Monday 30 September 2013

CERPEN: VIRUS LORA


Sebenarnya kedatangan seekor kucing yang kemudian ia beri nama Lora itu benar-benar telah membuat hidupnya lebih berwarna. Dulu, ia terbiasa duduk-duduk sendirian di ujung tangga menuju gudang sambil bernyanyi-nyanyi kecil atau hafalan surat-surat pendek yang diwajibkan oleh bu ustadzah tanpa teman seorang pun. Ia tak kenal takut meski kebanyakan teman-temannya telah memberi dia peringatan bahwa tempat itu angker, sering ada hantunya. Tapi karena ia belum pernah melihat sesuatu yang aneh, ia tetap nyaman duduk seorang diri di tempat itu, bahkan tengah malam sekalipun.
Lulu, begitu teman-teman baru di asrama mengenalnya. Ia seorang gadis kecil yang sangat pendiam. Ayah dan Ibu Lulu sengaja mengirimnya ke pesantren supaya ia mau bersosialisasi dan akrab dengan orang lain, tidak seperti ketika di rumah dulu. Namun sudah sebulan di pesantren, ia masih tetap sama dan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda perubahan pada dirinya. Awalnya lulu tidak betah di pesantren itu karena tempatnya sempit dan kotor. Bayangkan, tiap kamar yang berukuran 4x4 meter itu dihuni sekitar sepuluh anak, bahkan lebih. Belum lagi produksi sampah dari anak-anak usia SD itu kian menumpuk meski setiap hari dipiketi.
“Lora....” Lulu yang baru saja pulang dari sekolah langsung berlari menuju tangga. Kucing betina yang tengah hamil itu kini tinggal di tempat di mana ia terbiasa bercengkerama. Awalnya Lora hanya bermain-main di sekitar pesantren, tapi karena Lulu suka, ia menjadikannya sebagai teman bercerita, dan membawanya ke sana. Kini Lulu mengeluarkan sepotong kue dari kantong bajunya. Lora mengeong ringan, menyambut Lulu dengan sukacita. Diendusnya kue itu dengan hidung mungilnya. Sebentar kemudian, kue itu habis bahkan tanpa meninggalkan sedikitpun sisa.
Begitulah, pemandangan yang hampir setiap hari aku lihat di asrama pelajar ini. Ketika teman-teman seusia Lulu memanfaatkan waktu istirahatnya untuk tidur-tiduran dan bercerita, Lulu kecil malah asyik bermain dengan kucingnya, Lora. Kucing itu terlihat cantik dan gemuk, bulu-bulunya putih bersih berpadu dengan warna coklat kehitam-hitaman. Ekornya yang panjang nampak lucu ketika bergerak-gerak.
Menjadi  ‘bunda’ bagi anak-anak di asrama pelajar memang terkadang sangat memusingkan kepala. Kondisi psikologi yang masih labil seringkali  memicu timbulnya masalah sepele yang kemudian berkembang jadi gede. Anak-anak yang suka bolos lah, suka telat ngaji lah, dan macam-macam saja kelakuan mereka membuat warna pesantren ini makin bervariasi. Setumpuk pe-er berisikan masalah-masalah dari mereka memenuhi daftar bebanku setiap hari. Apalagi, bu Nyai telah memberi seluruh kepercayaannya pada kami.
“Lulu...kalau habis main kucing, cuci tangan dong” tegurku suatu hari. Aku memang takut sama kucing, bukan karena jijik sih, tapi karena menurut buku-buku dan para ahli kesehatan, kucing mengandung parasit yang sangat berbahaya. Dan aku harus memberi tahu anak-anak  supaya mereka bisa jaga kesehatan dengan baik.
“Lu, jangan makan bareng kucing” kehawatiranku semakin menjadi-jadi. Namun Lulu tetap diam tak bergeming. Tangan mungilnya mengelus-elus kucing itu dan sesekali ia gunakan untuk mengambil kue di dalam kantong.  Merasa diacuhkan, akhirnya tempat yang jarang dijamah orang ini kutinggalkan dengan sedikit kesal. Aku bermaksud baik pada Lulu, tapi apa dia kurang percaya terhadap masalah keilmuanku. Aku bukan dokter sih, tapi aku adalah sarjana lulusan biologi dengan predikat cumlaude, sayang saja dia tak mengerti apa-apa.
◦◦◦◦◦◦
Seperti hari-hari biasanya aku berjalan mengelilingi komplek untuk mengontrol kebersihan. Hmm, Sampah tetap menjadi masalah yang paling fenomenal di asrama ini. Bukan karena aku tak peduli sehingga sampah-sampah itu menumpuk menjejali pojok ruangan, tapi anak-anak itu ternyata susah sekali diatur. Terkadang aku merasa harus maklum, namun sering-seringnya aku merasa mereka sudah sangat keterlaluan. Ketika jajan, bungkus-bungkus plastik itu dibuang sembarangan.
“Lingkungan yang sehat adalah cerminan kebersihan para penghuninya” begitu hampir setiap hari aku dan bunda-bunda yang lain mencoba memperingati mereka.
“Iya, Bu” jawab mereka santun. Tapi masalah, karena kesantunan mereka hanya terekam di mulut saja, sehingga rangsang yang diterima tidak diteruskan oleh saraf sensori menuju otak. Kalau demikian, bagaimana saraf psikomotorik dapat bekerja untuk memberi respon? Begitu yang kufikirkan setiap saat. Padahal posisiku sebagai sarjana harus merangkap sekaligus sebagai figur bunda bagi mereka.
“Meong...meong” tiba-tiba ada suara gaduh dari arah tangga gudang. Kubiarkan kedua telingaku menyimak dengan baik sumber suara yang kedengaran samar-samar itu.
‘Meong...meong” kali ini suaranya terdengar lebih jelas, bahkan seperti lebih dari satu suara karena ada suara-suara kecil ikut meramaikan suasana.
Jangan-jangan......
“Lora.....!!!” teriakku sambil berlari menuju tangga.
Dan.... Benar saja seperti yang tadi sempat kuduga, Lora telah melahirkan empat kucing kecil di sana.
“Ya allah” aku hanya bisa mendesis lirih. Tak tahu apa yang harus aku lakukan melihat Lora dan anak-anaknya masih terbalut darah.
“Mbak Ani......!!!” teriakku untuk kedua kali. Kali ini rekanku sesama bunda langsung berlari mendekatiku. Dan kami sama-sama tercengang.
 ◦◦◦◦◦◦
Lahirnya empat kucing lucu di asrama ini cukup membuat para santri senang, terutama Lulu. Mereka bergiliran mengunjungi Lora selepas sekolah maupun mengaji. Ada yang membawakan ikan, tulang, susu, gorengan, bahkan ada yang menghadiahinya bola kecil untuk anak-anak Lora bermain nanti. Ah, ada-ada saja. Apa motivasi mereka berbuat semacam itu? Lora hanya kucing, bukan manusia yang baru saja melahirkan bayi.
“Adik-adik, ayo ngaji lagi” ajakku ketika mereka lupa waktu karena asyik dengan kucing-kucing lucu nan menggemaskan itu.
Sebenarnya aku khawatir mereka terkena penyakit akibat kontak langsung dengan bulu kucing, tapi mereka malah punya alasan jitu mengapa harus akrab bersama para kucing. Hmmm rupanya pengaruh Lulu cukup besar terhadap teman-temannya. Tapi Lulu sekarang dengan Lulu yang kemarin masih tetap sama, sama-sama pendiamnya. Barangkali memang takarannya seperti itu. Ohya, mereka cukup terkesan dengan kisah rasulullah yang rela memotong sajadahnya gara-gara ditiduri oleh kucing ketika beliau hendak shalat, atau hadis yang menceritakan bahwasanya orang-orang yang berlaku dzalim terhadap kucing akan masuk ke dalam neraka. Jelas-jelas aku mati kutu mendengar argumen polos dari mereka. Apakah aku akan menjelaskan jawaban-jawabanku dengan gaya presentasi a la mahasiswa? Tak mungkin, mereka hanya anak-anak.
Lagi-lagi pe-er bagi kami, para bunda.
Dan  kucing-kucing itu ternyata tidak sampai berhenti di situ saja ulahnya. Gara-gara menyusui empat anak, induk kucing Lora harus berjalan menyusuri komplek mencari sisa-sisa makanan di tong sampah, atau di tumpukan sampah yang menggunung di pojok ruangan berlantai keramik merah. Sasarannya tentu tulang-tulang dan gorengan. Akibatnya, sampah-sampah itu semakin tak karuan dan berceceran. Aku terlampau pusing dibuatnya. Padahal piket tetap berjalan. Setiap hari sampah dibuang ke pembuangan oleh tiap-tiap kamar secara bergiliran.
Apakah Lora dan anak-anakmya harus diungsikan? Kami para bunda mencoba membuat alternatif dalam sebuah rapat.
“Tapi anak-anak kucing itu masih terlalu kecil. Ikan saja belum doyan” jawab mbak Lisa yang ternyata memang pemerhati kucing.
“kita lihat dulu besok” mbak ani menimpali.
Keesokan harinya asrama dibuat gempar oleh tahi kucing di sekitar mushalla.
“Bunda, mukena saya kena tahi kucing, hiks” Maria menangis sesenggukan. Diperlihatkannya mukena kecil yang kotor akibat tahi kucing kecil nan bau itu.
“Di sini juga ada, Bu” Aisyah menunjuk sajadah di shaf bagian depan mushalla.
Bau tahi kucing terasa menyebar ke seluruh ruangan, tak terkecuali kamar mandi yang tak jauh d sampingnya. Kami para bunda hanya beristighfar, sekaligus jijik dengan pemandangan yang ada.
“Tenang saja” jawabku akhirnya, sedikit menenangkan rengekan anak-anak.
“Besok ibu kirim ke laundry” tambahku. Mereka pun terdiam. Masing-masing meninggalkan mushalla menuju sekolah.
Ah ada-ada saja. Dasar kucing. Kejadian ini menambah tinggi saja tumpukkan pe-er di otakku. Berat, serasa mau merobohkan dinding asrama yang kian reot dimakan usia.
Kami para bunda sepakat mengepel lantai mushalla dan  mencuci karpet beserta beberapa mukena yang terkena kotoran kucing, dengan harapan Lora sekeluarga tidak melakukan kesalahannya buang hajat sembarangan. Semua ini gara-gara Lulu.
Hari-hari berikutnya, seluruh pojok ruangan asrama dihantui bau yang sangat menyengat. Anak-anak nampak menutup hidung tiap kali berada di dalam asrama, tak terkecuali para bunda. Ketika di mushalla, di tempat mengaji, bau itu terus membuntuti. Seperti malam ini, saat adzan isya dari masjid sebelah  telah berkumandang.
“Apa lagi ini?” Mbak Lisa mencoba menanyai sekelompok anak yang berkerumun di dekat tangga menuju mushalla. Aku menyusul dibelakangnya. Sudah kuduga.
“Tahi kucing lagi” mereka serempak menjawab. Lulu yang duduk di dekat kucing-kucing kecil itu hanya diam seolah tak peduli dengan semua yang terjadi. Tangannya telaten mengelus-elus binatang yang semakin keenakan itu. Matanya terpejam seolah tak ingin terbuka lagi. Kadang-kadang mereka menggaruk-garuk kepalanya yang gatal dengan kakinya. Bulu-bulu halus pun kemudian beterbangan. Lalu si induk kucing Lora menjilat-jilat mereka dengan penuh kasih sayang. Potret keluarga bahagia memang, tapi aku kesal. Sudah berapa kali aku dan para bunda mengepel lantai-lantai yang dikotori oleh tahi-tahi kucing itu? Berapa kali kuperingati Lulu untuk segera menjauh dari kucing-kucing itu? Tapi..tapi semua seolah menjadi angin lalu. Dan kini batas kesabaranku tlah memuncak.
“Buang kucing itu!!!” teriakku seolah kesetanan. Anak-anak nampak terkejut melihat ekspresi marahku yang lain dari biasanya.
“Buang!!” ulangku sekali lagi. Tanpa pikir panjang, ku ambil satu persatu anak kucing yang masih kecil-kecil itu ke dalam kardus bekas. Mbak Lisa pun ikut membantu meski setengah takut.
“Ini sumber penyakit” bentakku pada Lulu yang mulai terlihat berkaca-kaca. Tangannya mencoba merebut kardus yang kuangkat tinggi-tinggi, namun tidak bisa.
Akhirnya buliran penuh warna dari mata lentik Lulu pun berjatuhan tanpa kendali. Disekanya berkali-kali meski air mata tak jua kunjung berhenti. Ada rasa bersalah memang, tapi aku mencoba untuk tidak peduli.
“Jangan....Jangan.....” Lulu berteriak histeris akhirnya. Anak-anak hanya diam dalam kebingungan. Sementara iqamat isya mulai terdengar. Mereka berlari untuk berjamaah, kecuali Lulu.
◦◦◦◦◦◦
Satu pe-er yang menumpuk di kepala kami telah selesai dikerjakan. Alhamdulillah, para bunda merasa sedikit tenang. Tidak ada bau tahi kucing yang menyengat, atau sampah-sampah yang tercecer akibat disatroni si induk kucing. Mungkin mereka telah bahagia hidup di pasar yang jauhnya sekitar dua kilometer dari arah barat asrama, berdekatan dengan rumah sakit kota.
Namun ternyata, aku salah duga. Membuang keluarga kucing itu ke pasar rupanya menimbulkan masalah. Beberapa hari terakhir Lulu tidak nampak di lingkungan asrama. Tidak berada di dalam kamar, tidak juga berada di anak tangga menuju gudang. Ia terpaksa menjalani rawat inap di rumah sakit kota. Ia mengalami sakit yang cukup serius di tubuhnya. Barangkali anak-anak menganggap bahwa aku adalah penyebab utama dari semua, karena aku yang membuang Lora jauh-jauh. Tapi apa mereka tahu, kalau penyakit lulu sebenarnya disebabkan oleh kucing-kucing yang selama ini dia sayangi itu? Lulu terkena Taxoplasma.  Jadi, parasit berbahaya itu menyebar melalui bulu-bulu kucing yang mungkin terkena kotorannya sendiri. Aku tahu pasti, Lulu memang tak pernah mau cuci tangan setelah mengelus-elus Lora. Bukan aku tak mau meperhatikannya jika tahu.
“Bunda keterlaluan sama Lulu” bisik anak-anak selepas berjamaah di mushalla.
“Iya, tahu-tahu Lulu suka kucing, eh malah dibuang.” Teman-teman lainnya menimpali. Semakin memojokkanku memang, tapi mau bagaimana lagi, mereka tak tahu banyak apa yang telah aku ketahui tentang biologi.
Sementara di Rumah sakit kota, Lulu yang sejak kemrin lemas hanya bisa terbaring tak berdaya. Sesekali Lulu terbatuk pelan. Nafasnya terdengar berisik, tidak sewajarnya.
“...hrrrr...hrrrr...hrrrr....” suara itu terdengar samar dan begitu familiar.
◦◦◦◦◦◦
“Lora.....Lora.....” bibir mungil Lulu mulai terbuka, memanggil nama Lora.
Ibu Lulu hanya menggeleng pelan. “Jangan sebut nama itu lagi, Nak” jawabnya sambil mengelus rambut panjang Lulu. Beliau tahu benar, beliau telah mengorek keterngan dariku secara langsung perihal sakit yang dialami Lulu.
‘Di mana Lora?”
Ibu Lulu tertegun.
Baru saja beliau mengusir pergi seekor kucing yang mencoba mendekati Lora di ranjangnya. Kucing yang berwarna putih bersih dengan warna coklat kehitam-hitaman di kepalanya.
Lulu dan Lora memang tak pernah tahu bahwa mereka berdua memang berbeda.
“Lora....” panggilnya lagi
D balik jendela hijau kamar tempat ia berbaring, Lora nampak mengintip dengan hati-hati.
◦◦◦◦◦◦
Yogjakarta, 15 April 2013
Komentar ditunggu

0 comments:

Post a Comment

 

lautan inspirasi Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang