PENDIDIKAN ISLAM DALAM PANDANGAN SYEKH
NAWAWI AL-BANTANI DAN IMPLIKASI
DI ERA GLOBALISASI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan
Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, MA
Disusun Oleh:
Ummu Mawaddah (11410189)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak awal kehadirannya di muka bumi
ini, Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. sangat menaruh perhatian
yang besar terhadap pembinaan sumber daya manusia melalui kegiatan pendidikan
dalam berbagai bentuknya.[1]
Perintah al-Qur’an agar orang mengembangkan kegiatan pendidikan itu dapat
dilihat pada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa pada diri manusia terdapat
potensi untuk mendidik atau alat untuk berlangsungnya proses pendidikan atau
pengajaran (transfer of knowledge) yaitu berupa panca indra, akal dan hati
sanubari yang disyukuri (QS. An-Nahl, 16: 78).
Imam Muhammad Nawawi al-Jawi
(al-Bantani) adalah salah satu tokoh intelektual muslim yang menjadi kebanggan
umat Islam Indonesia. Kebanggan kepadanya agaknya tidaklah berlebihan karena
keberadaannya telah memberikan kontribusi yang besar terhadap dunia intelektual
dan citra Islam di mata dunia Islam. Kepakaran beliau di berbagai disiplin ilmu
keislman diakui dunia Islam. Bahkan para ulama Mesir menjulukinya dengan “Sayyid
Ulama al-Hijaz” (Pemimpin Ulama Hijaz). Hal tersebut dapat kita buktikan
dengan banyaknya karya ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu yang beliau
tulis.
Dalam makalah ini, akan dibahas lebih
jauh lagi mengenai Syekh Nawawi al-Bantani beserta pemikirannya, khususnya
pemikiran tentang pendidikan Islam.
Rumusan Masalah:
1. Bagaiman sketsa biografi syekh Nawawi Al-Bantani?
2. Bagaimana pemikiran pendidikan Syekh Nawawi
Al-Bantani?
3. Bagaimana implikasi pemikiran Syekh Nawawi di era
globalisasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sketsa Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani
Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Ali Al-Tanara
Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Nawawi Al-Bantani.
Dilahirkan di Kampung Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten
pada tahun 1230 H/1813 M. Beliau wafat pada usia 84 tahun, tepatnya pada
tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M di tempat kediamannya terakhir, kampung Syi’ib
Ali, Mekah. Jenazahnya dikuburkan di pemakaman Ma’la, Mekah berdekatan dengan
makam Ibn Hajar dan Siti Asma bin abu Bakar Siddiq. Beliau wafat pada saat
sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan tentang Manhaj
at-Tholibinnya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin
Muhammad bin Ammah bin Hujam an-Nawawi.[2]
Setiap tahunnya, pada minggu terakhir bulan Syawal, acara haul diselenggarakan
di daerahnya, Tanara, Banten Jawa Barat oleh sebagian besar masyarakat.[3]
Ayahnya bernama
Kyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya,
Syeikh Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana
Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya
bersambung dengan Nabi Muhammad SAW melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad
Al-Baqir, Imam Ali Zain Al-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra.[4]
Ibunya adalah Jubaidah, asal Tanara. Syekh Nawawi merupakan anak tertua dari
empat saudara laki-laki yaitu Ahmad, Said, Tamim, Abdullah, dan dua saudara
perempuan, Syakila dan Shahriya.[5]
Sejak kecil Syekh
Nawawi telah mendapat pendidikan Agama dari orang tuanya. Mata pelajaran yang
diterimanya antara lain bahasa Arab, Fikih, dan ilmu tafsir. Selain itu ia
belajar pada Kiai Sahal di daerah Banten dan Kiai Yusuf di Purwakarta. Pada
usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan bermukim di sana
selama 3 tahun. Di Mekah, ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat
tinggal di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Dimyati, dan Syekh
Ahmad Dahlan. Ia juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh
Muhammad Khatib al-Hambali. Sekitar tahun 1248 H/1831 M ia kembali ke
Indonesia. Di tempat kelahirannya, ia membina pesantren peninggalan orang
tuanya. Karena situasi politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Mekah
setelah 3 tahun berada di Tanara dan meneruskan belajar di sana. Sejak
keberangkatannya yang kedua kalinya ini, Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke
Indonesia. Menurut catatan sejarah, di Mekah ia berupaya mendalami ilmu-ilmu
agama dari para gurunya, seperti Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul gani
Bima, Syekh Yusuf Sumulaweni, dan Syekh Abdul Hamid Dagastani.[6]
Pada tahun 1860 M.
Syekh Nawai mulai mengajar di lingkungan Masjidil Haram. Prestasi mengajarnya
cukup memuaskan, karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat
sebagai syekh di sana. Pada tahun 1870 M, kesibukannya bertambah, karena ia
harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan
sebagian koleganya dan para sahabatnya dari Jawa. Kitab-kitab komentar (syarh)
dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami.
Alasan menulis syarh selain karena permintaan orang lain, Syekh Nawawi juga
berkeinginan melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif)
dan pengurangan.[7]
Sebagai seorang
alim yang dalam ilmunya, tinggi akhlak dan kepribadiannya, ikhlas dalam mengajar
dan mendakwahkan Islam, tentu hasil didikannya pun akan melahirkan para ulama
besar. Seperti yang dikutip oleh Fahmi, di antara ulama besar di Indonesia yang
menjadi muridnya antara lain:[8]
1. KH. Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng, Jombang Jawa
Timur.
2. KH. Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
3. H. Asy’ari, Bawaian yang kemudian diambil mantu oleh
Imam Nawawi dan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nyi Maram binti Syaikh
Imam Nawawi.
4. KH. Nahjun, Kampung Gunung Mauk, Tangerang yang
dijadikan mantunya (cucunya), dinikahkan dengan Nyi Salmah binti Ruqayyah binti
Syaikh Imam Nawawi. KH. Nahjun juga
bertindak selaku penulis karangan Syaikh Imam Nawawi terutama ketika beliau
menulis Qatral-Gharits.
5. KH. Asnawi, Caringan Labuan, Banten Kabupaten
Pandeglang, Banten
6. KH. Ghafar, Kampung Lampung, Kecamatan Tirtayasa,
Kabupaten Serang, Banten
7. KH. Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta.
Sebagai pengarang,
ternyata Syekh Nawawi cukup produktif seperti halnya Syekh Ahmad bin Zaini
Dakhlan Al-Makki.[9] Syekh Nawawi melalui karya-karyanya
sangat dikenal di kalangan masyarakat muslim, terutama di dunia pesantren Jawa.
Dalam bidang keilmuan, ia dikenal ahli di bidang Teologi Islam, Fikih,
akhlak/tasawuf, bahasa dan kesusastraan Arab serta tarikh (kelahiran/kehidupan
Nabi Muhammad SAW). sedang di bidang kependidikan Islam nyaris luput dari
pengamatan, padahal banyak percikan-percikan pemikiran kependidikan dalam
banyak karyanya di berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, hadits, dan
akhlak/tasawuf. Oleh karena itu, upaya rekonstruksi dan mensistemastisasi
pemikirannya secara konseptual menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi dunia
keilmuan Islam.[10]
Kitab-kitab
karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir. Seringkali beliau hanya
mengirimkan manuskripnya dan setelah itu tidak memperdulikan lagi bagaimana
penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya.
Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan
agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand
dan juga negara-negara Timur Tengah. Di antara karya-karyanya adalah:[11]
1. Muraqah As-Su’ud At-Tashdiq; komentar dari kitab Sulam at-Taufiq.
2. Nihayatuz-Zain; komentar dari kitab Qurratul ‘Ain
3. Tausiyah ‘Ala Ibn Qasim; komentar dari kitab Fathul Qarib.
4. Tijan Ad-Durari; komentar dari kitab Risalatul Baijuri.
5. Tafsir Al-Munir; yang dinamai Marahi Labidi Li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid.
6. Sulamul Munajat; komentar dari kitab Safinatus Sholat
7. Nurudz Dzalam; komentar dari kitab Aqidatul Awam.
8. Kasyifatus Saja; komentar dari kitab Safinah an-Naja
9. Muraqil Ubudiyyah; komentar dari kitab Bidayatul Hidayah.
10. Uqudul Lujain Fi Bayaniz Zaujain; sebuah kitab yang berisikan tuntutan membangun
rumah tangga.
11. Bahjatul Wasa’il; komentar dari kitab Risalatul Jami’ah
12. Madarij as-shu’ud; komentar dari kitab Maulid Barzanzi.
13. Salalimul Fudlala’; yang dinilai dengan Hidayatul Adzkiya.
14. Ats-Tsamarul Yani’ah; komentar dari kitab Riyadhul Badi’ah.
15. Nashaihul ‘Ibad, kitab yang berisi nasihat-nasihat para ahli ibadah.
B. Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani
a. Ide-ide sentral pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani
Islam tidak
memandang manusia sebagai makhluk yang kosong dari daya-daya dan potensi
seperti halnya konsep tabularasa seperti
yang dikemukakan oleh John Locke
(1623-1704), karena itu pendekatan yang totalitas terhadap semua dana atau
potensi yang telah dimiliki manusia.[12]
Manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan sesuai dengan sifat kemanusiaannya
dan dibatasi kebebasannya dengan sunnatullah yang pasti. Karena adanya
keterbatasan itu, maka ilmu pengetahuan yang ditemukannya pun bersifat relatif
dan nisbi. Untuk itu manusia tetap berada di dalam lingkungan Tauhid Uluhiyah,
Tauhid Rububiyah, dan Tauhid al-Asma wa al-Sifah Sehingga manusia
dalam pemikiran pendidikan Islam bersifat teosentris.[13]
Keberhasilan dalam
menata kebudayaan termasuk pendidikan Islam merupakan perpaduan antara kehendak
dan kemauan bebas manusia, hereditas, dan pengaruh dunia luar terhadap peserta
didik. Tentu tiga faktor ini merupakan antroposentris yakni hasil dari akal budi
manusia sesuai dengan sunnatullah yang diketahui dan diarahkan untuk mencapai
kesejahteraan dunia. Dalam pandangan Islam, pola pemikiran seperti ini tidaklah
cukup, karena mengingat keterbatasan-keterbatasan manusia. Untuk itu mau tak
mau kita harus bersandar kepada Yang Maha Pengatur Jagad Raya dan segala
sunnatullah-Nya. Potensi-potensi fisiologis dan psikologis manusia tidaklah
cukup jika hanya mengandalkan perjanjian
primordial dengan Tuhan. Potensi-potensi itu harus dikembangkan melalui
pedidikan. Karena tanpa ilmu maka manusia tidak akan mampu mengemban amanah
khalifah dan melaksanakan ubbudiyah yang merupakan tanggung jawab
manusia untuk menunaikannya.[14]
b. Prinsip-prinsip aktivitas Pendidikan Islam.
Hakikat pendidikan
dan pengajaran dalam Islam menurut Nawawi mencakup term ta’lim, tarbiyah
dan ta’dib. Pendidikan mencakup transfer of knowledge, transfer of
value, transfer of methodology, dan transformasi. Pendidikan mencakup
jasmani (praktik/amal), intelektual, mental/spiritual dan berjalan sepanjang
hidup dan integral.[15]
Sifat-sifat
pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan Islam termasuk Syekh Nawawi
Al-Bantani sangat ketat. Hal ini karena peranan guru dalam Islam tidak sekedar
alih ilmu, nilai dan metode, tetapi juga transformasi (membentuk kepribadian
peserta didik). Di samping itu diyakini bahwa para pendidik menempati ulama
sebagai pewaris para nabi sehingga pendidik harus dapat menjadi teladan bagi
peserta didiknya. Menurut Syekh Nawawi tujuan memperoleh ilmu (tujuan
pendidikan) ialah mardatillah dan memperoleh kehidupan ukhrawiyah, memberantas
kebodohan, memajukan Islam, melestarikan Islam dengan kaidah-kaidah ilmu serta
sebagai perwujudan dari rasa syukur karena diberi akal dan tubuh yang sehat.
Kewajiban bersyukur mencakup aspek keilmuan (ranah kognitif), aspek rasa senang
(ranah afektif), dan menggunakan nikmat Tuhan sesuai dengan permintaan pemberi
nikmat yakni Allah (ranah psikomotor dan spiritual).[16]
Untuk mencapai
tujuan pendidikan tersebut memerlukan pemikiran tentang muatan pendidikan Islam.
Dari berbagai pernyataan Syekh Nawawi, hal utama yang diberikan dalam proses
pendidikan adalah masalah ilmu-ilmu keagamaan yang wajib personal. Sedangkan
yang paling utama dari kewajiban personal itu ialah iman tauhid.[17]
Kurikulum
pendidikan Islam yang tidak didasarkan pada tauhid akan melahirkan manusia yang
serba tergantung kepada makhluk, dan akan melahirkan manusia-manusia yang
menyimpan tuhan-tuhan kecil selain Allah serta melahirkan musyrik-musyrik kecil
pula. Dalam kurikulum pendidikan Islam, Syekh Nawawi menekankan ilmu muqaddimaat
karena ilmu-ilmu keagamaan itu berbahasa Arab dan peserta didik berkewajiban
mempelajarinya. Pada masa sekarang ini bahasa sangat dipentingkan dalam
kurikulum pendidikan Islam. Bahkan kelemahan-kelemahan sekolah-sekolah
keagamaan sekarang ini ialah kelemahan penguasaan bahasa.
Peserta didik
sebagai makhluk educandum dan
educandus menurut Syekh Nawawi sangat memperhatikan lingkungan
kebudayaan termasuk pendidikan dan sosialnya. Kehidupan peserta didik berada
dalam suatu kontrak sosial. Eksistensi peserta didik berada dalam
interdependensi baik secara sosial maupun lingkungan kebudayaan. Pengaruh
lingkungan luar terhadap peserta didik sangat signifikan. Untuk itu Syekh
Nawawi membuat etika peserta didik, agar lebih selektif dalam memilih
lingkungan sosial dan teman dalam pergaulan.[18] Berhubungan
dengan hal itu maka para ahli pendidikan Muslim dituntut membentuk peserta
didik mempunyai peer group yang
kondusif di tempat pembelajarannya, mengingat dari sini ia akan banyak menyerap
pelajaran dan mendapatkan rangsangan kognitif, afektif, dan psikomotorik yang
positif.
Beberapa etika
peserta didik terhadap ilmu menurut Syekh Nawawi di antaranya:[19]
1. Membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran dan dosa
untuk menerima ilmu, memeliharanya dan mendapatkan hasilnya.
2. Selalu mencari ridha gurunya sekalipun berbeda
pendapat dengannya, tidak boleh mengumpat atau memfitnahnya, dan tidak boleh
mencari-cari kesalahannya secara sembunyi-sembunyi.
3. Ia seharusnya tamak dalam belajar, disiplin dalam
seluruh waktunya, malam, siang, berada di tempat dan waktu musyafir.
4. Bersabar atas perilaku guru dan kejahatan akhlaknya.
5. Memperhatikan kesahehan pelajaran yang ia dapatkan
secara benar dan meyakinkan dari gurunya.
Sedangkan etika
pendidik terhadap ilmu pengetahuan seperti yang dikutip Maragustam dalam kitab al’Ilm wa adab al ‘alim wa al muta’alim di
antaranya adalah:[20]
1. Bertujuan mengajarkan ilmunya semata-mata karena
Allah.
2. Berakhlak terpuji sebagaimana disyariatkan oleh
agama dan menganjurkannya kepada peserta didiknya.
3. Berhati-hati terhadap sifat dengki, riya, ujub, dan menghina manusia.
4. Tidak memandang hina terhadap ilmu.
Mengelaborasi
pendapat Syekh Nawawi, maka prinsip-prinsip metodik dalam pendidikan Islam
dapat dicirikan sebagai berikut:[21]
1. Menyajikan mata pelajaran secara jelas dimulai
dari yang mudah, yang konkrit yang dapat ditangkap oleh akal pikiran peserta
didik, baru kemudian secara bertahap dibawa kepada yang lebih sulit dan abstrak.
2. Dalam penyampaian materi, pendidik harus melihat
keadaan peserta didiknya terutama dalam hal kemampuan dan tipologinya.
3. Menggunakan metode mengajar sesuai dengan keadaan
peserta didiknya.
4. Guru dalam menyampaikan materi tidak menambah
pelajaran sebelum pelajaran yang terdahulu dipahami peserta didiknya karena hal
itu akan membuat peserta didik menjadi malas.
5. Prinsip pengulangan (tikrar) dalam pengajaran.
Seperti yang
dikutip Maragustam dalam kitab terjemah Manhaj
Tarbiyah Ibnu Qayyim, Syekh Nawawi di samping mengemukakan etika relasi
guru dan murid juga memberikan etika bersama antara guru dan murid. Yaitu
keduanya tidak boleh melanggar kewajiban, fungsi dan kedudukan masing-masing pihak,
seperti adanya penyakit ringan dan semisalnya yang dengannya ia bekerja atau
sibuk. Dan ia meminta sembuh dengan ilmu dan tidak boleh bertanya kepada
seseorang dengan cara menekan dan melemahkan. Bagi penanya yang demikian tidak
berhak mendapatkan jawaban.[22]
Salah satu lembaga
pendidikan yang penting ialah pendidikan keluarga. Keluarga memiliki dampak
yang besar dalam pembentukan perilaku dan pengembangan vitalitas dan ketenangan
dalam keluarga. Melalui keluarga, anak-anak mendapatkan bahasa, nilai dan norma
serta kecenderungan mereka.[23] Tanggung
jawab pendidikan dalam keluarga menurut Syekh Nawawi tidak hanya mengirimkan
anak kepada guru, tetapi juga tentang biaya pendidikannya. Apabila keluarga
tidak mampu, maka biaya pendidikan dibebankan kepada pemerintah, sedangkan
apabila pemerintah tidak mampu maka tanggung jawabnya dibebankan kepada
orang-orang yang mampu.[24]
c. Hal-hal yang mewarnai pemikiran pendidikan Islam
Syekh Nawawi
Dari berbagi sumber
yang disebutkan, dapat dijelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang mewarnai
pemikiran pendidikan Syekh Nawawi. Pertama, latar belakang pendidikan
keagamaan. Sejak kecil, ia sekolah di lembaga keagamaan seperti pesantren.
Kedua, peran pendidik. Dalam hal ini ulama yang mewarnai pemikirannya adalah
Syekh Sayyid Akhmad Nakhrawi dan Syekh Sayyid Ahmad Dimyathi. Ketiga, madzhab
dan tarekat yang dianutnya yakni madzhab Syafi’i dan tarekat Qadiriyah.
Keempat, perkembangan pemikiran pada saat Syekh Nawawi berkecimpung dalam dunia
akademik.
C. Implikasi Pemikiran Syekh Nawawi di Era
Globalisasi
Dilihat dari berbagai ide-ide dasar Syekh Nawawi
tentang pendidikan Islam nampaknya tokoh ini dapat diklasifikasikan lebih
berat kecenderungannya pada Aliran
Religius Konservatif, dibanding dengan aliran Religius Rasional dan Aliran
Pragmatis Instrumental. Syekh Nawawi dalam menggambarkan ide-ide dasar
pendidikan, kecenderungan nuansa agamisnya lebih dominan sehingga aspek lain
menjadi kurang dominan. Penafsiran realitas berpangkal pada agama, maka
pendidikan pun dijadikannya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan
keagamaan.[25]
Sebagai implikasi dari pandangan Syekh Nawawi
tersebut tentu terdapat dampak positif edukatif dan juga terdapat dampak
negatif edukatifnya. Dampak edukatif positifnya adalah rasa tanggung jawab yang
sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa
tanggung jawab moral. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat
tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggung jawab keagamaan yang sangat
luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekadar sebagai tugas-tugas profesi
kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai
tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab dan kewajiban agama sebagai titik
sentral baik dalam kontruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan.
Atau dengan kata lain jika tuntutan tidak sejalan dengan tuntutan keagamaan,
maka yang harus didahulukan ialah tuntutan keagamaan.[26]
Menurut Ridha yang dikutip oleh Maragustam, bahwa
aliran religius konservatif ini membawa implikasi pendidikan yang negatif. Kata
al-’ilm dalam al-Qur’an dan hadits bersifat mutlak tanpa batas menjadi
bersifat muqayyad (terbatas) pada
ilmu tentang Tuhan menurut sebagian besar ahli pemdidik muslim saat itu; adanya
kecenderungan pendakian spiritual yang mendorong pemikiran pendidikan Islam
konservatif ke arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal
usaha yang sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan; dan keterpakuan para
ahli pendidikan muslim pada anggapan ilmu sebagai tujuan akhir. Oleh karena
pengabaian urusan dunia, maka ilmu-ilmu yang bersifat keduniaan dikuasai oleh
non muslim. Padahal penguasaan dunia sebagai sarana pendakian kebahagiaan di
akhirat.[27]
Ide-ide Syekh Nawawi tentang etika pendidik dan
peserta didik dan etika bersama terdapat implikasi bahwa tokoh ini melihat
peserta didik masih memerlukan tuntunan dan bimbingan. Peserta didik belum bisa
lepas dari pendidik, ia tetap dalam bimbingan dan pengawasan pendidik. Peserta
didik merupakan orang yang belum dewasa, namun memiliki potensi yang luar
biasa. Untuk itu pendidik berperan besar untuk mengaktualisasikannya.[28]
Menurut Abdullah yang dikutip oleh Maragustam, sangat boleh jadi implikasi dan
konsekuensi etika ini sangat besar pengaruhnya dalam menumpulkan daya
kreativitas, etos kerja, dan etos ilmu secara bersama-sama. Paling tidak
manusia tidak bisa lagi otonom dihadapan sang guru/pendidik. Setiap tindakan
harus dikonsultasikan kepada sang guru.[29]
Dari berbagai keterangan Syekh Nawawi tentang
kurikulum pengajaran, terdapat implikasi bahwa memandang pengetahua itu
berdasarkan dari sudut pandang aplikatif dari norma-norma agama bukan dari
sudut substansi ilmu tersebut. Dengan kata lain dasar atau hal yang esensial
didahulukan kemudian disusul dengan materi lain. Mendahulukan matan kitab dari
pada syarh dalam pendidikan. Mendahulukan kewajiban personal kemudian disusul
dengan kewajiban komunal dan sunnah komunal.[30]
Syekh Nawawi beranggapan bahwa pembaharuan dalam
pemahaman agama perlu dilakukan untuk terus menggali hakikat kebenaran. Dalam
menghadapi tantangan zaman, ia memandang umat Islam perlu menguasai berbagai
bidang keterampilan atau keahlian.[31]
BAB III
KESIMPULAN
Syekh Nawawi dilahirkan pada tahun
1230 H/1813 M. di Desa Tanara, Banten
dan wafat pada tahun 1314 H/1897 M. di Mekah. Di kalangan komunitas pesantren
Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga
mahaguru sejati. Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan
batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pesantren.
Hakekat pendidikan dan pengajaran
dalam Islam menurut Syekh Nawawi mencakup term
ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Sedangkan tujuan memperoleh ilmu (tujuan
pendidikan) ialah mardatillah dan memperoleh kehidupan ukhrawiyah, memberantas
kebodohan, memajukan Islam, melestarikan Islam dengan kaidah-kaidah ilmu serta
sebagai perwujudan dari rasa syukur karena diberi akal dan tubuh yang sehat.
Salah satu dampak edukatif positif
pandangan Syekh Nawawi adalah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah
menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab
moral. Sedangkan dampak negatifnya adalah kecenderungan mengabaikan urusan
dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Fahmi, M. Ulul, Ulama Besar Indonesia: Biografi
dan Karyanya, Kendal: Pustaka Amanah,
2008.
Iqbal, Asep Muhamad, Yahudi dan Nasrani dalam
Al-Qur’an, Jakarta: Teraju, 2004.
Mas’ud, Abdurrahman, Dari Haramain ke
Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
Jakarta: Kencana, 2006.
Siregar, Maragustam, Pemikiran Pendidikan Syekh
Nawawi Al- Bantani, Yogyakarta:
Datamedia, 2007.
Solihin, M. dan Rosihun Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung:
Pustaka Setia, 2008.
Suwito dan Fauzan, Sejarah Para Tokoh Pemikiran Pendidikan, Bandung: Angkasa, 2003.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam Jilid IV,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
[1] Suwito dan Fauzan, Sejarah Para Tokoh Pemikiran Pendidikan, (Bandung:
Angkasa, 2003), hal. 286.
[2] Suwito dan Fauzan, Sejarah..., hal. 290.
[3]Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara:
Jejak Intelektual Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 109-110.
[4]M. Ulul Fahmi, Ulama Besar Indonesia: Biografi
dan Karyanya, (Kendal: Pustaka Amanah, 2008), hal. 4.
[5]Asep Muhamad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam
Al-Quran, (Jakarta: Teraju, 2004), hal 49-50.
[6]Tim Penyusun, Ensiklopedi Pendidikan Islam
Jilid IV, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 23-24.
[7]M. Ulul fahmi, Ulama..., hal. 8.
[8]Suwito dan Fauzan, Sejarah..., hal. 291.
[10]Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan Syeikh
Nawawi Al-Bantani, (Yogyakarta: Datamedia, 2007), hal. 5.
[11]M. Ulul Fahmi, Ulama Besar..., hal. 10-12.
[12]Suwito dan Fauzan, Sejarah..., hal. 294.
[13]Maragustam, Pemikiran..., hal. 252.
[14]Maragustam Siregar, Pemikiran Pendidikan...., hal.
253.
[16]Ibid., hal. 258-259.
[17]Ibid., hal. 259.
[20] Ibid., hal. 78
[21]Ibid., hal. 263.
[26]Ibid., hal. 267-268.
[27]Ibid., hal. 268.
[28]Ibid., hal. 269.
[29]Ibid., hal. 115.
[30]Ibid., hal. 270.
0 comments:
Post a Comment