Monday 30 December 2013

CERPEN: KESELONG

KESELONG

Sudah hampir dua hari ini Dini tidak kembali. Kedua orang tua bahkan para tetangganya telah mencari ke sana sini, namun hasilnya nihil. Dini belum juga ditemukan. Tidak ada kabar pasti ke mana ia pergi. Yang jelas dia menghilang secara tiba-tiba. Menurut keterangan pemuda bernama Parjo yang biasa duduk-duduk di lincak bambu milik mbah Surip, sore itu Dini melintas di hadapannya. Tetapi Parjo hanya bersiul ringan tanpa begitu mempedulikan Dini yang nampaknya berjalan dengan amat terburu-buru.
Nyong sih gak begitu paham dia mau kemana.” Jelas Parjo saat dimintai keterangan lebih lanjut oleh warga.
Kenapa gak dibuntuti bae? Kan jadi begini akibatnya.” tanya Pak RT seperti menginterogasi.
“Lha Sampeyan kok nyalahin nyong, nyong kan nggak curiga waktu itu.” Parjo yang merasa disalahkan mencoba membela diri.
Uwis uwis, jangan padu, nggak baik.” Mbah surip menengahi. Pak RT buru-buru sadar dan meminta maaf pada Parjo yang agak kesal.
Nggih, Pak RT nggak papa.” Sahut Parjo kalem.
“Jangan-jangan Dini keselong.” Tiba-tiba istri Mbah Surip menyeletuk. Sontak semua orang yang ada di sana termasuk kedua orang tua Dini terperanjat. Diam-diam mereka membenarkan perkataan istri Mbah Surip. Apalagi beberapa waktu lalu anak Wak Udin yang masih sekolah SD diselong oleh jin penghuni pohon bambu di belakang rumahnya. Seminggu yang lalu, istri muda Om Jiman juga diselong oleh jin penghuni pohon bambu yang sama. Mereka baru kembali setelah semua warga di Desa tersebut berkumpul untuk mencarinya dengan menabuh kentongan dan alat-alat dapur. Pada waktu itu, ibu Dini menabuh panci dengan centong yang masih dipenuhi nasi hangat karena baru memasak untuk makan sore. Dan anehnya, kedua korban yang keselong itu tidak menyadari bahwa mereka telah hilang berhari-hari. Mereka merasa belum ada setengah jam ada di kerajaan jin. Bahkan kata istri Om Jiman, ia baru saja disuruh duduk dan disuguhi minuman namun belum sempat disentuhnya karena mendengar suara-suara yang memanggilnya.
Nek ancen kaya gue, sekarang kita kudu mengumpulkan seluruh warga untuk mencari Dini.” Pak RT mengambil keputusan. Sementara orang-orang mulai ramai dan bergegas pulang mengambil perlengkapan. Tinggal orang tua Dini yang masih tetap tinggal bersama Pak RT di depan rumah tua mbah Surip.
“Aduh Pak, priben nasib anak semata wayange nyong, apa bener diselong ya?” ibu Dini sangat khawatir.
“Lah ibune, meneng dhisik ya! Dini akan segera ditemukan. Wis, rewangi donga bae!” sahut bapak Dini yang sudah bosan mendengarkan rengekan dan tangisan istrinya sejak kemarin. Ia sendiri merasa pusing namun tetap mencoba tabah.
Bapake, nyong khawatir sekali.” Ibu Dini sedikit terisak.
Warga mulai berdatangan kembali ke kediaman mbah Surip. Di tangan mereka telah terdapat kentongan dan alat-alat dapur seperti panci dan kenceng. Ibu Dini menjadi deg-degan.
“Ayo sekalian warga, mari mulai mencari.” Teriak Pak RT di depan kerumunan, tepatnya di emperan milik mbah Surip.
Warga segera manut dengan perintah Pak RT. Mereka mulai berjalan menuju pekarangan mbah Surip yang diyakini angker dan sering menyelong warga.
“Dini, Dini, ayo ndang bali.”
Tong...tong...tong....
“Dini, bali Din...”
Teng...teng...teng...
Warga bersahut-sahutan memanggil Dini. Mereka mulai mendekati rimbunan pohon bambu yang semakin nampak menyeramkan sore itu. Matahari hampir tenggelam.
Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari cepat mendekati kerumunan warga.
“Pak.... Bu....” teriaknya sambil terengah-engah.
Orang-orang segera mengalihkan perhatiannya pada anak kecil tersebut. Ternyata ia anak Pak Kepala Desa, si Maman.
“Mbak Dini diculik....” teriaknya lagi membuat warga terkejut.
“Lho, bukannya diselong?” Pak RT menimpali. Warga saling berpandang-pandangan, heran bercampur kaget.
“Tadi, di TV ngeton. Mbak Dini kemarin janjian sama batir barunya lewat sms. Mbak Dini kan uwis punya hape.” Terang Maman.
Kedua orang tua Dini baru menyadari semenjak pulang merantau Dini sering memainkan HPnya. Akan tetapi mereka tidak begitu mempedulikan barang ‘baru’ tersebut karena disibukkan pekerjaan harian sebagai petani. Di desa tersebut, HP masih menjadi barang yang sangat langka. Bisa dipastikan hanya Pak Kepala Desa yang memilikinya. Itu pun masih terbatas penggunaannya karena keterbatasan kemampuan beliau. Di samping masih adanya keterbatasan jaringan.
“Terus, di mana Dini?” tanya bapak Dini berharap.
“Ng... ng... nggak paham Pak. Mbak Dini jare pak polisine tewas. Lha tewas kue apa Pak?" Maman yang masih polos balik bertanya.
“Apa???!!!” teriak Ibu Dini kaget. Kemudian ia semaput.
Warga saling berpandang-pandangan. Mereka masih belum mempercayai berita itu. Apalagi keberadaan televisi masih sama langkanya dengan HP. Hanya pendopo kelurahan yang sudah memasang TV. Itu pun masih menggunakan energi aki.
Tiba-tiba saja bapak Dini sudah tidak ada di tempat.
“Pak Lurah, mana Pak Sarno?” warga menanyakan keberadaan bapak Dini karena istrinya semaput.
“Pak Sarno keselong” sahut Mbah Surip tiba-tiba.
Warga yang kebingungan segera membunyikan kembali alat-alat yang mereka bawa.
Tong.... tong... tong.....
Ting... ting... ting....
Pekarangan milik mbah Surip mendadak ramai oleh aneka macam tabuhan, mengalahkan suara adzan dari langgar Mbah Hasyim yang terdengar parau dan serak.
****
Kotagede, 29 Desember 2013

Mawaddah Mumtazza

0 comments:

Post a Comment

 

lautan inspirasi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang