Thursday 12 December 2013

Makalah FPI Syekh Nawawi al-Bantani

PENDIDIKAN ISLAM DALAM PANDANGAN SYEKH NAWAWI AL-BANTANI DAN IMPLIKASI
DI ERA GLOBALISASI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, MA
Disusun Oleh:
Ummu Mawaddah (11410189)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN

Sejak awal kehadirannya di muka bumi ini, Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. sangat menaruh perhatian yang besar terhadap pembinaan sumber daya manusia melalui kegiatan pendidikan dalam berbagai bentuknya.[1] Perintah al-Qur’an agar orang mengembangkan kegiatan pendidikan itu dapat dilihat pada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa pada diri manusia terdapat potensi untuk mendidik atau alat untuk berlangsungnya proses pendidikan atau pengajaran (transfer of knowledge) yaitu berupa panca indra, akal dan hati sanubari yang disyukuri (QS. An-Nahl, 16: 78).
Imam Muhammad Nawawi al-Jawi (al-Bantani) adalah salah satu tokoh intelektual muslim yang menjadi kebanggan umat Islam Indonesia. Kebanggan kepadanya agaknya tidaklah berlebihan karena keberadaannya telah memberikan kontribusi yang besar terhadap dunia intelektual dan citra Islam di mata dunia Islam. Kepakaran beliau di berbagai disiplin ilmu keislman diakui dunia Islam. Bahkan para ulama Mesir menjulukinya dengan “Sayyid Ulama al-Hijaz” (Pemimpin Ulama Hijaz). Hal tersebut dapat kita buktikan dengan banyaknya karya  ilmiah  dalam berbagai disiplin ilmu yang beliau tulis.
Dalam makalah ini, akan dibahas lebih jauh lagi mengenai Syekh Nawawi al-Bantani beserta pemikirannya, khususnya pemikiran tentang pendidikan Islam.

Rumusan Masalah:
1.      Bagaiman sketsa biografi syekh Nawawi Al-Bantani?
2.      Bagaimana pemikiran pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani?
3.      Bagaimana implikasi pemikiran Syekh Nawawi di era globalisasi?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sketsa Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani
Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Nawawi Al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten pada tahun 1230 H/1813 M. Beliau wafat pada usia 84 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M di tempat kediamannya terakhir, kampung Syi’ib Ali, Mekah. Jenazahnya dikuburkan di pemakaman Ma’la, Mekah berdekatan dengan makam Ibn Hajar dan Siti Asma bin abu Bakar Siddiq. Beliau wafat pada saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan tentang Manhaj at-Tholibinnya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Ammah bin Hujam an-Nawawi.[2] Setiap tahunnya, pada minggu terakhir bulan Syawal, acara haul diselenggarakan di daerahnya, Tanara, Banten Jawa Barat oleh sebagian besar masyarakat.[3]
Ayahnya bernama Kyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya, Syeikh Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad SAW melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali Zain Al-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra.[4] Ibunya adalah Jubaidah, asal Tanara. Syekh Nawawi merupakan anak tertua dari empat saudara laki-laki yaitu Ahmad, Said, Tamim, Abdullah, dan dua saudara perempuan, Syakila dan Shahriya.[5]
Sejak kecil Syekh Nawawi telah mendapat pendidikan Agama dari orang tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa Arab, Fikih, dan ilmu tafsir. Selain itu ia belajar pada Kiai Sahal di daerah Banten dan Kiai Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan bermukim di sana selama 3 tahun. Di Mekah, ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Dimyati, dan Syekh Ahmad Dahlan. Ia juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khatib al-Hambali. Sekitar tahun 1248 H/1831 M ia kembali ke Indonesia. Di tempat kelahirannya, ia membina pesantren peninggalan orang tuanya. Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Mekah setelah 3 tahun berada di Tanara dan meneruskan belajar di sana. Sejak keberangkatannya yang kedua kalinya ini, Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke Indonesia. Menurut catatan sejarah, di Mekah ia berupaya mendalami ilmu-ilmu agama dari para gurunya, seperti Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul gani Bima, Syekh Yusuf Sumulaweni, dan Syekh Abdul Hamid Dagastani.[6]
Pada tahun 1860 M. Syekh Nawai mulai mengajar di lingkungan Masjidil Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan, karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai syekh di sana. Pada tahun 1870 M, kesibukannya bertambah, karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya dan para sahabatnya dari Jawa. Kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis syarh selain karena permintaan orang lain, Syekh Nawawi juga berkeinginan melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.[7]
Sebagai seorang alim yang dalam ilmunya, tinggi akhlak dan kepribadiannya, ikhlas dalam mengajar dan mendakwahkan Islam, tentu hasil didikannya pun akan melahirkan para ulama besar. Seperti yang dikutip oleh Fahmi, di antara ulama besar di Indonesia yang menjadi muridnya antara lain:[8]
1.    KH. Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng, Jombang Jawa Timur.
2.    KH. Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
3.    H. Asy’ari, Bawaian yang kemudian diambil mantu oleh Imam Nawawi dan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nyi Maram binti Syaikh Imam Nawawi.
4.    KH. Nahjun, Kampung Gunung Mauk, Tangerang yang dijadikan mantunya (cucunya), dinikahkan dengan Nyi Salmah binti Ruqayyah binti Syaikh Imam Nawawi. KH.  Nahjun juga bertindak selaku penulis karangan Syaikh Imam Nawawi terutama ketika beliau menulis Qatral-Gharits.
5.    KH. Asnawi, Caringan Labuan, Banten Kabupaten Pandeglang, Banten
6.    KH. Ghafar, Kampung Lampung, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten
7.    KH. Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta.
Sebagai pengarang, ternyata Syekh Nawawi cukup produktif seperti halnya Syekh Ahmad bin Zaini Dakhlan Al-Makki.[9] Syekh Nawawi melalui karya-karyanya sangat dikenal di kalangan masyarakat muslim, terutama di dunia pesantren Jawa. Dalam bidang keilmuan, ia dikenal ahli di bidang Teologi Islam, Fikih, akhlak/tasawuf, bahasa dan kesusastraan Arab serta tarikh (kelahiran/kehidupan Nabi Muhammad SAW). sedang di bidang kependidikan Islam nyaris luput dari pengamatan, padahal banyak percikan-percikan pemikiran kependidikan dalam banyak karyanya di berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, hadits, dan akhlak/tasawuf. Oleh karena itu, upaya rekonstruksi dan mensistemastisasi pemikirannya secara konseptual menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi dunia keilmuan Islam.[10]
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir. Seringkali beliau hanya mengirimkan manuskripnya dan setelah itu tidak memperdulikan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara Timur Tengah. Di antara karya-karyanya adalah:[11]
1.      Muraqah As-Su’ud At-Tashdiq; komentar dari kitab Sulam at-Taufiq.
2.      Nihayatuz-Zain; komentar dari kitab Qurratul ‘Ain
3.      Tausiyah ‘Ala Ibn Qasim; komentar dari kitab Fathul Qarib.
4.      Tijan Ad-Durari; komentar dari kitab Risalatul Baijuri.
5.      Tafsir Al-Munir; yang dinamai Marahi Labidi Li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid.
6.      Sulamul Munajat; komentar dari kitab Safinatus Sholat
7.      Nurudz Dzalam; komentar dari kitab Aqidatul Awam.
8.      Kasyifatus Saja; komentar dari kitab Safinah an-Naja
9.      Muraqil Ubudiyyah; komentar dari kitab Bidayatul Hidayah.
10.  Uqudul Lujain Fi Bayaniz Zaujain; sebuah kitab yang berisikan tuntutan membangun rumah tangga.
11.  Bahjatul Wasa’il; komentar dari kitab Risalatul Jami’ah
12.  Madarij as-shu’ud; komentar dari kitab Maulid Barzanzi.
13.  Salalimul Fudlala’; yang dinilai dengan Hidayatul Adzkiya.
14.  Ats-Tsamarul Yani’ah; komentar dari kitab Riyadhul Badi’ah.
15.  Nashaihul ‘Ibad, kitab yang berisi nasihat-nasihat para ahli ibadah.

B.       Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani
a.       Ide-ide sentral pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani
Islam tidak memandang manusia sebagai makhluk yang kosong dari daya-daya dan potensi seperti halnya konsep tabularasa  seperti yang dikemukakan  oleh John Locke (1623-1704), karena itu pendekatan yang totalitas terhadap semua dana atau potensi yang telah dimiliki manusia.[12] Manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan sesuai dengan sifat kemanusiaannya dan dibatasi kebebasannya dengan sunnatullah yang pasti. Karena adanya keterbatasan itu, maka ilmu pengetahuan yang ditemukannya pun bersifat relatif dan nisbi. Untuk itu manusia tetap berada di dalam lingkungan Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah, dan Tauhid al-Asma wa al-Sifah Sehingga manusia dalam pemikiran pendidikan Islam bersifat teosentris.[13]
Keberhasilan dalam menata kebudayaan termasuk pendidikan Islam merupakan perpaduan antara kehendak dan kemauan bebas manusia, hereditas, dan pengaruh dunia luar terhadap peserta didik. Tentu tiga faktor ini merupakan antroposentris yakni hasil dari akal budi manusia sesuai dengan sunnatullah yang diketahui dan diarahkan untuk mencapai kesejahteraan dunia. Dalam pandangan Islam, pola pemikiran seperti ini tidaklah cukup, karena mengingat keterbatasan-keterbatasan manusia. Untuk itu mau tak mau kita harus bersandar kepada Yang Maha Pengatur Jagad Raya dan segala sunnatullah-Nya. Potensi-potensi fisiologis dan psikologis manusia tidaklah cukup jika hanya mengandalkan perjanjian  primordial dengan Tuhan. Potensi-potensi itu harus dikembangkan melalui pedidikan. Karena tanpa ilmu maka manusia tidak akan mampu mengemban amanah khalifah dan melaksanakan ubbudiyah yang merupakan tanggung jawab manusia untuk menunaikannya.[14]
b.      Prinsip-prinsip aktivitas Pendidikan Islam.
Hakikat pendidikan dan pengajaran dalam Islam menurut Nawawi mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Pendidikan mencakup transfer of knowledge, transfer of value, transfer of methodology, dan transformasi. Pendidikan mencakup jasmani (praktik/amal), intelektual, mental/spiritual dan berjalan sepanjang hidup dan integral.[15]
Sifat-sifat pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam termasuk Syekh Nawawi Al-Bantani sangat ketat. Hal ini karena peranan guru dalam Islam tidak sekedar alih ilmu, nilai dan metode, tetapi juga transformasi (membentuk kepribadian peserta didik). Di samping itu diyakini bahwa para pendidik menempati ulama sebagai pewaris para nabi sehingga pendidik harus dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya. Menurut Syekh Nawawi tujuan memperoleh ilmu (tujuan pendidikan) ialah mardatillah dan memperoleh kehidupan ukhrawiyah, memberantas kebodohan, memajukan Islam, melestarikan Islam dengan kaidah-kaidah ilmu serta sebagai perwujudan dari rasa syukur karena diberi akal dan tubuh yang sehat. Kewajiban bersyukur mencakup aspek keilmuan (ranah kognitif), aspek rasa senang (ranah afektif), dan menggunakan nikmat Tuhan sesuai dengan permintaan pemberi nikmat yakni Allah (ranah psikomotor dan spiritual).[16]
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut memerlukan pemikiran tentang muatan pendidikan Islam. Dari berbagai pernyataan Syekh Nawawi, hal utama yang diberikan dalam proses pendidikan adalah masalah ilmu-ilmu keagamaan yang wajib personal. Sedangkan yang paling utama dari kewajiban personal itu ialah iman tauhid.[17]
Kurikulum pendidikan Islam yang tidak didasarkan pada tauhid akan melahirkan manusia yang serba tergantung kepada makhluk, dan akan melahirkan manusia-manusia yang menyimpan tuhan-tuhan kecil selain Allah serta melahirkan musyrik-musyrik kecil pula. Dalam kurikulum pendidikan Islam, Syekh Nawawi menekankan ilmu muqaddimaat karena ilmu-ilmu keagamaan itu berbahasa Arab dan peserta didik berkewajiban mempelajarinya. Pada masa sekarang ini bahasa sangat dipentingkan dalam kurikulum pendidikan Islam. Bahkan kelemahan-kelemahan sekolah-sekolah keagamaan sekarang ini ialah kelemahan penguasaan bahasa.
Peserta didik sebagai makhluk educandum dan educandus menurut Syekh Nawawi sangat memperhatikan lingkungan kebudayaan termasuk pendidikan dan sosialnya. Kehidupan peserta didik berada dalam suatu kontrak sosial. Eksistensi peserta didik berada dalam interdependensi baik secara sosial maupun lingkungan kebudayaan. Pengaruh lingkungan luar terhadap peserta didik sangat signifikan. Untuk itu Syekh Nawawi membuat etika peserta didik, agar lebih selektif dalam memilih lingkungan sosial dan teman dalam pergaulan.[18] Berhubungan dengan hal itu maka para ahli pendidikan Muslim dituntut membentuk peserta didik mempunyai peer group yang kondusif di tempat pembelajarannya, mengingat dari sini ia akan banyak menyerap pelajaran dan mendapatkan rangsangan kognitif, afektif, dan psikomotorik yang positif.
Beberapa etika peserta didik terhadap ilmu menurut Syekh Nawawi di antaranya:[19]
1.      Membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran dan dosa untuk menerima ilmu, memeliharanya dan mendapatkan hasilnya.
2.      Selalu mencari ridha gurunya sekalipun berbeda pendapat dengannya, tidak boleh mengumpat atau memfitnahnya, dan tidak boleh mencari-cari kesalahannya secara sembunyi-sembunyi.
3.      Ia seharusnya tamak dalam belajar, disiplin dalam seluruh waktunya, malam, siang, berada di tempat dan waktu musyafir.
4.      Bersabar atas perilaku guru dan kejahatan akhlaknya.
5.      Memperhatikan kesahehan pelajaran yang ia dapatkan secara benar dan meyakinkan dari gurunya.
Sedangkan etika pendidik terhadap ilmu pengetahuan seperti yang dikutip Maragustam dalam kitab al’Ilm wa adab al ‘alim wa al muta’alim di antaranya adalah:[20]
1.      Bertujuan mengajarkan ilmunya semata-mata karena Allah.
2.      Berakhlak terpuji sebagaimana disyariatkan oleh agama dan menganjurkannya kepada peserta didiknya.
3.      Berhati-hati terhadap sifat dengki, riya, ujub, dan menghina manusia.
4.      Tidak memandang hina terhadap ilmu.
Mengelaborasi pendapat Syekh Nawawi, maka prinsip-prinsip metodik dalam pendidikan Islam dapat dicirikan sebagai berikut:[21]
1.    Menyajikan mata pelajaran secara jelas dimulai dari yang mudah, yang konkrit yang dapat ditangkap oleh akal pikiran peserta didik, baru kemudian secara bertahap dibawa kepada yang lebih sulit dan abstrak.
2.    Dalam penyampaian materi, pendidik harus melihat keadaan peserta didiknya terutama dalam hal kemampuan dan tipologinya.
3.    Menggunakan metode mengajar sesuai dengan keadaan peserta didiknya.
4.    Guru dalam menyampaikan materi tidak menambah pelajaran sebelum pelajaran yang terdahulu dipahami peserta didiknya karena hal itu akan membuat peserta didik menjadi malas.
5.    Prinsip pengulangan (tikrar) dalam pengajaran.
Seperti yang dikutip Maragustam dalam kitab terjemah Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, Syekh Nawawi di samping mengemukakan etika relasi guru dan murid juga memberikan etika bersama antara guru dan murid. Yaitu keduanya tidak boleh melanggar kewajiban, fungsi dan kedudukan masing-masing pihak, seperti adanya penyakit ringan dan semisalnya yang dengannya ia bekerja atau sibuk. Dan ia meminta sembuh dengan ilmu dan tidak boleh bertanya kepada seseorang dengan cara menekan dan melemahkan. Bagi penanya yang demikian tidak berhak mendapatkan jawaban.[22]
Salah satu lembaga pendidikan yang penting ialah pendidikan keluarga. Keluarga memiliki dampak yang besar dalam pembentukan perilaku dan pengembangan vitalitas dan ketenangan dalam keluarga. Melalui keluarga, anak-anak mendapatkan bahasa, nilai dan norma serta kecenderungan mereka.[23] Tanggung jawab pendidikan dalam keluarga menurut Syekh Nawawi tidak hanya mengirimkan anak kepada guru, tetapi juga tentang biaya pendidikannya. Apabila keluarga tidak mampu, maka biaya pendidikan dibebankan kepada pemerintah, sedangkan apabila pemerintah tidak mampu maka tanggung jawabnya dibebankan kepada orang-orang yang mampu.[24]
c.       Hal-hal yang mewarnai pemikiran pendidikan Islam Syekh Nawawi
Dari berbagi sumber yang disebutkan, dapat dijelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang mewarnai pemikiran pendidikan Syekh Nawawi. Pertama, latar belakang pendidikan keagamaan. Sejak kecil, ia sekolah di lembaga keagamaan seperti pesantren. Kedua, peran pendidik. Dalam hal ini ulama yang mewarnai pemikirannya adalah Syekh Sayyid Akhmad Nakhrawi dan Syekh Sayyid Ahmad Dimyathi. Ketiga, madzhab dan tarekat yang dianutnya yakni madzhab Syafi’i dan tarekat Qadiriyah. Keempat, perkembangan pemikiran pada saat Syekh Nawawi berkecimpung dalam dunia akademik.

C.    Implikasi Pemikiran Syekh Nawawi di Era Globalisasi
Dilihat dari berbagai ide-ide dasar Syekh Nawawi tentang pendidikan Islam nampaknya tokoh ini dapat diklasifikasikan lebih berat  kecenderungannya pada Aliran Religius Konservatif, dibanding dengan aliran Religius Rasional dan Aliran Pragmatis Instrumental. Syekh Nawawi dalam menggambarkan ide-ide dasar pendidikan, kecenderungan nuansa agamisnya lebih dominan sehingga aspek lain menjadi kurang dominan. Penafsiran realitas berpangkal pada agama, maka pendidikan pun dijadikannya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan.[25]
Sebagai implikasi dari pandangan Syekh Nawawi tersebut tentu terdapat dampak positif edukatif dan juga terdapat dampak negatif edukatifnya. Dampak edukatif positifnya adalah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggung jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekadar sebagai tugas-tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab dan kewajiban agama sebagai titik sentral baik dalam kontruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Atau dengan kata lain jika tuntutan tidak sejalan dengan tuntutan keagamaan, maka yang harus didahulukan ialah tuntutan keagamaan.[26]
Menurut Ridha yang dikutip oleh Maragustam, bahwa aliran religius konservatif ini membawa implikasi pendidikan yang negatif. Kata al-’ilm dalam al-Qur’an dan hadits bersifat mutlak tanpa batas menjadi bersifat muqayyad (terbatas) pada ilmu tentang Tuhan menurut sebagian besar ahli pemdidik muslim saat itu; adanya kecenderungan pendakian spiritual yang mendorong pemikiran pendidikan Islam konservatif ke arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan; dan keterpakuan para ahli pendidikan muslim pada anggapan ilmu sebagai tujuan akhir. Oleh karena pengabaian urusan dunia, maka ilmu-ilmu yang bersifat keduniaan dikuasai oleh non muslim. Padahal penguasaan dunia sebagai sarana pendakian kebahagiaan di akhirat.[27]
Ide-ide Syekh Nawawi tentang etika pendidik dan peserta didik dan etika bersama terdapat implikasi bahwa tokoh ini melihat peserta didik masih memerlukan tuntunan dan bimbingan. Peserta didik belum bisa lepas dari pendidik, ia tetap dalam bimbingan dan pengawasan pendidik. Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa, namun memiliki potensi yang luar biasa. Untuk itu pendidik berperan besar untuk mengaktualisasikannya.[28] Menurut Abdullah yang dikutip oleh Maragustam, sangat boleh jadi implikasi dan konsekuensi etika ini sangat besar pengaruhnya dalam menumpulkan daya kreativitas, etos kerja, dan etos ilmu secara bersama-sama. Paling tidak manusia tidak bisa lagi otonom dihadapan sang guru/pendidik. Setiap tindakan harus dikonsultasikan kepada sang guru.[29]
Dari berbagai keterangan Syekh Nawawi tentang kurikulum pengajaran, terdapat implikasi bahwa memandang pengetahua itu berdasarkan dari sudut pandang aplikatif dari norma-norma agama bukan dari sudut substansi ilmu tersebut. Dengan kata lain dasar atau hal yang esensial didahulukan kemudian disusul dengan materi lain. Mendahulukan matan kitab dari pada syarh dalam pendidikan. Mendahulukan kewajiban personal kemudian disusul dengan kewajiban komunal dan sunnah komunal.[30]
Syekh Nawawi beranggapan bahwa pembaharuan dalam pemahaman agama perlu dilakukan untuk terus menggali hakikat kebenaran. Dalam menghadapi tantangan zaman, ia memandang umat Islam perlu menguasai berbagai bidang keterampilan atau keahlian.[31]





BAB III
KESIMPULAN

Syekh Nawawi dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M. di  Desa Tanara, Banten dan wafat pada tahun 1314 H/1897 M. di Mekah. Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga mahaguru sejati. Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pesantren.
Hakekat pendidikan dan pengajaran dalam Islam menurut Syekh Nawawi mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Sedangkan tujuan memperoleh ilmu (tujuan pendidikan) ialah mardatillah dan memperoleh kehidupan ukhrawiyah, memberantas kebodohan, memajukan Islam, melestarikan Islam dengan kaidah-kaidah ilmu serta sebagai perwujudan dari rasa syukur karena diberi akal dan tubuh yang sehat.
Salah satu dampak edukatif positif pandangan Syekh Nawawi adalah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral. Sedangkan dampak negatifnya adalah kecenderungan mengabaikan urusan dunia.



DAFTAR PUSTAKA

Fahmi, M. Ulul, Ulama Besar Indonesia: Biografi dan Karyanya, Kendal:  Pustaka Amanah, 2008.
Iqbal, Asep Muhamad, Yahudi dan Nasrani dalam Al-Qur’an, Jakarta: Teraju,        2004.
Mas’ud, Abdurrahman, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek      Pesantren, Jakarta: Kencana, 2006.
Siregar, Maragustam, Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al- Bantani,     Yogyakarta: Datamedia, 2007.
Solihin, M. dan Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Suwito dan Fauzan, Sejarah Para Tokoh  Pemikiran Pendidikan, Bandung:            Angkasa, 2003.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam Jilid IV, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,     1994.





[1] Suwito dan Fauzan, Sejarah  Para Tokoh Pemikiran Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), hal. 286.
[2] Suwito dan Fauzan, Sejarah..., hal. 290.
[3]Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 109-110.
[4]M. Ulul Fahmi, Ulama Besar Indonesia: Biografi dan Karyanya, (Kendal: Pustaka Amanah, 2008), hal. 4.
[5]Asep Muhamad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam Al-Quran, (Jakarta: Teraju, 2004), hal 49-50.
[6]Tim Penyusun, Ensiklopedi Pendidikan Islam Jilid IV, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 23-24.
[7]M. Ulul fahmi, Ulama..., hal. 8.
[8]Suwito dan Fauzan, Sejarah..., hal. 291.
[9] M. Solihin dan Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 267.
[10]Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan Syeikh Nawawi Al-Bantani, (Yogyakarta: Datamedia, 2007), hal. 5.
[11]M. Ulul Fahmi, Ulama Besar..., hal. 10-12.
[12]Suwito dan Fauzan, Sejarah..., hal. 294.
[13]Maragustam, Pemikiran..., hal. 252.
[14]Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan...., hal. 253.
[15] Ibid., hal. 2-3.
[16]Ibid., hal. 258-259.
[17]Ibid., hal. 259.
[18] Ibid., hal. 262.
[19] Ibid., hal. 81-82.
[20] Ibid., hal. 78
[21]Ibid., hal. 263.
[22] Ibid., hal. 82-83.
[23] Ibid., hal. 264.
[24] Ibid., hal. 265.
[25] Ibid., hal. 266.
[26]Ibid., hal. 267-268.
[27]Ibid., hal. 268.
[28]Ibid., hal. 269.
[29]Ibid., hal. 115.
[30]Ibid., hal. 270.
[31] Tim Penyusun, Ensiklopedi..., hal. 24.

0 comments:

Post a Comment

 

lautan inspirasi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang