BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Masalah
Pada zaman kemajuan sekarang ini, para wanita ikut serta mengambil
bagian hampir pada semua lapangan kegiatan atau pekerjaan. Di Indonesia (terutama),
ada wanita yang menjadi menteri, pimpinan perusahaan, polisi, anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat, pegawai Negeri dan menjadi buruh serta pembantu rumah tangga.
Para wanita telah ikut secara aktif, membangun rumah tangga
masyarakat dan negara. Malahan ada yang kita lihat agak berlebihan, karena
wanita lebih banyak memegang peranan dalam membayai rumah tangga. Pada sebagian
daerah ada wanita yang mencari nafkah, meninggalkan kampung halaman, sedangkan
suaminya tinggal mengurus anak-anak, dan sawah ladang andaikan punya.
Demikianlah,
hampir semua lapangan pekerjaan dimasuki juga oleh para wanita.
Timbul suatu pertanyaan, apakah semua kegiatan atau pekerjaan itu
dikerjakan dengan ikhlas, dan karena ada dorongan dari dalam diri mereka
sebagai bukti terhadap keluarga, masyarakat dan negara? Bisa saja karena sebab
lain, karena keadaan yang memaksa. Biaya
hidup dalam rumah tangga tidak dapat tertanggulangi, karena pendapatan suami
tidak memadai. Boleh jadi juga, karena di telinga mereka terngiang-ngiang suara
persamaan hak antara pria dan wanita.[1]
Dalam makalah berikut ini akan dibahas mengenai hak-hak yang berhubungan dengan kegiatan/pekerjaan para
wanita, di antaranya: kedudukan wanita dalam pandangan islam, wanita sebagai
ibu rumah tangga, wanita karier dan kepemimpinan wanita dalam masyarakat dan
negara.
b.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana kedudukan wanita di dalam
Islam?
2.
Bagaimana hukum kepemimpinan wanita
dan wanita karier?
c.
Klarifikasi
Istilah
1.
Wanita Karier:
Menurut Kamus Besar Bahassa Indonesia, kata “wanita” berarti
perempuan dewasa. Ini berarti perempuan yang masih kecilatau kanak-kanak tidak
termasuk dalam istilah “wanita”. Sedangkan kata “karier” terdapat dua
pengertian, pertama yaitu perkembangan dan kemajuan
dalam kehidupan, pekerjaan, dan sebagainya. Kedua, karier berarti pekerjaan yg
memberikan harapan untuk maju.[2]
Ketika
kedua kata wanita dan karir tersebut disatukan, maka artinya yaitu wanita yang
berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran, dan sebagainya) tertentu.[3]
2.
Kepemimpinan:
Perihal
pemimpin; cara memimpin.[4]
Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung
melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu
(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).[5]
Pemimpin
adalah inti dari manajemen. Ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada
pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang
pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan
mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan
alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat
rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan
untuk mencapai tujuan bersama-sama (Panji Anogara, Page 23).[6]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan
Wanita
Dalam al-Qur’an Allah menjelaskan mengenai kedudukan wanita, di
antaranya Allah berfirman:
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (at-Taubah: 71)
Dari ayat di atas
dapat dipahami, bahwa pria dan wanita saling tolong-menolong, teruatama dalam
satu rumah tangga dan mempunyai tugas dan kewajiban yang sama dalam menjalankan
amar ma’ruf nahi munkar. Namun ada di antara perintah Allah yang ditujukan
kepada masing-masing individu, seperti melakukan shalat. Dalam melakukan
hubungan vertikal, masing-masing pria dan wanita mempunyai kewajiban
tersendiri.[7]
Allah swt berfirman:
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia
orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak
dianiaya walau sedikitpun.” (an-Nisa:124)
Ayat tersebut
memberi petunjuk bahwa karya wanita, dalam bentuk apa pun dilakukannya adalah
menjadi miliknya dan bertanggungjawab pula atas (karyanya)itu, termasuk masalah
ibadat, tidak tergantung kepada pihak pria, bergantung kepada amalnya, baik
maupun buruk.
Sebelum agama
islam datang, kedudukan wanita sangatlah rendah. Mereka dianggap tidak berhak
mendapatkan harta warisan, malah mereka dianggap sebagai harta, boleh dimiliki
dan diperlakukan sesuka hati. Harta hanya monopoli kaum pria saja, apalagi
turut mengatur penggunaan harta tersebut.
Setelah islam datang, wanita mendapatkan angin segar. Mereka
diperlakukan sebagaimana layaknya manusia pada umumnya, tidak ada pilih kasih
antara pria dan wanita. Agama islam memandang wanita sebagai teman (pendamping)
bagi para pria, bukan budak yang diperlakukan sama dengan harta benda dan
sebagai pemuas hawa nafsu.
Sebelum menyoroti kepemimpinan wanita, ada baiknya diketahui lebih
dahulu beberapa perbedaan antara wanita dan pria. Dalam ilmu biologi,
dijelaskan bahwa wanita berbeda dengan pria dalam bentuk, sifat, dan susunan
tubuh. Bentuk dan seluruh tubuhnya sejak dalam rahim telah tersusun sedemikian
rupa, yang dipersiapkan untuk melahirkan dan memelihara bayi yang lahir itu.
Berdasarkan para pakar biologi dan anatomi menunjukkan bahwa wanita di waktu
datang bulan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut[8]:
§
Panasnya menurun
§
Kelambatannya pada denyut nadi,
berkurang tekanan darah dan jumlah sel-selnya sedikit
§
Kelenjar gondok dan kelenjar limpa
serta keddua amandel mengalami perubahan
§
Pengeluaran garam fosfat dan chlorid
dari tubuh menjadi berkurang
§
Pencernaan terganggu
§
Kekuatan pernapasan melemah dan
lat-alat pengucapan mengalami perubahan khusus
§
Perasaan menjadi tumpul dan timbul
perasaan malas
§
Kecerdasan dan daya konsentrasi
berkurang
Pada tahun 1909
dr. Frasta Shafki mengadakan penelitian dengan cermat dan berkesimpulan bahwa
kekuatan berrpikir dan daya konsentrasi wanita berkurang pada saat datang
bulan. Kemudian setelah Prof. Kersby Shikavski mengadakan percobaan
psikologinya, beliau menyimpulkan syarafnya pada saat datang bulan dan
perasaannya pun menjadi tumpul. Perasaannya tertekan ketika melakukan pekerjaan
yang biasa dilakukan sebelumnya. Misalnya dia seorang sekretaris, dia akan
keliru ketika mengetik dan lamban dalam mengerjakannya. Ia sering salah
menyusun kalimat. Bila ia seorang pengacara, pemaparan argumentasinya sering
kurang rasional. Bila ia menjadi seorang hakim, akan terpengaruh pula dalam
mengambil suatu keputusan. Jadi, pada saat datang bulan organ syaraf dan
pikiran wanita mengendor dan tidak teratur. Tabiatnya pun mendadak berubah.
Lebih tampak
lagi perubahan pada wanita saat hamil. Karena pada saat itu kumpulan syaraf
terganggu selama beberapa bulan dan keseimbangan pikiran juga goyah. Dr. Fisher
menjelaskan bahwa sekalipun wanita itu sehat, ia tetap mengalami tekanan dalam
berbagai hal di masa kehamilan. Kondisinya sering terganggu. Ia sering bingung
dan kemampuan berpikirnya pun berkurang. Sesudah melahirkan, timbul lagi
masalah baru yaitu sistem kerja tubuhnya terganggu dan perlu waktu untuk
menormalkan kondisinya itu, di samping sibuk merawat anak dan menyusukannya. [9]
Dengan demikian
apabila wanita mendapat atau mengemban tugas pada saat dia datang bulan, hamil,
dan menyusui, tentu tugas yang diembannya itu tidak dapat berjalan sebagaimana
yang dikehendaki. Namun, apa yang digambarkan ini adalah bersifat umum sebab
dalam beberapa hal ada saja pengecualian yang terjadi, seperti wanita yang
bersifat seperti pria dan sebaliknya pria bersifat seperti wanita.
B.
Kepemimpina Wanita
a.
Kepemimpinan wanita dalam Al-Qur’an
Yang menjadi
titik tolak dalam masalah ini adalah Firman Allah SWT surat an-Nisa ayat 34:
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.“
Menurut al-Qurthubi sebagaimana dikutip oleh Abdul Madjid, kata Qawwamuuna
‘ala al-Nisa (pemimpin atas kaum wanita) adalah bahwa kepemimpinan pria
atas wanita dalam pengertian tersebut ialah suami mengatur, mendidik,
memaksanya di rumah, mencegahnya untuk keluar dari rumah dan istri harus
menerima dan mentaati perintahnya selama bukan dalam kemaksiatan. Alasan yang
mendasari hal tersebut adalah keutamaan, nafkah, kesempurnaan akal dan kekuatan
dalam urusan jihad, warisan dan Iamar ma’ruf nahyil munkar. Hal itu
diperkuat oleh al-Zamakhsyari, bahwa para suami mempunyai wewenang untuk
menyuruh dan melarang para istri sebagaimana pemerintah terhadap rakyatnya,
oleh sebab itulah mereka disebut qawwam.[10]
Mengenai kelebihan
yang telah diberikan Allah (faddhdhala), ayat ini menyatakan antara
kedudukan pria dan wanita adalah berdasarkan apa yang telah Allah berikan.
Berkaitan dengan kelebihan material seperti pembagian warisan dalam surat
an-Nisa ayat 34 bukanlah sesuatu yang absolut. Hubungan ini lebih disukai
karena persyaratan lain untuk qiwamah adalah jika mereka membelanjakan harta
mereka (untuk mendukung kaum wanita). Jadi, terdapat hukum timbal balik antara
hak istimewa yang diterima dengan tanggungjawab yang dipikul. Pria yang bisa
menjadi pemimpin bagi kaum wanita adalah pria yang sanggup membuktikan
kelebihannya dalam tanggungjawab menggunakan kekayaan untuk mendukung kaum
wanita.
Selanjutnya timbul beberapa pertanyaan; apakah kepemimpinan itu
terbatas hanya dalam keluarga sehingga pria dalam keluarga menjadi pemimpin
atas wanita? Apakah hal ini jauh lebih sempit lagi pada ikatan material saja
sehingga kepemimpinan terbatas pada suami atas istrinya? Menurut berbagai
komentar terhadap berbagai komentar terhadap ayat di atas, maka jelaslah kepemimpinan
pria atas wanita terbatas pada keluarga, jadi lebih bersifat domestik, bukan
publik.
Berdasarkan ayat
ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan seorang wanita menjadi pemimpin
publik, kepemimpinan publik tidak hanya didominasi kaum lelaki saja. Namun
demikian kebanyakan cendekiawan memberikan peringatan terhadap dampak
negatifnya kepemimpinan wanita, bahkan wanita berkarir pun bagi kehidupan
keluarga. Keluarga jadi berantakan karena seorang ibu tidak lagi memerankan
fungsinya.[11]
b.
Kepemimpinan Wanita Menurut Para Ulama
Ahli Fiqih
Untuk jabatan sebagai kepala Negara, sudah dapat diduga bagaimana
pendapat para ahli Fiqih Islam mengenai posisi perempuan untuk jabatan kepala
Negara atau perdana menteri. Sampai hari ini belum diketahui ada pendapat para
ahli Fiqih terkemuka yang membenarkan perempuan menjabat sebagai kepala Negara.
Syah Waliyullah al-Dahlawi menyatakan bahwa syarat-syarat seorang khalifah
adalah berakal, baligh, merdeka, laki-laki, pemberani, cerdas, mendengar,
melihat, dan dapat berbicara. Semua ini telah disepakati oleh seluruh umat
manusia si mana pun dan kapan pun.
Sementara itu, Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa laki-laki sebagai
syarat seorang imam (kepala negara) adalah sudah merupakan kesepakatan (ijma’)
para ulama ahli Fiqih. Pada kesempatan lain ia juga mengatakan: “ Tidak sah
seorang perempuan al- imamah al- udhma (kepala negara) dan gubernur.
Nabi SAW, Khulafaur Rasyidin dan penguasa-penguasa sesudahnya juga tidak pernah
mengangkat perempuan menjadi hakim dan gubernur[12].
Sedang untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal
pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita massih menjadi perdebatan para
ulama. Perbedaan ini dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam
menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan,
persaksian ataukah fatwa.
Imam Ahmad,
Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi
pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga,
menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya
sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh
jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat
menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita
diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan
keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki
kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara
manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan)
maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang
telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah
al-kubra).[13]
Dengan
mempertimbangkan pemahaman normativitas para ulama klasik dan sebagian modern,
kenyataan historisitas munculnya sultanah-sulatanah Islam dalam sejarah,
kemudian kondisi fisik dan psikis kaum wanita di atas, maka seorang wanita bisa
menjadi pemimpin dalam berbagai sektornya. Dalam hal ia menjadi kepala Negara,
maka dibolehkan dalam konteks simbolik untuk mempersatukan elemen bangsa. Kepemimpinan
wanita dapat dibenarkan asalkan saja tidak melupakan tugas dan kewajibannya
sebagai seorang istri, karena tugas tersebut tidak dapat digantikan suami
maupun pembantu.
C.
Wanita Karir
Wanita karier adalah
wanita yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi oleh
keahlian tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup,
pekerjaan , atau jabatan. Adapun ciri-ciri wanita karir, yaitu [14]:
a.
Wanita yang aktif melakukan
kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu kemajuan.
b.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
merupakan kegiatan-kegiatan professional sesuai bidang yang ditekuninya, baik
bidang polittik, ekonomi, pemerintah, maupun bidang-bidang lainnya.
c.
Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh
wanita karir adalah bidang pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan dapat
mendatangkan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, atau jabatan dan lain-lain.
Mencari nafkah
bagi keluarga adalah tugas kaum pria, dan wanita secara islam tidak bertanggung
jawab atas pekerjaan ini. Namun wanita juga harus mempunyai pekerjaan, karena
dalam islam pengangguran dianggap tidak baik dan tercela.
Pekerjaan yang paling baik untuk wanita yang sudah menikah adalah
mengurus keluarga. Mengurus rumah tangga, merawat anak dan sebagainya adalah
pekerjaan-pekerjaan yang paling mulia yang dapat dilakukan wanita.
Rasulullah
saw. menegaskan : “Jihad seorang wanita adalah melayani suaminya (dan
merawatnya sebaik-baiknya)”
Ummu Salamah bertanya kepada
Rasulullah saw. : “Bagaimana ganjaran seorang wanita yang mengurus rumah?” Nabi
menjawab : “Setiap wanita yang berjalan untuk memperbaiki aturan rumahnya,
mengambil sesuatu dan memindahkannya ke tempat lain, akan mendapat rahmat dari
Allah, dan barang siapa yang mendapat berkah dari Allah, tidak akan disiksa
kerena murka Allah”. Ummu Salam bertanya lagi, “Ya, Rasulullah. Beritahukanlah,
apa lagi ganjaran bagi seorang wanita?” Rasulullah menjawab, “Bila seorang
wanita hamil, Allah akan memberinya ganjaran bagi seorang wanita seperti seorang
laki-laki pergi berjihad dengan semua harta dan kekayaannya. Lalu bila ia
melahirkan anak, ia akan mendengarkan sebuah panggilan ‘semua dosamu diampuni,
mulailah hidup yang baru.’ Setiap ia menyusukan banyinya itu dengan air
susunya, Allah akan memberinya ganjaran seperti orang yang memerdekakan seorang
hamba sahaya”.
Islam tetap membolehkan
kaum wanita terjun bekerja dalam kondisi terpaksa dan dalam batas syari’at
islam. Seorang muslimah harus mengerti bagaimana bergaul dengan pria dan juga
harus bisa membagi waktu untuk keperluan pendidikan anak- anaknya dan untuk
melayani suaminya dirumah[15].
Sebagai suri tauladan
untuk wanita pekerja kita ambil contoh dua putrid nabi Syu’aib as. Yang bekerja
meringankan beban ayahnya, mereka tidak pernah berbaur dengan penggembala pria
yang sedang berebut mengambil air dari sumbernya yang hanya satu itu. Setelah
semua penggembala selesai mengambil air barulah mereka menimba air tersebut dan
memberi minum ternak- ternaknya. Hal ini
dikisahkan didalam Al- Qur’an surat Al- Qashash:23
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ
النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا
خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ
كَبِيرٌ
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia
menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia
menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat
(ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?"
Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami),
sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami
adalah orang tua yang telah lanjut umurnya".
Perkataan kedua wanita
itu mempunyai indikasi penting bahwa factor utama yang menyebabkan mereka
bekerja adalah ayahnya yang sudh lanjut usia. Matanya sudah tidak bisa melihat
lagi, usianya yang menua dan mata yang buta menyebabkan Syu’aib as. harus beristirahat total . Di satu sisi dia tidak
menemukan orang yang dapat dipercaya untuk menjaga hartanya. Karena itulah
dengan sangat terpaksa kedua putrinya harus bekerja untuk membantu kedua orang
tuanya.
Seorang ibu yang menyibukkan diri dengan pendidikan anaknya
dirumah sangat memberikan arti yang mulia dan agung didepan mata social karena
dengan melakukan hal itulah justru seorang wanita dapat mempersiapkan generasi
umat yang shalih shalihah. Sebaiknya pula wanita berdiam diri didalam rumah dan
mencari aktifitas yang sesuai dengan fitrahnya. Mereka yang dapat membaca buku,
mengadakan penelitian tentang sesuatu yang bermanfaat atau menambah pengetahuan
serta keterampilan. Mereka dapat menekuni kegiatan-kegiatan menggambar,
melukis, menjahit, merenda, dan sebagainya. Dari hasil kegiatan semua itu, ia
membantu keluarganya di bidang ekonomi dan juga dapat menyumbangkan tenaganya
bagi masyarakat dengan menghasilkan sesuatu yang ditemukan[16].
Beberapa wanita bekerja dirumah dan
yang lain lebih suka bekerja diluar rumah. Pilihan itu mungkin berdasarkan
sebab-sebab ekonomis atau sebab yang lain. Dalam hal ini, pekerjaan yang paling
baik adalah menjadi perawat. Rumah sakit adalah tempat yang baik bagi wanita
untuk bekerja sebagai perawat maupun dokter. Pekerjaan ini sangat cocok dengan
sifat-sifat kewanitaan, dan juga ditempat-tempat itu wanita jarang harus
berkumpul dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.
Berikut
ini adalah saran-saran bagi wanita yang ingin bekerja diluar rumah, antara lain[17] :
1.
Rundingkanlah dengan suami Anda
sebelum Anda memulai suatu pekerjaan. Adalah hak suami Anda untuk menerima dan
menolak keinginan Anda untuk bekerja.
Para pria pun disarankan untuk tidak berkeras dengan membenarkan
istrinya bekerja di luar rumah kecuali jika pekerjaan itu dianggap tidak sesuai
baginya.
2.
Kaum wanita harus memperhatikan
hijab islam (kerudung) bila tidak berada dirumah. Mereka juga harus menghindari
terlalu banyak bergaul dengan para pria yang bukan muhrimnya.
3.
Kaum wanita harus berhati-hati,
walapun mereka bekerja diluar rumah, mereka tetap diharapkan oleh suami dan
anak-anak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti mengurus rumah, memasak,
mencuci, dan lain sebagainya.
4.
Bila seorang wanita merasa bahwa
dengan tambahan pekerjaan dan tanggung jawab diatas, ia harus mengerjakan
pekerjaan yang lain lagi, maka ia harus sependapat dengan suaminya dan bekerja
dengan seizinnya dan atas nasihatnya pula. Bila suami tidak sependapat, maka ia
harus melupakan pekerjaannya itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan wanita, Setelah islam
datang, wanita mendapatkan angin segar. Mereka diperlakukan sebagaimana
layaknya manusia pada umumnya, tidak ada pilih kasih antara pria dan wanita.
Agama islam memandang wanita sebagai teman (pendamping) bagi para pria, bukan
budak yang diperlakukan sama dengan harta benda dan sebagai pemuas hawa nafsu.
Dengan
mempertimbangkan pemahaman normativitas para ulama klasik dan sebagian modern,
kenyataan historisitas munculnya pemimpin-pemimpin wanita Islam dalam sejarah,
kemudian kondisi fisik dan psikis kaum wanita di atas, maka seorang wanita bisa
menjadi pemimpin dalam berbagai sektornya. Dalam hal ia menjadi kepala Negara,
maka dibolehkan dalam konteks simbolik untuk mempersatukan elemen bangsa.
Kepemimpinan wanita dapat dibenarkan asalkan saja tidak melupakan tugas dan
kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, karena tugas tersebut tidak dapat
digantikan suami maupun pembantu.
. Wanita karier
adalah wanita yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi oleh
keahlian tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup,
pekerjaan , atau jabatan.
Wanita karir dalam pandangan Islam diperbolehkan asalkan tetap
menjalankan kodratnya sebagai wanita dan tidak melupakan tugasnya.
A.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Ali. 1997. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Amini, Ibrahim.
1996. Bimbingan Islam untuk Kehidupan Suami-Istri. Bandung: al-Bayan.
Diterjemahkan oleh Alawiyah Abdurrhman
Yanggo, Chuzaimah T dan Hafiz Anshary. 2002. Problematika Huku Islam
Kontemporer. Jakarta: PT
Pustaka Firdaus
Hamidah, Tutik. 2011. Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender.
Malang: UIN
Maliki Press
Yasin, Maisar Binti. 2003. Wanita Karir dalam Perbincangan.
Jakarta: Gema Insani Press
Sudrajat, Ajat. 2008. Fiqih Aktual. Ponorogo: STAIN Ponorogo
Press
[1] [1]M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Haditsah,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997) halaman 185
[3] Chuzaimah T
Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2002), halaman 21
[4] Ibid
[5] http://saripedia.wordpress.com/tag/kepemimpinan-adalah/ diakses pada
hari Senen, tanggal 10 Juni 2013 jam 10:20
[6] Ibid
[7] M. Ali Hasan, Masail
Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), halaman
186
[8] Ibid, 195
[9] Ibid, 196
[10] Ajat Sudrajat,
Fikih Aktual, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), halaman 115-117
[11]Ibid, 117
[12] Tutik Hamidah,
Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, (Malang: UIN Maliki Press,
2011) halaman 174
[13]Kepemimpinan
Wanita Menurut Pandangan Islam, http://sandal.heck.in/kepemimpinan-wanita-menurut-pandangan-is.xhtml, diakses hari
Rabu, 15-02-2013 jam 15:52
[14] Chuzaimah, Problematika
Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002) halaman 21-22
[15] Maisar yasin, Wanita
Karier dalam Perbincangan (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) halaman 30
[16] Ibrahim Amini, Bimbingan Islam untuk
Kehidupan Suami-istri, (Bandung: Al-Bayan, 1996) halaman 113
[17] Ibid, 114-115
0 comments:
Post a Comment