Sebenarnya kedatangan seekor kucing yang kemudian ia beri nama Lora
itu benar-benar telah membuat hidupnya lebih berwarna. Dulu, ia terbiasa duduk-duduk
sendirian di ujung tangga menuju gudang sambil bernyanyi-nyanyi kecil atau
hafalan surat-surat pendek yang diwajibkan oleh bu ustadzah tanpa teman seorang
pun. Ia tak kenal takut meski kebanyakan teman-temannya telah memberi dia
peringatan bahwa tempat itu angker, sering ada hantunya. Tapi karena ia belum
pernah melihat sesuatu yang aneh, ia tetap nyaman duduk seorang diri di tempat
itu, bahkan tengah malam sekalipun.
Lulu, begitu teman-teman baru di asrama mengenalnya. Ia seorang
gadis kecil yang sangat pendiam. Ayah dan Ibu Lulu sengaja mengirimnya ke
pesantren supaya ia mau bersosialisasi dan akrab dengan orang lain, tidak
seperti ketika di rumah dulu. Namun sudah sebulan di pesantren, ia masih tetap
sama dan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda perubahan pada dirinya. Awalnya
lulu tidak betah di pesantren itu karena tempatnya sempit dan kotor. Bayangkan,
tiap kamar yang berukuran 4x4 meter itu dihuni sekitar sepuluh anak, bahkan
lebih. Belum lagi produksi sampah dari anak-anak usia SD itu kian menumpuk
meski setiap hari dipiketi.
“Lora....” Lulu yang baru saja pulang dari sekolah langsung berlari
menuju tangga. Kucing betina yang tengah hamil itu kini tinggal di tempat di
mana ia terbiasa bercengkerama. Awalnya Lora hanya bermain-main di sekitar
pesantren, tapi karena Lulu suka, ia menjadikannya sebagai teman bercerita, dan
membawanya ke sana. Kini Lulu mengeluarkan sepotong kue dari kantong bajunya.
Lora mengeong ringan, menyambut Lulu dengan sukacita. Diendusnya kue itu dengan
hidung mungilnya. Sebentar kemudian, kue itu habis bahkan tanpa meninggalkan
sedikitpun sisa.
Begitulah, pemandangan yang hampir setiap hari aku lihat di asrama
pelajar ini. Ketika teman-teman seusia Lulu memanfaatkan waktu istirahatnya
untuk tidur-tiduran dan bercerita, Lulu kecil malah asyik bermain dengan
kucingnya, Lora. Kucing itu terlihat cantik dan gemuk, bulu-bulunya putih
bersih berpadu dengan warna coklat kehitam-hitaman. Ekornya yang panjang nampak
lucu ketika bergerak-gerak.
Menjadi ‘bunda’ bagi
anak-anak di asrama pelajar memang terkadang sangat memusingkan kepala. Kondisi
psikologi yang masih labil seringkali
memicu timbulnya masalah sepele yang kemudian berkembang jadi gede. Anak-anak
yang suka bolos lah, suka telat ngaji lah, dan macam-macam saja
kelakuan mereka membuat warna pesantren ini makin bervariasi. Setumpuk pe-er
berisikan masalah-masalah dari mereka memenuhi daftar bebanku setiap hari. Apalagi,
bu Nyai telah memberi seluruh kepercayaannya pada kami.
“Lulu...kalau habis main kucing, cuci tangan dong” tegurku suatu
hari. Aku memang takut sama kucing, bukan karena jijik sih, tapi karena
menurut buku-buku dan para ahli kesehatan, kucing mengandung parasit yang
sangat berbahaya. Dan aku harus memberi tahu anak-anak supaya mereka bisa jaga kesehatan dengan baik.
“Lu, jangan makan bareng kucing” kehawatiranku semakin
menjadi-jadi. Namun Lulu tetap diam tak bergeming. Tangan mungilnya
mengelus-elus kucing itu dan sesekali ia gunakan untuk mengambil kue di dalam
kantong. Merasa diacuhkan, akhirnya
tempat yang jarang dijamah orang ini kutinggalkan dengan sedikit kesal. Aku
bermaksud baik pada Lulu, tapi apa dia kurang percaya terhadap masalah
keilmuanku. Aku bukan dokter sih, tapi aku adalah sarjana lulusan
biologi dengan predikat cumlaude, sayang saja dia tak mengerti apa-apa.
◦◦◦◦◦◦
Seperti hari-hari biasanya aku berjalan mengelilingi komplek untuk
mengontrol kebersihan. Hmm, Sampah tetap menjadi masalah yang paling fenomenal
di asrama ini. Bukan karena aku tak peduli sehingga sampah-sampah itu menumpuk
menjejali pojok ruangan, tapi anak-anak itu ternyata susah sekali diatur.
Terkadang aku merasa harus maklum, namun sering-seringnya aku merasa mereka
sudah sangat keterlaluan. Ketika jajan, bungkus-bungkus plastik itu dibuang
sembarangan.
“Lingkungan yang sehat adalah cerminan kebersihan para penghuninya”
begitu hampir setiap hari aku dan bunda-bunda yang lain mencoba memperingati
mereka.
“Iya, Bu” jawab mereka santun. Tapi masalah, karena kesantunan
mereka hanya terekam di mulut saja, sehingga rangsang yang diterima tidak
diteruskan oleh saraf sensori menuju otak. Kalau demikian, bagaimana saraf
psikomotorik dapat bekerja untuk memberi respon? Begitu yang kufikirkan setiap
saat. Padahal posisiku sebagai sarjana harus merangkap sekaligus sebagai figur
bunda bagi mereka.
“Meong...meong” tiba-tiba ada suara gaduh dari arah tangga gudang.
Kubiarkan kedua telingaku menyimak dengan baik sumber suara yang kedengaran
samar-samar itu.
‘Meong...meong” kali ini suaranya terdengar lebih jelas, bahkan
seperti lebih dari satu suara karena ada suara-suara kecil ikut meramaikan
suasana.
Jangan-jangan......
“Lora.....!!!” teriakku sambil berlari menuju tangga.
Dan.... Benar saja seperti yang tadi sempat kuduga, Lora telah
melahirkan empat kucing kecil di sana.
“Ya allah” aku hanya bisa mendesis lirih. Tak tahu apa yang harus
aku lakukan melihat Lora dan anak-anaknya masih terbalut darah.
“Mbak Ani......!!!” teriakku untuk kedua kali. Kali ini rekanku
sesama bunda langsung berlari mendekatiku. Dan kami sama-sama tercengang.
◦◦◦◦◦◦
Lahirnya empat kucing lucu di asrama ini cukup membuat para santri
senang, terutama Lulu. Mereka bergiliran mengunjungi Lora selepas sekolah
maupun mengaji. Ada yang membawakan ikan, tulang, susu, gorengan, bahkan ada
yang menghadiahinya bola kecil untuk anak-anak Lora bermain nanti. Ah, ada-ada
saja. Apa motivasi mereka berbuat semacam itu? Lora hanya kucing, bukan manusia
yang baru saja melahirkan bayi.
“Adik-adik, ayo ngaji lagi” ajakku ketika mereka lupa waktu karena
asyik dengan kucing-kucing lucu nan menggemaskan itu.
Sebenarnya aku khawatir mereka terkena penyakit akibat kontak
langsung dengan bulu kucing, tapi mereka malah punya alasan jitu mengapa harus
akrab bersama para kucing. Hmmm rupanya pengaruh Lulu cukup besar terhadap
teman-temannya. Tapi Lulu sekarang dengan Lulu yang kemarin masih tetap sama,
sama-sama pendiamnya. Barangkali memang takarannya seperti itu. Ohya, mereka
cukup terkesan dengan kisah rasulullah yang rela memotong sajadahnya gara-gara
ditiduri oleh kucing ketika beliau hendak shalat, atau hadis yang menceritakan
bahwasanya orang-orang yang berlaku dzalim terhadap kucing akan masuk ke dalam
neraka. Jelas-jelas aku mati kutu mendengar argumen polos dari mereka. Apakah
aku akan menjelaskan jawaban-jawabanku dengan gaya presentasi a la
mahasiswa? Tak mungkin, mereka hanya anak-anak.
Lagi-lagi pe-er bagi kami, para bunda.
Dan kucing-kucing itu
ternyata tidak sampai berhenti di situ saja ulahnya. Gara-gara menyusui empat
anak, induk kucing Lora harus berjalan menyusuri komplek mencari sisa-sisa
makanan di tong sampah, atau di tumpukan sampah yang menggunung di pojok
ruangan berlantai keramik merah. Sasarannya tentu tulang-tulang dan gorengan.
Akibatnya, sampah-sampah itu semakin tak karuan dan berceceran. Aku terlampau
pusing dibuatnya. Padahal piket tetap berjalan. Setiap hari sampah dibuang ke
pembuangan oleh tiap-tiap kamar secara bergiliran.
Apakah Lora dan anak-anakmya harus diungsikan? Kami para bunda
mencoba membuat alternatif dalam sebuah rapat.
“Tapi
anak-anak kucing itu masih terlalu kecil. Ikan saja belum doyan” jawab mbak
Lisa yang ternyata memang pemerhati kucing.
“kita
lihat dulu besok” mbak ani menimpali.
Keesokan harinya asrama dibuat gempar oleh tahi kucing di sekitar
mushalla.
“Bunda, mukena saya kena tahi kucing, hiks” Maria menangis
sesenggukan. Diperlihatkannya mukena kecil yang kotor akibat tahi kucing kecil
nan bau itu.
“Di sini juga ada, Bu” Aisyah menunjuk sajadah di shaf bagian depan
mushalla.
Bau tahi kucing terasa menyebar ke seluruh ruangan, tak terkecuali
kamar mandi yang tak jauh d sampingnya. Kami para bunda hanya beristighfar,
sekaligus jijik dengan pemandangan yang ada.
“Tenang
saja” jawabku akhirnya, sedikit menenangkan rengekan anak-anak.
“Besok ibu kirim ke laundry” tambahku. Mereka pun terdiam.
Masing-masing meninggalkan mushalla menuju sekolah.
Ah
ada-ada saja. Dasar kucing. Kejadian ini menambah tinggi saja tumpukkan pe-er
di otakku. Berat, serasa mau merobohkan dinding asrama yang kian reot dimakan
usia.
Kami
para bunda sepakat mengepel lantai mushalla dan
mencuci karpet beserta beberapa mukena yang terkena kotoran kucing,
dengan harapan Lora sekeluarga tidak melakukan kesalahannya buang hajat
sembarangan. Semua ini gara-gara Lulu.
Hari-hari
berikutnya, seluruh pojok ruangan asrama dihantui bau yang sangat menyengat.
Anak-anak nampak menutup hidung tiap kali berada di dalam asrama, tak
terkecuali para bunda. Ketika di mushalla, di tempat mengaji, bau itu terus
membuntuti. Seperti malam ini, saat adzan isya dari masjid sebelah telah berkumandang.
“Apa
lagi ini?” Mbak Lisa mencoba menanyai sekelompok anak yang berkerumun di dekat
tangga menuju mushalla. Aku menyusul dibelakangnya. Sudah kuduga.
“Tahi
kucing lagi” mereka serempak menjawab. Lulu yang duduk di dekat kucing-kucing
kecil itu hanya diam seolah tak peduli dengan semua yang terjadi. Tangannya
telaten mengelus-elus binatang yang semakin keenakan itu. Matanya terpejam
seolah tak ingin terbuka lagi. Kadang-kadang mereka menggaruk-garuk kepalanya
yang gatal dengan kakinya. Bulu-bulu halus pun kemudian beterbangan. Lalu si
induk kucing Lora menjilat-jilat mereka dengan penuh kasih sayang. Potret
keluarga bahagia memang, tapi aku kesal. Sudah berapa kali aku dan para bunda
mengepel lantai-lantai yang dikotori oleh tahi-tahi kucing itu? Berapa kali
kuperingati Lulu untuk segera menjauh dari kucing-kucing itu? Tapi..tapi semua
seolah menjadi angin lalu. Dan kini batas kesabaranku tlah memuncak.
“Buang
kucing itu!!!” teriakku seolah kesetanan. Anak-anak nampak terkejut melihat
ekspresi marahku yang lain dari biasanya.
“Buang!!”
ulangku sekali lagi. Tanpa pikir panjang, ku ambil satu persatu anak kucing
yang masih kecil-kecil itu ke dalam kardus bekas. Mbak Lisa pun ikut membantu
meski setengah takut.
“Ini
sumber penyakit” bentakku pada Lulu yang mulai terlihat berkaca-kaca. Tangannya
mencoba merebut kardus yang kuangkat tinggi-tinggi, namun tidak bisa.
Akhirnya
buliran penuh warna dari mata lentik Lulu pun berjatuhan tanpa kendali.
Disekanya berkali-kali meski air mata tak jua kunjung berhenti. Ada rasa
bersalah memang, tapi aku mencoba untuk tidak peduli.
“Jangan....Jangan.....”
Lulu berteriak histeris akhirnya. Anak-anak hanya diam dalam kebingungan.
Sementara iqamat isya mulai terdengar. Mereka berlari untuk berjamaah, kecuali
Lulu.
◦◦◦◦◦◦
Satu
pe-er yang menumpuk di kepala kami telah selesai dikerjakan. Alhamdulillah,
para bunda merasa sedikit tenang. Tidak ada bau tahi kucing yang menyengat,
atau sampah-sampah yang tercecer akibat disatroni si induk kucing. Mungkin
mereka telah bahagia hidup di pasar yang jauhnya sekitar dua kilometer dari
arah barat asrama, berdekatan dengan rumah sakit kota.
Namun
ternyata, aku salah duga. Membuang keluarga kucing itu ke pasar rupanya
menimbulkan masalah. Beberapa hari terakhir Lulu tidak nampak di lingkungan
asrama. Tidak berada di dalam kamar, tidak juga berada di anak tangga menuju
gudang. Ia terpaksa menjalani rawat inap di rumah sakit kota. Ia mengalami
sakit yang cukup serius di tubuhnya. Barangkali anak-anak menganggap bahwa aku
adalah penyebab utama dari semua, karena aku yang membuang Lora jauh-jauh. Tapi
apa mereka tahu, kalau penyakit lulu sebenarnya disebabkan oleh kucing-kucing
yang selama ini dia sayangi itu? Lulu terkena Taxoplasma. Jadi, parasit berbahaya itu menyebar melalui
bulu-bulu kucing yang mungkin terkena kotorannya sendiri. Aku tahu pasti, Lulu
memang tak pernah mau cuci tangan setelah mengelus-elus Lora. Bukan aku tak mau
meperhatikannya jika tahu.
“Bunda
keterlaluan sama Lulu” bisik anak-anak selepas berjamaah di mushalla.
“Iya,
tahu-tahu Lulu suka kucing, eh malah dibuang.” Teman-teman lainnya menimpali.
Semakin memojokkanku memang, tapi mau bagaimana lagi, mereka tak tahu banyak
apa yang telah aku ketahui tentang biologi.
Sementara
di Rumah sakit kota, Lulu yang sejak kemrin lemas hanya bisa terbaring tak
berdaya. Sesekali Lulu terbatuk pelan. Nafasnya terdengar berisik, tidak
sewajarnya.
“...hrrrr...hrrrr...hrrrr....”
suara itu terdengar samar dan begitu familiar.
◦◦◦◦◦◦
“Lora.....Lora.....”
bibir mungil Lulu mulai terbuka, memanggil nama Lora.
Ibu
Lulu hanya menggeleng pelan. “Jangan sebut nama itu lagi, Nak” jawabnya sambil
mengelus rambut panjang Lulu. Beliau tahu benar, beliau telah mengorek
keterngan dariku secara langsung perihal sakit yang dialami Lulu.
‘Di
mana Lora?”
Ibu
Lulu tertegun.
Baru
saja beliau mengusir pergi seekor kucing yang mencoba mendekati Lora di
ranjangnya. Kucing yang berwarna putih bersih dengan warna coklat
kehitam-hitaman di kepalanya.
Lulu
dan Lora memang tak pernah tahu bahwa mereka berdua memang berbeda.
“Lora....”
panggilnya lagi
D
balik jendela hijau kamar tempat ia berbaring, Lora nampak mengintip dengan
hati-hati.
◦◦◦◦◦◦
Yogjakarta,
15 April 2013
Komentar
ditunggu