Sunday 29 September 2013

Kepemimpinan Wanita dan Wanita Karir (Masail al-Fiqhiyyah)



BAB I
PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang Masalah

Pada zaman kemajuan sekarang ini, para wanita ikut serta mengambil bagian hampir pada semua lapangan kegiatan atau pekerjaan. Di Indonesia (terutama), ada wanita yang menjadi menteri, pimpinan perusahaan, polisi, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, pegawai Negeri dan menjadi buruh serta pembantu rumah tangga.
Para wanita telah ikut secara aktif, membangun rumah tangga masyarakat dan negara. Malahan ada yang kita lihat agak berlebihan, karena wanita lebih banyak memegang peranan dalam membayai rumah tangga. Pada sebagian daerah ada wanita yang mencari nafkah, meninggalkan kampung halaman, sedangkan suaminya tinggal mengurus anak-anak, dan sawah ladang andaikan punya.
Demikianlah, hampir semua lapangan pekerjaan dimasuki juga oleh para wanita.
Timbul suatu pertanyaan, apakah semua kegiatan atau pekerjaan itu dikerjakan dengan ikhlas, dan karena ada dorongan dari dalam diri mereka sebagai bukti terhadap keluarga, masyarakat dan negara? Bisa saja karena sebab lain, karena keadaan yang  memaksa. Biaya hidup dalam rumah tangga tidak dapat tertanggulangi, karena pendapatan suami tidak memadai. Boleh jadi juga, karena di telinga mereka terngiang-ngiang suara persamaan hak antara pria dan wanita.[1]
Dalam makalah berikut ini akan dibahas mengenai hak-hak yang  berhubungan dengan kegiatan/pekerjaan para wanita, di antaranya: kedudukan wanita dalam pandangan islam, wanita sebagai ibu rumah tangga, wanita karier dan kepemimpinan wanita dalam masyarakat dan negara.

b.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kedudukan wanita di dalam Islam?
2.      Bagaimana hukum kepemimpinan wanita dan wanita karier?


c.       Klarifikasi Istilah
1.      Wanita Karier:
Menurut Kamus Besar Bahassa Indonesia, kata “wanita” berarti perempuan dewasa. Ini berarti perempuan yang masih kecilatau kanak-kanak tidak termasuk dalam istilah “wanita”. Sedangkan kata “karier” terdapat dua pengertian, pertama yaitu perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, dan sebagainya. Kedua, karier berarti pekerjaan yg memberikan harapan untuk maju.[2]
Ketika kedua kata wanita dan karir tersebut disatukan, maka artinya yaitu wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran, dan sebagainya) tertentu.[3]

2.      Kepemimpinan:
Perihal pemimpin; cara memimpin.[4] Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).[5]
Pemimpin adalah inti dari manajemen. Ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama (Panji Anogara, Page 23).[6]





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kedudukan Wanita
Dalam al-Qur’an Allah menjelaskan mengenai kedudukan wanita, di antaranya Allah berfirman:
            “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (at-Taubah: 71)
            Dari ayat di atas dapat dipahami, bahwa pria dan wanita saling tolong-menolong, teruatama dalam satu rumah tangga dan mempunyai tugas dan kewajiban yang sama dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Namun ada di antara perintah Allah yang ditujukan kepada masing-masing individu, seperti melakukan shalat. Dalam melakukan hubungan vertikal, masing-masing pria dan wanita mempunyai kewajiban tersendiri.[7]
Allah swt berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (an-Nisa:124)
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa karya wanita, dalam bentuk apa pun dilakukannya adalah menjadi miliknya dan bertanggungjawab pula atas (karyanya)itu, termasuk masalah ibadat, tidak tergantung kepada pihak pria, bergantung kepada amalnya, baik maupun buruk.
            Sebelum agama islam datang, kedudukan wanita sangatlah rendah. Mereka dianggap tidak berhak mendapatkan harta warisan, malah mereka dianggap sebagai harta, boleh dimiliki dan diperlakukan sesuka hati. Harta hanya monopoli kaum pria saja, apalagi turut mengatur penggunaan harta tersebut.
Setelah islam datang, wanita mendapatkan angin segar. Mereka diperlakukan sebagaimana layaknya manusia pada umumnya, tidak ada pilih kasih antara pria dan wanita. Agama islam memandang wanita sebagai teman (pendamping) bagi para pria, bukan budak yang diperlakukan sama dengan harta benda dan sebagai pemuas hawa nafsu.
Sebelum menyoroti kepemimpinan wanita, ada baiknya diketahui lebih dahulu beberapa perbedaan antara wanita dan pria. Dalam ilmu biologi, dijelaskan bahwa wanita berbeda dengan pria dalam bentuk, sifat, dan susunan tubuh. Bentuk dan seluruh tubuhnya sejak dalam rahim telah tersusun sedemikian rupa, yang dipersiapkan untuk melahirkan dan memelihara bayi yang lahir itu. Berdasarkan para pakar biologi dan anatomi menunjukkan bahwa wanita di waktu datang bulan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut[8]:
§  Panasnya menurun
§  Kelambatannya pada denyut nadi, berkurang tekanan darah dan jumlah sel-selnya sedikit
§  Kelenjar gondok dan kelenjar limpa serta keddua amandel mengalami perubahan
§  Pengeluaran garam fosfat dan chlorid dari tubuh menjadi berkurang
§  Pencernaan terganggu
§  Kekuatan pernapasan melemah dan lat-alat pengucapan mengalami perubahan khusus
§  Perasaan menjadi tumpul dan timbul perasaan malas
§  Kecerdasan dan daya konsentrasi berkurang

Pada tahun 1909 dr. Frasta Shafki mengadakan penelitian dengan cermat dan berkesimpulan bahwa kekuatan berrpikir dan daya konsentrasi wanita berkurang pada saat datang bulan. Kemudian setelah Prof. Kersby Shikavski mengadakan percobaan psikologinya, beliau menyimpulkan syarafnya pada saat datang bulan dan perasaannya pun menjadi tumpul. Perasaannya tertekan ketika melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan sebelumnya. Misalnya dia seorang sekretaris, dia akan keliru ketika mengetik dan lamban dalam mengerjakannya. Ia sering salah menyusun kalimat. Bila ia seorang pengacara, pemaparan argumentasinya sering kurang rasional. Bila ia menjadi seorang hakim, akan terpengaruh pula dalam mengambil suatu keputusan. Jadi, pada saat datang bulan organ syaraf dan pikiran wanita mengendor dan tidak teratur. Tabiatnya pun mendadak berubah.
Lebih tampak lagi perubahan pada wanita saat hamil. Karena pada saat itu kumpulan syaraf terganggu selama beberapa bulan dan keseimbangan pikiran juga goyah. Dr. Fisher menjelaskan bahwa sekalipun wanita itu sehat, ia tetap mengalami tekanan dalam berbagai hal di masa kehamilan. Kondisinya sering terganggu. Ia sering bingung dan kemampuan berpikirnya pun berkurang. Sesudah melahirkan, timbul lagi masalah baru yaitu sistem kerja tubuhnya terganggu dan perlu waktu untuk menormalkan kondisinya itu, di samping sibuk merawat anak dan menyusukannya. [9]
Dengan demikian apabila wanita mendapat atau mengemban tugas pada saat dia datang bulan, hamil, dan menyusui, tentu tugas yang diembannya itu tidak dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Namun, apa yang digambarkan ini adalah bersifat umum sebab dalam beberapa hal ada saja pengecualian yang terjadi, seperti wanita yang bersifat seperti pria dan sebaliknya pria bersifat seperti wanita.

B.     Kepemimpina  Wanita
a.       Kepemimpinan wanita dalam Al-Qur’an
Yang menjadi titik tolak dalam masalah ini adalah Firman Allah SWT surat an-Nisa ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
 “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

Menurut al-Qurthubi sebagaimana dikutip oleh Abdul Madjid, kata Qawwamuuna ‘ala al-Nisa (pemimpin atas kaum wanita) adalah bahwa kepemimpinan pria atas wanita dalam pengertian tersebut ialah suami mengatur, mendidik, memaksanya di rumah, mencegahnya untuk keluar dari rumah dan istri harus menerima dan mentaati perintahnya selama bukan dalam kemaksiatan. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah keutamaan, nafkah, kesempurnaan akal dan kekuatan dalam urusan jihad, warisan dan Iamar ma’ruf nahyil munkar. Hal itu diperkuat oleh al-Zamakhsyari, bahwa para suami mempunyai wewenang untuk menyuruh dan melarang para istri sebagaimana pemerintah terhadap rakyatnya, oleh sebab itulah mereka disebut qawwam.[10]

            Mengenai kelebihan yang telah diberikan Allah (faddhdhala), ayat ini menyatakan antara kedudukan pria dan wanita adalah berdasarkan apa yang telah Allah berikan. Berkaitan dengan kelebihan material seperti pembagian warisan dalam surat an-Nisa ayat 34 bukanlah sesuatu yang absolut. Hubungan ini lebih disukai karena persyaratan lain untuk qiwamah adalah jika mereka membelanjakan harta mereka (untuk mendukung kaum wanita). Jadi, terdapat hukum timbal balik antara hak istimewa yang diterima dengan tanggungjawab yang dipikul. Pria yang bisa menjadi pemimpin bagi kaum wanita adalah pria yang sanggup membuktikan kelebihannya dalam tanggungjawab menggunakan kekayaan untuk mendukung kaum wanita.
Selanjutnya timbul beberapa pertanyaan; apakah kepemimpinan itu terbatas hanya dalam keluarga sehingga pria dalam keluarga menjadi pemimpin atas wanita? Apakah hal ini jauh lebih sempit lagi pada ikatan material saja sehingga kepemimpinan terbatas pada suami atas istrinya? Menurut berbagai komentar terhadap berbagai komentar terhadap ayat di atas, maka jelaslah kepemimpinan pria atas wanita terbatas pada keluarga, jadi lebih bersifat domestik, bukan publik.
            Berdasarkan ayat ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan seorang wanita menjadi pemimpin publik, kepemimpinan publik tidak hanya didominasi kaum lelaki saja. Namun demikian kebanyakan cendekiawan memberikan peringatan terhadap dampak negatifnya kepemimpinan wanita, bahkan wanita berkarir pun bagi kehidupan keluarga. Keluarga jadi berantakan karena seorang ibu tidak lagi memerankan fungsinya.[11]

b.      Kepemimpinan Wanita Menurut Para Ulama Ahli Fiqih
Untuk jabatan sebagai kepala Negara, sudah dapat diduga bagaimana pendapat para ahli Fiqih Islam mengenai posisi perempuan untuk jabatan kepala Negara atau perdana menteri. Sampai hari ini belum diketahui ada pendapat para ahli Fiqih terkemuka yang membenarkan perempuan menjabat sebagai kepala Negara. Syah Waliyullah al-Dahlawi menyatakan bahwa syarat-syarat seorang khalifah adalah berakal, baligh, merdeka, laki-laki, pemberani, cerdas, mendengar, melihat, dan dapat berbicara. Semua ini telah disepakati oleh seluruh umat manusia si mana pun dan kapan pun.
Sementara itu, Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa laki-laki sebagai syarat seorang imam (kepala negara) adalah sudah merupakan kesepakatan (ijma’) para ulama ahli Fiqih. Pada kesempatan lain ia juga mengatakan: “ Tidak sah seorang perempuan al- imamah al- udhma (kepala negara) dan gubernur. Nabi SAW, Khulafaur Rasyidin dan penguasa-penguasa sesudahnya juga tidak pernah mengangkat perempuan menjadi hakim dan gubernur[12].
Sedang untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita massih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).[13]

Dengan mempertimbangkan pemahaman normativitas para ulama klasik dan sebagian modern, kenyataan historisitas munculnya sultanah-sulatanah Islam dalam sejarah, kemudian kondisi fisik dan psikis kaum wanita di atas, maka seorang wanita bisa menjadi pemimpin dalam berbagai sektornya. Dalam hal ia menjadi kepala Negara, maka dibolehkan dalam konteks simbolik untuk mempersatukan elemen bangsa. Kepemimpinan wanita dapat dibenarkan asalkan saja tidak melupakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri, karena tugas tersebut tidak dapat digantikan suami maupun pembantu.

C.    Wanita Karir
      Wanita karier adalah wanita yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan , atau jabatan. Adapun ciri-ciri wanita karir, yaitu [14]:
a.       Wanita yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu kemajuan.
b.      Kegiatan-kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan-kegiatan professional sesuai bidang yang ditekuninya, baik bidang polittik, ekonomi, pemerintah, maupun bidang-bidang lainnya.
c.       Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh wanita karir adalah bidang pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan dapat mendatangkan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, atau jabatan dan lain-lain.

            Mencari nafkah bagi keluarga adalah tugas kaum pria, dan wanita secara islam tidak bertanggung jawab atas pekerjaan ini. Namun wanita juga harus mempunyai pekerjaan, karena dalam islam pengangguran dianggap tidak baik dan tercela.
Pekerjaan yang paling baik untuk wanita yang sudah menikah adalah mengurus keluarga. Mengurus rumah tangga, merawat anak dan sebagainya adalah pekerjaan-pekerjaan yang paling mulia yang dapat dilakukan wanita.
Rasulullah saw. menegaskan : “Jihad seorang wanita adalah melayani suaminya (dan merawatnya sebaik-baiknya)”
            Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah saw. : “Bagaimana ganjaran seorang wanita yang mengurus rumah?” Nabi menjawab : “Setiap wanita yang berjalan untuk memperbaiki aturan rumahnya, mengambil sesuatu dan memindahkannya ke tempat lain, akan mendapat rahmat dari Allah, dan barang siapa yang mendapat berkah dari Allah, tidak akan disiksa kerena murka Allah”. Ummu Salam bertanya lagi, “Ya, Rasulullah. Beritahukanlah, apa lagi ganjaran bagi seorang wanita?” Rasulullah menjawab, “Bila seorang wanita hamil, Allah akan memberinya ganjaran bagi seorang wanita seperti seorang laki-laki pergi berjihad dengan semua harta dan kekayaannya. Lalu bila ia melahirkan anak, ia akan mendengarkan sebuah panggilan ‘semua dosamu diampuni, mulailah hidup yang baru.’ Setiap ia menyusukan banyinya itu dengan air susunya, Allah akan memberinya ganjaran seperti orang yang memerdekakan seorang hamba sahaya”.
      Islam tetap membolehkan kaum wanita terjun bekerja dalam kondisi terpaksa dan dalam batas syari’at islam. Seorang muslimah harus mengerti bagaimana bergaul dengan pria dan juga harus bisa membagi waktu untuk keperluan pendidikan anak- anaknya dan untuk melayani suaminya dirumah[15].
      Sebagai suri tauladan untuk wanita pekerja kita ambil contoh dua putrid nabi Syu’aib as. Yang bekerja meringankan beban ayahnya, mereka tidak pernah berbaur dengan penggembala pria yang sedang berebut mengambil air dari sumbernya yang hanya satu itu. Setelah semua penggembala selesai mengambil air barulah mereka menimba air tersebut dan memberi  minum ternak- ternaknya. Hal ini dikisahkan didalam Al- Qur’an surat Al- Qashash:23
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya".

      Perkataan kedua wanita itu mempunyai indikasi penting bahwa factor utama yang menyebabkan mereka bekerja adalah ayahnya yang sudh lanjut usia. Matanya sudah tidak bisa melihat lagi, usianya yang menua dan mata yang buta menyebabkan Syu’aib as.  harus beristirahat total . Di satu sisi dia tidak menemukan orang yang dapat dipercaya untuk menjaga hartanya. Karena itulah dengan sangat terpaksa kedua putrinya harus bekerja untuk membantu kedua orang tuanya.
            Seorang ibu yang menyibukkan diri dengan pendidikan anaknya dirumah sangat memberikan arti yang mulia dan agung didepan mata social karena dengan melakukan hal itulah justru seorang wanita dapat mempersiapkan generasi umat yang shalih shalihah. Sebaiknya pula wanita berdiam diri didalam rumah dan mencari aktifitas yang sesuai dengan fitrahnya. Mereka yang dapat membaca buku, mengadakan penelitian tentang sesuatu yang bermanfaat atau menambah pengetahuan serta keterampilan. Mereka dapat menekuni kegiatan-kegiatan menggambar, melukis, menjahit, merenda, dan sebagainya. Dari hasil kegiatan semua itu, ia membantu keluarganya di bidang ekonomi dan juga dapat menyumbangkan tenaganya bagi masyarakat dengan menghasilkan sesuatu yang ditemukan[16].
            Beberapa wanita bekerja dirumah dan yang lain lebih suka bekerja diluar rumah. Pilihan itu mungkin berdasarkan sebab-sebab ekonomis atau sebab yang lain. Dalam hal ini, pekerjaan yang paling baik adalah menjadi perawat. Rumah sakit adalah tempat yang baik bagi wanita untuk bekerja sebagai perawat maupun dokter. Pekerjaan ini sangat cocok dengan sifat-sifat kewanitaan, dan juga ditempat-tempat itu wanita jarang harus berkumpul dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.

Berikut ini adalah saran-saran bagi wanita yang ingin bekerja diluar rumah, antara lain[17] :
1.      Rundingkanlah dengan suami Anda sebelum Anda memulai suatu pekerjaan. Adalah hak suami Anda untuk menerima dan menolak keinginan Anda untuk bekerja.
Para pria pun disarankan untuk tidak berkeras dengan membenarkan istrinya bekerja di luar rumah kecuali jika pekerjaan itu dianggap tidak sesuai baginya.
2.      Kaum wanita harus memperhatikan hijab islam (kerudung) bila tidak berada dirumah. Mereka juga harus menghindari terlalu banyak bergaul dengan para pria yang bukan muhrimnya.
3.      Kaum wanita harus berhati-hati, walapun mereka bekerja diluar rumah, mereka tetap diharapkan oleh suami dan anak-anak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti mengurus rumah, memasak, mencuci, dan lain sebagainya.
4.      Bila seorang wanita merasa bahwa dengan tambahan pekerjaan dan tanggung jawab diatas, ia harus mengerjakan pekerjaan yang lain lagi, maka ia harus sependapat dengan suaminya dan bekerja dengan seizinnya dan atas nasihatnya pula. Bila suami tidak sependapat, maka ia harus melupakan pekerjaannya itu.

  
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan wanita, Setelah islam datang, wanita mendapatkan angin segar. Mereka diperlakukan sebagaimana layaknya manusia pada umumnya, tidak ada pilih kasih antara pria dan wanita. Agama islam memandang wanita sebagai teman (pendamping) bagi para pria, bukan budak yang diperlakukan sama dengan harta benda dan sebagai pemuas hawa nafsu.
Dengan mempertimbangkan pemahaman normativitas para ulama klasik dan sebagian modern, kenyataan historisitas munculnya pemimpin-pemimpin wanita Islam dalam sejarah, kemudian kondisi fisik dan psikis kaum wanita di atas, maka seorang wanita bisa menjadi pemimpin dalam berbagai sektornya. Dalam hal ia menjadi kepala Negara, maka dibolehkan dalam konteks simbolik untuk mempersatukan elemen bangsa. Kepemimpinan wanita dapat dibenarkan asalkan saja tidak melupakan tugas dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, karena tugas tersebut tidak dapat digantikan suami maupun pembantu.
.           Wanita karier adalah wanita yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan , atau jabatan.
Wanita karir dalam pandangan Islam diperbolehkan asalkan tetap menjalankan kodratnya sebagai wanita dan tidak melupakan tugasnya.
           





A.     
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali. 1997. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Amini, Ibrahim. 1996. Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami-Istri. Bandung: al-Bayan. Diterjemahkan oleh Alawiyah Abdurrhman
Yanggo, Chuzaimah T dan Hafiz Anshary. 2002. Problematika Huku Islam
            Kontemporer. Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Hamidah, Tutik. 2011. Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. Malang: UIN
            Maliki Press
Yasin, Maisar Binti. 2003. Wanita Karir dalam Perbincangan. Jakarta: Gema Insani Press
Sudrajat, Ajat. 2008. Fiqih Aktual. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press




[1] [1]M.  Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Haditsah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997) halaman 185
[2] Ebta Setiawan, KBBI Offline Versi 1.3,  http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/, 2010-2011
[3] Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2002), halaman 21
[4] Ibid
[5] http://saripedia.wordpress.com/tag/kepemimpinan-adalah/ diakses pada hari Senen, tanggal 10 Juni 2013 jam 10:20
[6] Ibid
[7] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), halaman 186
[8] Ibid, 195
[9] Ibid, 196
[10] Ajat Sudrajat, Fikih Aktual, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), halaman 115-117
[11]Ibid, 117
[12] Tutik Hamidah, Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, (Malang: UIN Maliki Press, 2011) halaman 174
[13]Kepemimpinan Wanita Menurut Pandangan Islam, http://sandal.heck.in/kepemimpinan-wanita-menurut-pandangan-is.xhtml, diakses hari Rabu, 15-02-2013 jam 15:52
[14] Chuzaimah, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002) halaman 21-22
[15] Maisar yasin, Wanita Karier dalam Perbincangan (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) halaman 30
[16]  Ibrahim Amini, Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami-istri, (Bandung: Al-Bayan, 1996) halaman 113
[17]  Ibid, 114-115

0 comments:

Post a Comment

 

lautan inspirasi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang