KESELONG
Sudah hampir dua hari ini Dini tidak kembali. Kedua orang
tua bahkan para tetangganya telah mencari ke sana sini, namun hasilnya nihil.
Dini belum juga ditemukan. Tidak ada kabar pasti ke mana ia pergi. Yang jelas dia
menghilang secara tiba-tiba. Menurut keterangan pemuda bernama Parjo yang biasa
duduk-duduk di lincak bambu milik
mbah Surip, sore itu Dini melintas di hadapannya. Tetapi Parjo hanya bersiul
ringan tanpa begitu mempedulikan Dini yang nampaknya berjalan dengan amat
terburu-buru.
“Nyong sih gak
begitu paham dia mau kemana.” Jelas Parjo saat dimintai keterangan lebih lanjut
oleh warga.
“Kenapa gak
dibuntuti bae? Kan jadi begini
akibatnya.” tanya Pak RT seperti menginterogasi.
“Lha Sampeyan kok
nyalahin nyong, nyong kan nggak
curiga waktu itu.” Parjo yang merasa disalahkan mencoba membela diri.
“Uwis uwis, jangan
padu, nggak baik.” Mbah surip
menengahi. Pak RT buru-buru sadar dan meminta maaf pada Parjo yang agak kesal.
“Nggih, Pak RT nggak
papa.” Sahut Parjo kalem.
“Jangan-jangan Dini keselong.”
Tiba-tiba istri Mbah Surip menyeletuk. Sontak semua orang yang ada di sana
termasuk kedua orang tua Dini terperanjat. Diam-diam mereka membenarkan
perkataan istri Mbah Surip. Apalagi beberapa waktu lalu anak Wak Udin yang masih sekolah SD diselong
oleh jin penghuni pohon bambu di belakang rumahnya. Seminggu yang lalu, istri muda
Om Jiman juga diselong oleh jin penghuni pohon bambu yang sama. Mereka
baru kembali setelah semua warga di Desa tersebut berkumpul untuk mencarinya
dengan menabuh kentongan dan alat-alat dapur. Pada waktu itu, ibu Dini menabuh
panci dengan centong yang masih dipenuhi nasi hangat karena baru memasak untuk
makan sore. Dan anehnya, kedua korban yang keselong itu tidak menyadari
bahwa mereka telah hilang berhari-hari. Mereka merasa belum ada setengah jam
ada di kerajaan jin. Bahkan kata istri Om Jiman, ia baru saja disuruh duduk dan
disuguhi minuman namun belum sempat disentuhnya karena mendengar suara-suara
yang memanggilnya.
“Nek ancen kaya gue, sekarang kita kudu mengumpulkan
seluruh warga untuk mencari Dini.” Pak RT mengambil keputusan. Sementara
orang-orang mulai ramai dan bergegas pulang mengambil perlengkapan. Tinggal
orang tua Dini yang masih tetap tinggal bersama Pak RT di depan rumah tua mbah
Surip.
“Aduh Pak, priben nasib anak semata wayange nyong,
apa bener diselong ya?” ibu Dini sangat khawatir.
“Lah ibune, meneng dhisik ya! Dini akan segera
ditemukan. Wis, rewangi donga bae!” sahut bapak Dini yang sudah bosan mendengarkan
rengekan dan tangisan istrinya sejak kemarin. Ia sendiri merasa pusing namun
tetap mencoba tabah.
“Bapake, nyong khawatir sekali.” Ibu Dini sedikit
terisak.
Warga mulai berdatangan kembali ke kediaman mbah Surip. Di
tangan mereka telah terdapat kentongan dan alat-alat dapur seperti panci dan kenceng.
Ibu Dini menjadi deg-degan.
“Ayo sekalian warga, mari mulai mencari.” Teriak Pak RT di
depan kerumunan, tepatnya di emperan milik mbah Surip.
Warga segera manut dengan perintah Pak RT. Mereka
mulai berjalan menuju pekarangan mbah Surip yang diyakini angker dan sering menyelong
warga.
“Dini, Dini, ayo ndang bali.”
Tong...tong...tong....
“Dini, bali Din...”
Teng...teng...teng...
Warga bersahut-sahutan memanggil Dini. Mereka mulai
mendekati rimbunan pohon bambu yang semakin nampak menyeramkan sore itu.
Matahari hampir tenggelam.
Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari cepat mendekati
kerumunan warga.
“Pak.... Bu....” teriaknya sambil terengah-engah.
Orang-orang segera mengalihkan perhatiannya pada anak kecil
tersebut. Ternyata ia anak Pak Kepala Desa, si Maman.
“Mbak Dini diculik....” teriaknya lagi membuat warga
terkejut.
“Lho, bukannya diselong?” Pak RT menimpali. Warga
saling berpandang-pandangan, heran bercampur kaget.
“Tadi, di TV ngeton. Mbak Dini kemarin janjian sama batir
barunya lewat sms. Mbak Dini kan uwis punya hape.” Terang Maman.
Kedua orang tua Dini baru menyadari semenjak pulang merantau
Dini sering memainkan HPnya. Akan tetapi mereka tidak begitu mempedulikan
barang ‘baru’ tersebut karena disibukkan pekerjaan harian sebagai petani. Di
desa tersebut, HP masih menjadi barang yang sangat langka. Bisa dipastikan hanya
Pak Kepala Desa yang memilikinya. Itu pun masih terbatas penggunaannya karena
keterbatasan kemampuan beliau. Di samping masih adanya keterbatasan jaringan.
“Terus, di mana Dini?” tanya bapak Dini berharap.
“Ng... ng... nggak paham Pak. Mbak Dini jare pak
polisine tewas. Lha tewas kue apa Pak?" Maman yang masih
polos balik bertanya.
“Apa???!!!” teriak Ibu Dini kaget. Kemudian ia semaput.
Warga saling berpandang-pandangan. Mereka masih belum
mempercayai berita itu. Apalagi keberadaan televisi masih sama langkanya dengan
HP. Hanya pendopo kelurahan yang sudah memasang TV. Itu pun masih menggunakan
energi aki.
Tiba-tiba saja bapak Dini sudah tidak ada di tempat.
“Pak Lurah, mana Pak Sarno?” warga menanyakan keberadaan
bapak Dini karena istrinya semaput.
“Pak Sarno keselong” sahut Mbah Surip tiba-tiba.
Warga yang kebingungan segera membunyikan kembali alat-alat
yang mereka bawa.
Tong.... tong... tong.....
Ting... ting... ting....
Pekarangan milik mbah Surip mendadak ramai oleh aneka macam
tabuhan, mengalahkan suara adzan dari langgar Mbah Hasyim yang terdengar
parau dan serak.
****
Kotagede, 29 Desember 2013
Mawaddah Mumtazza
0 comments:
Post a Comment