jihad seorang wanita adalah melayani suaminya (dan merawatnya sebaik-baiknya)”
            Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah saw. : “Bagaimana ganjaran seorang wanita yang mengurus rumah?” Nabi menjawab : “Setiap wanita yang berjalan untuk memperbaiki aturan rumahnya, mengambil sesuatu dan memindahkannya ke tempat lain, akan mendapat rahmat dari Allah, dan barang siapa yang mendapat berkah dari Allah, tidak akan disiksa kerena murka Allah”. Ummu Salam bertanya lagi, “Ya, Rasulullah. Beritahukanlah, apa lagi ganjaran bagi seorang wanita?” Rasulullah menjawab, “Bila seorang wanita hamil, Allah akan memberinya ganjaran bagi seorang wanita seperti seorang laki-laki pergi berjihad dengan semua harta dan kekayaannya. Lalu bila ia melahirkan anak, ia akan mendengarkan sebuah panggilan ‘semua dosamu diampuni, mulailah hidup yang baru.’ Setiap ia menyusukan banyinya itu dengan air susunya, Allah akan memberinya ganjaran seperti orang yang memerdekakan seorang hamba sahaya”.
      Islam tetap membolehkan kaum wanita terjun bekerja dalam kondisi terpaksa dan dalam batas syari’at islam. Seorang muslimah harus mengerti bagaimana bergaul dengan pria dan juga harus bisa membagi waktu untuk keperluan pendidikan anak- anaknya dan untuk melayani suaminya dirumah[15].
      Sebagai suri tauladan untuk wanita pekerja kita ambil contoh dua putrid nabi Syu’aib as. Yang bekerja meringankan beban ayahnya, mereka tidak pernah berbaur dengan penggembala pria yang sedang berebut mengambil air dari sumbernya yang hanya satu itu. Setelah semua penggembala selesai mengambil air barulah mereka menimba air tersebut dan memberi  minum ternak- ternaknya. Hal ini dikisahkan didalam Al- Qur’an surat Al- Qashash:23
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya".

      Perkataan kedua wanita itu mempunyai indikasi penting bahwa factor utama yang menyebabkan mereka bekerja adalah ayahnya yang sudh lanjut usia. Matanya sudah tidak bisa melihat lagi, usianya yang menua dan mata yang buta menyebabkan Syu’aib as.  harus beristirahat total . Di satu sisi dia tidak menemukan orang yang dapat dipercaya untuk menjaga hartanya. Karena itulah dengan sangat terpaksa kedua putrinya harus bekerja untuk membantu kedua orang tuanya.
            Seorang ibu yang menyibukkan diri dengan pendidikan anaknya dirumah sangat memberikan arti yang mulia dan agung didepan mata social karena dengan melakukan hal itulah justru seorang wanita dapat mempersiapkan generasi umat yang shalih shalihah. Sebaiknya pula wanita berdiam diri didalam rumah dan mencari aktifitas yang sesuai dengan fitrahnya. Mereka yang dapat membaca buku, mengadakan penelitian tentang sesuatu yang bermanfaat atau menambah pengetahuan serta keterampilan. Mereka dapat menekuni kegiatan-kegiatan menggambar, melukis, menjahit, merenda, dan sebagainya. Dari hasil kegiatan semua itu, ia membantu keluarganya di bidang ekonomi dan juga dapat menyumbangkan tenaganya bagi masyarakat dengan menghasilkan sesuatu yang ditemukan[16].
            Beberapa wanita bekerja dirumah dan yang lain lebih suka bekerja diluar rumah. Pilihan itu mungkin berdasarkan sebab-sebab ekonomis atau sebab yang lain. Dalam hal ini, pekerjaan yang paling baik adalah menjadi perawat. Rumah sakit adalah tempat yang baik bagi wanita untuk bekerja sebagai perawat maupun dokter. Pekerjaan ini sangat cocok dengan sifat-sifat kewanitaan, dan juga ditempat-tempat itu wanita jarang harus berkumpul dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.

Berikut ini adalah saran-saran bagi wanita yang ingin bekerja diluar rumah, antara lain[17] :
1.      Rundingkanlah dengan suami Anda sebelum Anda memulai suatu pekerjaan. Adalah hak suami Anda untuk menerima dan menolak keinginan Anda untuk bekerja.
Para pria pun disarankan untuk tidak berkeras dengan membenarkan istrinya bekerja di luar rumah kecuali jika pekerjaan itu dianggap tidak sesuai baginya.
2.      Kaum wanita harus memperhatikan hijab islam (kerudung) bila tidak berada dirumah. Mereka juga harus menghindari terlalu banyak bergaul dengan para pria yang bukan muhrimnya.
3.      Kaum wanita harus berhati-hati, walapun mereka bekerja diluar rumah, mereka tetap diharapkan oleh suami dan anak-anak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti mengurus rumah, memasak, mencuci, dan lain sebagainya.
4.      Bila seorang wanita merasa bahwa dengan tambahan pekerjaan dan tanggung jawab diatas, ia harus mengerjakan pekerjaan yang lain lagi, maka ia harus sependapat dengan suaminya dan bekerja dengan seizinnya dan atas nasihatnya pula. Bila suami tidak sependapat, maka ia harus melupakan pekerjaannya itu.

  
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan wanita, Setelah islam datang, wanita mendapatkan angin segar. Mereka diperlakukan sebagaimana layaknya manusia pada umumnya, tidak ada pilih kasih antara pria dan wanita. Agama islam memandang wanita sebagai teman (pendamping) bagi para pria, bukan budak yang diperlakukan sama dengan harta benda dan sebagai pemuas hawa nafsu.
Dengan mempertimbangkan pemahaman normativitas para ulama klasik dan sebagian modern, kenyataan historisitas munculnya pemimpin-pemimpin wanita Islam dalam sejarah, kemudian kondisi fisik dan psikis kaum wanita di atas, maka seorang wanita bisa menjadi pemimpin dalam berbagai sektornya. Dalam hal ia menjadi kepala Negara, maka dibolehkan dalam konteks simbolik untuk mempersatukan elemen bangsa. Kepemimpinan wanita dapat dibenarkan asalkan saja tidak melupakan tugas dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, karena tugas tersebut tidak dapat digantikan suami maupun pembantu.
.           Wanita karier adalah wanita yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan , atau jabatan.
Wanita karir dalam pandangan Islam diperbolehkan asalkan tetap menjalankan kodratnya sebagai wanita dan tidak melupakan tugasnya.
           





A.     
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali. 1997. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Amini, Ibrahim. 1996. Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami-Istri. Bandung: al-Bayan. Diterjemahkan oleh Alawiyah Abdurrhman
Yanggo, Chuzaimah T dan Hafiz Anshary. 2002. Problematika Huku Islam
            Kontemporer. Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Hamidah, Tutik. 2011. Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. Malang: UIN
            Maliki Press
Yasin, Maisar Binti. 2003. Wanita Karir dalam Perbincangan. Jakarta: Gema Insani Press
Sudrajat, Ajat. 2008. Fiqih Aktual. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press




[1] [1]M.  Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Haditsah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997) halaman 185
[2] Ebta Setiawan, KBBI Offline Versi 1.3,  http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/, 2010-2011
[3] Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2002), halaman 21
[4] Ibid
[5] http://saripedia.wordpress.com/tag/kepemimpinan-adalah/ diakses pada hari Senen, tanggal 10 Juni 2013 jam 10:20
[6] Ibid
[7] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), halaman 186
[8] Ibid, 195
[9] Ibid, 196
[10] Ajat Sudrajat, Fikih Aktual, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), halaman 115-117
[11]Ibid, 117
[12] Tutik Hamidah, Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, (Malang: UIN Maliki Press, 2011) halaman 174
[13]Kepemimpinan Wanita Menurut Pandangan Islam, http://sandal.heck.in/kepemimpinan-wanita-menurut-pandangan-is.xhtml, diakses hari Rabu, 15-02-2013 jam 15:52
[14] Chuzaimah, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002) halaman 21-22
[15] Maisar yasin, Wanita Karier dalam Perbincangan (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) halaman 30
[16]  Ibrahim Amini, Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami-istri, (Bandung: Al-Bayan, 1996) halaman 113
[17]  Ibid, 114-115
 

lautan inspirasi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang