JENIS-JENIS PENALARAN
DI DUNIA BARAT:
DEDUKTIF, INDUKTIF, DAN
ABDUKTIF
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Dr. Usman, S.S., M.
Ag.
Oleh:
Ummu Mawaddah
Oleh:
Ummu Mawaddah
s
Oleh:
Ummu Mawaddah
1620410004
PROGRAM MAGISTER (S2)
KONSENTRASI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penalaran merupakan proses berpikir yang biasa kita
jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai makhluk yang paling sempurna,
manusia dituntut untuk mempergunakan akal sebagaimana mestinya, yaitu berpikir,
memahami dan menganalisis suatu kondisi. Dalam berpikir, manusia tentu memiliki
batasan atau aturan agar tidak mengalami sesat pikir. Oleh karena itu, logika
diperlukan demi tepatnya suatu pemikiran. Logika berperan penting dalam
menentukan aturan-aturan pemikiran yang tepat terhadap persoalan-persoalan
konkret yang kita hadapi setiap hari serta pembentukan sikap ilmiah, kritis,
dan objektif.
Sebagaimana yang kita ketahui, pemikiran memiliki
jalan atau pola dasar yang akan mengantarkan pada kesimpulan. Kesimpulan
merupakan buah pemikiran baru yang didapatkan dari pernyataan-pernyataan yang
sudah ada. Kesimpulan memiliki kepentingan yang bersifat inti karena digunakan
sebagai acuan dalam bertindak atau memahami sesuatu.
Pola pemikiran atau yang kita istilahkan sebagai
jenis penalaran memiliki variasi yang beraneka ragam dan perlu kita ketahui. Dalam
perkembangannya, ilmuwan Barat lah yang terlebih dahulu berkecimpung dalam
dunia ‘penalaran’ tersebut. Oleh karena itu, makalah ini menjelaskan secara
singkat jenis-jenis pemikiran Barat, seperti deduktif, induktif, dan abduktif.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang, diperoleh beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apa
yang dimaksud dengan penalaran?
2. Apa
saja jenis-jenis penalaran di dunia Barat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Penalaran
Penalaran adalah rangkaian kegiatan budi manusia
sampai pada suatu kesimpulan dari satu atau lebih keputusan yang telah
diketahui.[1]
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang menghasilkan pengetahuan. Agar
buah pengetahuan yang berdasarkan penalaran itu mempunyai bobot kebenaran, maka
proses berpikir perlu dan harus dilakukan dengan suatu cara atau metode tertentu.[2]
Penalaran berkaitan erat dengan logika. Logika
digagas pertama kali oleh Aristoteles, seorang ahli pikir dari Yunani. Logika
merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana objek materialnya adalah berpikir
(khususnya penalaran/proses penalaran) dan objek formalnya adalah
berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketetapannya. Lapangan dalam logika
adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Agar
dapat berpikir lurus, tepat dan teratur, logika menyelidiki, merumuskan serta
menetapkan hukum-hukum yang harus ditepati.[3]
Secara singkat, logika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari segenap
asas, aturan, dan tata cara penalaran yang benar (correct reasoning).[4]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa logika
dipakai untuk menarik kesimpulan dari suatu penalaran dengan menggunakan cara
tertentu. Dengan logika, kita dapat menyelidiki apakah pemikiran kita lurus,
tepat, teratur atau sebaliknya. Sebagai sarana penalaran, logika berorientasi
kepada kebenaran.
Suatu penalaran disebut benar jika penalaran
tersebut menunjukkan korespondensi antara pernyataan dan faktanya. Penalaran
disebut valid apabila kesimpulannya diturunkans dari premis yang tersedia.[5]
Karena logika berhubungan dengan validitas atau lurusnya penalaran, maka suatu
argumen atau penalaran disebut logis jika memenuhi syarat benar dan valid.
B. Jenis-Jenis Penalaran Barat
Penalaran
Barat dibagi menjadi tiga kelompok besar
yaitu deduktif, induktif, dan abduktif. Berikut penjelasan masing-masing.
1)
Deduktif
Deduktif yaitu suatu penalaran yang menurunkan suatu
kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul
menurut bentuknya saja.[6]
Penalaran ini bergerak dari pernyataan dasar yang bersifat umum ke kesimpulan
yang bersifat khusus. Penalaran deduktif menarik pernyataan yang didasarkan
pada hasil-hasil pengamatan, hukum, dan teori.[7]
Penalaran deduktif merupakan penalaran yang sifatnya menguji (verifikasi)
keputusan umum.[8] Berikut merupakan
bentuk yang diwujudkan dari penalaran deduktif.
a. Silogisme
Silogisme merupakan penalaran formal yang terdiri
atas tiga proposisi. Proposisi pertama dan kedua merupakan proposisi dasar
penarikan kesimpulan yang disebut premis sedangkan proposisi ketiga adalah
kesimpulan (konsekuen) yang ditarik dari kedua premisnya.[9]
Premis yang dimaksud di sini adalah premis mayor dan premis minor.[10]
Premis mayor adalah proposisi yang bersifat umum (general), berupa
teori, hukum, ataupun dalil dari suatu ilmu sedangkan premis minor adalah
proposisi yang disusun dari fenomena khusus yang ditangkap indera, yaitu yang
ingin diketahui. Adapun kesimpulan adalah jawaban logis bagi premis minor itu.
Sesuai dengan proposisi yang membangunnya, silogisme
dapat dibedakan menjadi dua yaitu silogisme kategoris dan hipotesis.
Silogisme
kategoris adalah struktur deduksi berupa suatu proses logis
yang terdiri dari tiga bagian yang masing-masing bagiannya berupa pernyataan
kategoris (pernyataan tanpa syarat).[11]
Contoh
silogisme kategoris:
Mencuri
itu haram (premis
mayor)
Korupsi
adalah mencuri (premis minor)
Jadi,
Korupsi adalah haram (konklusi)
Adapun
silogisme hipotesis adalah silogisme yang premis mayornya berupa
keputusan kondisional. Keputusan kondisional atau keputusan bersyarat adalah
keputusan yang dinyatakan dengan pernyatan “jika-maka”.[12]
Benar tidaknya keputusan kondisional ditentukan oleh hubungan bersyarat yang
dinyatakan di dalamnya. Bagian putusan yang mengandung syarat disebut anteseden
sedangkan bagian yang mengandung apa yang dikondisikan disebut konsekuens.[13]
Contoh:
Jika
sampah penduduk dibuang di sungai, maka terjadi banjir (Mayor)
Sampah
penduduk dibuang di sungai (Minor)
Maka
terjadi banjir (Konsekuens)
Dari
contoh tersebut, premis mayor menyatakan suatu syarat yang menjadi sandaran
benar tidaknya konsekuensi. Syarat yang dimaksud yaitu ‘jika terjadi hujan’ dan
konsekuensinya yaitu ‘terjadi banjir’. Keduanya merupakan hubungan yang benar
dan sah secara logis. Adapun premis minor menyatakan dipenuhinya syarat
tersebut, yaitu ‘sampah penduduk dibuang di sungai’, sehingga kesimpulan ‘maka
terjadi banjir’ menyatakan benarnya konsekuensi.
Selain kedua silogisme tersebut, sebenarnya masih
ada bentuk silogisme yang lain yaitu silogisme disjunktif.
Silogisme
disjunktif adalah silogisme yang premis mayornya berupa
keputusan disjunktif sedangkan premis minornya keputusan kategoris yang
mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor.[14]
Contoh:
Ia
lulus atau tidak lulus Agus
di rumah atau di pasar
Ternyata
ia lulus Ternyata
tidak di rumah
Jadi,
ia bukan tidak lulus jadi
di pasar
b. Entimem
Entimem
adalah suatu bentuk silogisme yang hanya menyebutkan premis atau kesimpulan
saja atau keduanya tetapi ada satu premis yang tidak dinyatakan.[15]
Entimem merupakan bentuk singkat silogisme. Contoh:
Basuki
adalah mahasiswa UIN
Maka
Basuki harus rajin membaca
Pada
contoh tersebut, premis yang tidak disebutkan adalah “Mahasiswa UIN harus rajin
membaca”. Meskipun tidak disebutkan, kalimat tersebut masih bisa dipahami.
2) Induktif
Penalaran induktif adalah proses berpikir berdasarkan
seperangkat gejala atau data yang diamati dengan menerapkan logika induktif
untuk menarik kesimpulan yang berlaku umum maupun khusus. Penalaran ini
bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus menuju kesimpulan yang berlaku umum
untuk keseluruhan atau sebagian gejala yang diamati.[16]
Dari penalaran induktif terwujud hukum-hukum, dalil, atau teori dari suatu
ilmu. Jika deduksi masih sepenuhnya berada dalam dunia konsep, induksi perlu
memanfaatkan intuisi.[17]
Dalam pelaksanaannya, ada beberapa jenis penalaran induktif yang biasa
diterapkan, yaitu:
a. Generalisasi
Generalisasi merupakan penalaran yang menyimpulkan
suatu konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi
empirik.[18]
Maksudnya, penarikan kesimpulan dalam penalaran induktif didasarkan pada
pengamatan terhadap sampel atau keseluruhan suatu gejala. Contoh:
Manusia membutuhkan air
Hewan membutuhkan air
Tumbuhan membutuhkan air
∴ Semua makhluk hidup membutuhkan
air
Pernyataan bahwa semua
makhluk hidup membutuhkan air tidak bisa digeneralisasi jika hanya didasarkan
pada salah satu makhluk hidup saja, misalnya hewan. Untuk digeneralisasi, harus
banyak makhluk hidup yang diamati, bahkan harus pada berbagai tempat dan
situasi. Apabila ada salah satu makhluk hidup yang tidak membutuhkan air, maka
generalisasi itu akan gugur.
b. Hubungan
Sebab Akibat
Hubungan sebab akibat adalah hubungan ketergantungan
antara dua atau beberapa hal, kejadian, atau variabel yang menyatakan bahwa
yang satu merupakan penyebab yang lain, dan yang lain merupakan akibatnya. Hal
ini sesuai dengan prinsip sebab akibat yang menyatakan bahwa segala sesuatu ada
penyebabnya. Penalaran sebab akibat dapat mengikuti alur pemikiran dari sebab
ke akibat atau dari akibat ke sebab.[19]
Pada praktiknya, hubungan ini bisa berupa rangkaian sebab akibat yang panjang,
bisa juga berupa lingkaran sebab akibat yang rumit sehingga sulit dirunut
penyebab awalnya. Berikut ilustrasinya.
A˃B˃C˃D˃E˃F,
dan seterusnya.
A˃B˃C˃D˃A
Contoh:
Seseorang
mendapatkan nilai ujian di bawah standar. Setelah ditelusuri, ternyata
penyebabnya adalah tidak belajar. Penyebab tidak belajar yaitu mengantuk dan
tidur. Penyebab mengantuknya yaitu terlalu banyak nonton televisi pada siang
hari. Penyebab menonton televisi yaitu karena ada acara favoritnya dan
seterusnya.
c. Analogi
Analogi ialah proses penalaran dalam menarik
kesimpulan berdasarkan persamaan pada aspek-aspek yang penting antara dua hal
atau gejala.[20] Penalaran
secara analogi berusaha mencapai kesimpulan dengan menggantikan apa yang kita
coba buktikan dengan sesuatu yang serupa namun lebih dikenal.[21]
Contoh:
Misalnya,
menyimpulkan kemungkinan adanya kehidupan di Mars berdasarkan persamaan dengan
kerakteristik-karakteristik Bumi. Bumi merupakan satu-satunya planet yang kita
kenal memiliki kehidupan di dalamnya. Akan tetapi, berdasarkan ciri-ciri yang
sama dengan Bumi, Mars dianggap memiliki kemungkinan adanya kehidupan. Sebagaiman
Bumi, Mars berputar pada porosnya sehingga terjadi pergantian siang dan malam.
Mars juga beredar mengelilingi matahari serta memiliki satelit. Selain itu,
pernah ditemukan jejak-jejak aliran sungai di Mars. Berdasarkan ciri-ciri yang
sama tersebut, kemudian muncul dugaan bahwa Mars dihuni oleh berbagai jenis
makhluk hidup bahkan manusia.
Dalam setiap tindakan analogik, terdapat tiga unsur penting yang
harus dipenuhi yaitu peristiwa pokok yang menjadi dasar analogi, persamaan
prinsipal yang menjadi pengikat, dan fenomena yang hendak dianalogikan.[22]
Ketiga-tiganya menjadi unsur yang saling melengkapi dan tidak dapat berdiri
sendiri.
3) Abduktif
Abduksi merupakan suatu bentuk silogisme yang
bertolak dari fakta atau kasus. Dari fakta itu kita merumuskan suatu hipotesis
untuk menjelaskan kasus tersebut. Hipotesis tersebut mengandung makna general
atau universal.[23] Jadi,
penalaran abduktif berangkat dari sebuah fakta yang harus dijelaskan dengan
sebuah hipotesis.
Abduksi memiliki dua ciri, yang pertama
menawarkan suatu hipotesis yang memberikan eksplanasi yang probable. Kedua,
hipotesis itu dapat memberikan eksplanasi terhadap fakta-fakta lain yang belum
dijelaskan dan bahkan tidak dapat diobservasi secara langsung. Maka, hipotesis
yang ditawarkan melalui abduksi ini tidak lebih dari vague ideas yang
masih harus dibuktikan melalui induksi dan deduksi.[24]
Contoh:
Kita
mengenal seorang anak kecil yang biasa menangis ketika lapar. Ketika kita
melihat anak itu menangis, kita akan menyimpulkan bahwa dia sedang merasa lapar.
Hal ini belum tentu benar karena bisa jadi menangisnya itu karena dimarahi
ibunya atau karena mainannya hilang. Untuk mengetahui kepastiannya, maka kita
perlu menyelidiki atau menguji alasan mengapa perempuan itu menangis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penalaran adalah suatu proses berpikir yang
menghasilkan pengetahuan. Agar buah pengetahuan yang berdasarkan penalaran itu
mempunyai bobot kebenaran, maka proses berpikir perlu dan harus dilakukan
dengan suatu cara atau metode tertentu.
Secara garis besar, penalaran Barat dibagi ke dalam
tiga kelompok yaitu deduktif, induktif dan abduktif. Deduktif merupakan
penalaran yang berangkat dari hal-hal yang bersifat umum ke kesimpulan yang
bersifat khusus. Deduktif dapat dibagi menjadi dua yaitu silogisme dan entimem.
Induktif merupakan kebalikan deduktif, yaitu penalaran yang yang
berangkat dari pengamatan yang bersifat khusus menuju kesimpulan yang bersifat
umum. Jika deduktif didasarkan pada teori, induktif didasarkan pada hasil
pengamatan yang menghasilkan teori. Induktif dibagi menjadi tiga yaitu
generalisasi, sebab akibat dan analogi. Adapun abduktif merupakan
penalaran yang berangkat dari fakta di mana dari fakta tersebut kita temukan
sebuah hipotesis. Hipotesis tersebut kemudian kita uji secara deduktif dan
induktif untuk memperoleh kebenaran.
B. Saran
Saya
menyadari adanya ketidaksempurnaan di dalam makalah ini. Oleh karena itu,
kritik saran yang membangun dari pembaca sangat saya harapkan demi terwujudnya
hasil yang lebih baik. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad,
Filsafat Ilmu: ontologi, epistimologi, aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
Keraf A. Sony
dan Michael Dua, Ilmu Pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Mundiri, Logika,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Nasution, Bahder
Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008.
Kattsoff, Louis
O., Pengantar Filsafat: Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat, (yogyakarta: Tiara Wacana,
1989 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat:
Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat, yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
Poespoprodjo, W.
dan T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, Bandung: CV Pustaka Grafika, 2006.
Rahmat, Aceng,
dkk., Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011.
Rohman, Arif, Epistemologi
dan Logika: filsafat untuk pengembangan pendidikan,
Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014.
Soetrisno, Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi, 2007.
Sumaryono, E., Dasar-Dasar
Logika, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Surajiyo, Ilmu
Filsafat: suatu pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Susanto, A., Filsafat
Ilmu: suatu kajian dalam bentuk dimensi ontologis, epistimologis, dan aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Syam, Nina W., Filsafat
sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Bandung: Simbosa Rekatama Media, 2010.
[1] Arif Rohman, Epistemologi dan
Logika: filsafat untuk pengembangan pendidikan, (Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, 2014), hal. 169.
[2] A. Susanto, Filsafat Ilmu:
suatu kajian dalam bentuk dimensi ontologis, epistimologis, dan aksiologis, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), hal. 148.
[3] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu:
ontologi, epistimologi, aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hal. 145.
[4] Bahder Johan Nasution, Metode
Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 32.
[5] E. Sumaryono, Dasar-Dasar
Logika, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 72.
[6] Surajiyo, Ilmu Filsafat:
suatu pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 24.
[7] Soetrisno, Filsafat Ilmu dan
Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi, 2007), hal. 125.
[8]
Arif Rohman, Epistemologi dan Logika..., hal. 171.
[9] Aceng Rahmat, dkk., Filsafat
Ilmu Lanjutan..., hal. 235.
[10] A. Susanto, Filsafat Ilmu...,
hal. 148.
[11] W. Poespoprodjo dan T. Gilarso, Logika
Ilmu Menalar, (Bandung: CV Pustaka Grafika, 2006), hal. 152.
[12] A. Susanto, Filsafat Ilmu...,
hal. 148.
[13] W. Poespoprodjo dan T. Gilarso, Logika
Ilmu Menalar..., hal. 157.
[14] Mundiri, Logika..., hal. 117.
[15] Surajiyo, Ilmu Filsafat..., hal.
48.
[16] Aceng Rahmat, dkk., Filsafat
Ilmu Lanjutan..., hal. 241.
[17] Nina W. Syam, Filsafat
sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbosa Rekatama Media, 2010), hal.
195.
[18] Mohammad Adib, Filsafat
Ilmu..., hal. 168.
[19] Aceng Rahmat, dkk., Filsafat
Ilmu Lanjutan..., hal. 244.
[20] Ibid., hal. 245.
[21] Louis O. Kattsoff, Pengantar
Filsafat: Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat, (yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989), hal. 32.
[22] Mundiri, Logika, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 139.
[23] A. Sony Keraf, Ilmu
Pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hal.
92.
[24] Ibid., hal. 93-94.